Ribuan hektare lahan tambak garam berubah jadi tambak ikan imbas cuaca buruk. Alhasil ratusan ribu ton hasil produksi garam di Karawang lenyap.
Sekretaris Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Karawang Abuh Bukhori menuturkan cuca buruk yang melanda wilayah Karawang memaksa para petambak garam harus berhenti produksi.
"Selama beberapa bulan ini cuaca buruk, cenderung labil. Para petambak garam sempat mengalami gagal panen, hingga akhirnya kehilangan mata pencaharian," ujar Abuh saat ditemui di Kantor Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Karawang, Selasa (10/1/2023).
Sempat mengeluh karena lahan tambaknya sulit produksi, mayoritas para petambak garam akhirnya banting setir jadi petambak ikan. Mereka menyulap lahan tambak garam menjadi tambak ikan.
"Ada sekitar ribuan hektare yang awalnya tambak garam jadi tambak ikan, tapi nggak semua petambak. Alasannya karena garam hanya bisa diproduksi saat musim kemarau dimana proses kristalisasi air laut menjadi garam kan membutuhkan panas matahari dan angin yang cukup," jelasnya.
Tak hanya dipengaruhi cuaca buruk, para penambak garam beralih menambak ikan disebabkan harga jual garam yang cenderung turun. "Informasinya para petambak juga mengeluh karena harga garam turun, jadi mereka memilih menambak ikan. Beberapa diantaranya join (kerja sama) dengan pemodal," ungkapnya.
Menurut Abuh setiap tahunnya sekitar 200 ribu ton garam bisa diproduksi para penambak garam di wilayah Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Karawang dengan harga cenderung stabil.
"Tiap tahunnya mencapai 200 ribu ton (produksi), harga cenderung stabil di angka Rp 3 ribu per kilogram dengan mayoritas pasar pemindang ikan di wilayah Pantura juga," imbuhnya.
Selain diserap pasar lokal, garam hasil produksi petambak di Karawang juga dipasarkan hingga luar daerah di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Terpisah, Ano Suwarno (45), penambak garam di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang mengaku memilih beralih menambak ikan karena kondisi cuaca yang menyebabkan gagal panen.
"Terakhir saya isi air (menambak) itu sekitar bulan Oktober 2022, jarak panen itu biasanya 25-30 hari. Sampai 1,5 bulan malah nggak panen," kata Ano saat dihubungi detikjabar.
Ano mejelaskan, selain karena seringnya mendung hingga turun hujan di sekitar tambak, tingginya gelombang air laut juga menyapu kolam tambak garamnya.
"Bukan cuma hujan, mendung juga ngaruh ke hasil (produksi). Kadang-kadang ombak juga tinggi, jadi airnya kesapu lagi," ucapnya.
Selain dipengaruhi gejala alam, Ano mengungkap harga garam yang cenderung turun juga mempengaruhinya untuk beralih profesi menjadi penambak ikan.
"Awal tahun 2022 harganya masih Rp 3 ribuan, kemarin pas cuaca buruk malah turun, terkahir saya denger temen cuma ngeluarin Rp 2.500, itupun terpaksa daripada nggak kejual," ungap Ano.
Merasa kondisi kian sulit, Ano lantas ditawari temannya menjalankan usaha tambak ikan, "Karena garam ini gagal, saya kosongin kolam seminggu. Kebetulan ada temen nawarin modal saya yang kelola. Kita bikin 3 kolam tambak ikan etong sama bandeng," pungkasnya.
(mso/orb)