Dilema 'Tambang Rakyat' di Ciemas Sukabumi

Dilema 'Tambang Rakyat' di Ciemas Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 04 Mar 2023 07:30 WIB
Sukabumi -

Perjalanan di area Pertambangan Tanpa Izin (PETI) Mekarjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi mengungkap soal sulitnya para penambang rakyat itu memperoleh izin. Lalu apa kata pihak perusahaan soal itu?

Pihak PT Wilton Wahana Indonesia, tidak menampik adanya aktivitas pertambangan tanpa izin di area Izin Usaha Pertambangan (IUP) mereka.

Salah satu persoalan mendasar adalah para Penambang Tanpa Izin (PETI) ini adalah mereka ingin mendapatkan legalitas untuk menambang. Termasuk adanya harapan dari para penambang rakyat agar PT Wilton menjadi bapak asuh bagi para penambang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika waktu itu konsekuensi keluar rekomendasi dari masyarakat tentang kehadiran perusahaan pada waktu itu ada sebuah komitmen lisan yang dikeluarkan oleh bos besar perusahaan itu, bahwa mereka sanggup dan mau jadi bapak asuh penambang yang ada di Kecamatan Ciemas, kenapa hari ini tidak di jalankan," kata Taopik Guntur, salah seorang penambang kepada detikJabar dalan sebuah wawancara, Rabu (1/3).

Menanggapi itu, Kepala Teknis Tambang (KTT) PT Wilton, Caca Cahyaman mengungkap soal bapak asuh sudah pernah dilaksanakan pihak mereka di tahun-tahun awal perusahaannya mulai beraktivitas. Namun muncul sejumlah persoalan yang membuat perusahaan dan warga penambang tidak sejalan.

ADVERTISEMENT

"Yang pertama sudah saya sampaikan bahwa soal bapak asuh sudah pernah kita laksanakan, tahun awal. Hanya untuk melanjutkan hal itu pun tindakan-tindakan ilegal mining itu harus mengikuti aturan pertambangan. Dimana akhirnya kita harus bertangung jawab, dampaknya perusahaan bukan mereka, sementara mereka diberikan arahan pun, tetap kita kan tidak bisa yakin mereka melaksanakan ini," kata Caca, Kamis (2/3/2023).

Caca juga menyebut, ketika PT Wilton menjadi bapak asuh, para penambang tidak mau terang-terangan soal area mereka menambang. Hal ini yang kemudian membuat pihak perusahaan kesulitan mengendalikan aktivitas para penambang tersebut.

"Sekecil-kecilnya mereka, mereka itu tidak hanya menjarah ke lahan mereka, disaat bisa lihat kehutanan dan perkebunan cek sendiri, itu yang saya bilang bagaimana kita bisa mengendalikan sedangkan kita sebagai bapak asuh. Mereka tidk terang terangan dari sini, lubangnya berapa, beloknya kemana kita tidak tahu," ujarnya.

Caca menampik tidak adanya pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal, penggunaan bahan kimia serta lubang-lubang yang di buat penambang, berpotensi kepada kerusakan alam di masa yang akan datang.

"Dampak terbesar ilegal itu sendiri terhadap lingkungan terutama, pengolahan juga mereka juga pakai sianida yang kita juga tidak tahu dari mana mereka belinya. Dalam rangka pembinaannya itu sendiri kita bisa tahu, mereka itu kemajuan tambahnya seperti apa. secara teknis dan lingkungannya bisa di-pertanggung jawabkan atau tidak," tutur Caca.

Soal lubang yang memiliki kedalaman hingga puluhan meter disebut Caca juga berpotensi merusak lingkungan. Mulai dari rudaknya tata guna air, hingga keseimbangan tanah.

"Dampak lingkungan tata guna air hancur, keseimbangan tanah juga hancur, itu lah yang paling bahaya. Makanya kalau musim kering atau tidak hujan, kita sudah tidak punya cadangan air sudah rusak, oleh siapa, tanya ke siapa," tanya Caca.

Aktivitas penambang ilegal mendulang kerugian untuk perusahaan, terlebih banyak didapati aktivitas tambang yang berdekatan dengan area PT Wilton.

"Kalau dikatakan kerugian sesungguhnya pasti ada, jangankan untuk perusahaan untuk pemerintah pun membebankan kepada kita juga jadi rugi karena lingkungan juga rusak tanpa kendali kan mereka. Tapi kita juga tidak mungkin, artinya bertempur secara langsung. Nah tergantung dulu kebutuhan kita sampai dimana," jelasnya.

Caca menyebut pihaknya hanya sebatas operator, karena negara yang memberikan izin untuk perusahaan bergerak.

"Adapun yang ilegal minning, yang dekat itu tentu kedepan kalau harus terpaksa ya terpaksa (tegas), karena kita juga bukan kemauan kita. Perusahaan itu bukan pemiliknya, negara pemiliknya, perusahaan ini hanya operator," imbuhnya.

Solusi lainnya dijelaskan Caca adalah pembebasan, namun itupun tak mudah karena pemilik lahan berhitung kepada kandungan emas di lahan permukiman mereka.

"Salah satunya pembebasan, tapi itu tidak mudah, karena mereka berhitungnya kepada (kandungan) emas, tapi kita kan nanti dibantu dengan pemerintah setempat, larinya kesejahteraan tentu kita akan pertimbangkan. Karena merubah kita juga FS itu juga total, nanti itu ke kitanya. kita sudah berhitung berapa pembebasan, sudah ada hitungannya, tapi setiap waktu, kalau yang wajar, mungkin masih bisa deviasinya terhitung pertahun. tapi kalau begini ini kan peristiwa tiba-tiba yang diluar kendali perhitungan," kata Caca.

Sebagai perusahaan yang berizin, Caca mengaku pihaknya akan berupaya memberikan kesehahteraan kepada masyarakat. Soal penyerapan tenaga kerja, Caca menyebut hampir 90 persen pekerja di PT Wilton adalah warga lokal.

"Kalau warga lokal sebetulnya sudah hampir 90 persen warga lokal, kelas - kelas menengahnya kami harapkan bisa kita didik menjadi operator yang bisa mengendalikan prosesingnya. Karena pendidikannya kalau itu tidak lebih susah, mereka ini sedang dalam pelatihan, tetapi secara langsung dipabrik kita yang sudah jadi," ujar Caca.

"Kebetulan pabrik yang sudah jadi ini sedang pengujian alat pertambangan (Commissioning) sedang kita coba sambil kita mentraning mereka untuk bisa menangani secara penuh sebelum para ahli dari luar itu juga selesai tugasnya," tambahnya.

(sya/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads