Mahalnya harga minyak goreng bisa berdampak pada kenaikan produk kuliner saat Ramadan dan Idulfitri. Dampak tersebut harus menjadi perhatian pemerintah.
"Persoalan minyak goreng punya second round effect atau efek berkelanjutan. Karena digunakan untuk membuat berbagai macam produk kuliner," kata pakar ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Acuviarta Kartabi kepada detikjabar, Sabtu (19/3/2022).
Acuviarta mengatakan, harga produk makanan yang menggunakan minyak goreng dalam proses pembuatannya diprediksi akan naik saat Ramadan dan Idulfitri. Pada saat bersamaan, dikatakan Acuviarta, sejumlah komoditas di Jabar alami kenaikan harga, seperti daging sapi, gula pasir, dan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sangat mengkhawatirkan situasi sepeti ini. Sebenarnya kebijakan (untuk menyetabilkan) harga bisa dilakukan pemerintah. Karena, kita (Indonesia) posisinya sebagai produsen (minya goreng) dan net eksportir," ujar Acuviarta.
Sebelumnya, Acuviarta mengatakan pemerintah tak konsisten dalam mengawal kebijakannya sendiri. "Kebijakan soal minyak goreng ini gagal. Karena pemerintah gagal mengawal kebijakannya sendiri dan tidak konsisten," ungkap Acuviarta.
Lebih lanjut, Acuviarta menerangkan pandangannya tentang kegagalan pemerintah dalam mengawal kebijakan harga minyak goreng. Ia menegaskan pemerintah awalnya lamban mengawal kebijakan harga minyak goreng. Padahal, lanjut Acuviarta, kenaikan harga minyak goreng sudah terasa sejak Juli tahun lalu.
"Jadi waktu dibuatnya kebijakan ketika sudah terjadi instabilitas. Kebijakan itu baru ada pada awal Januari," ucap Acuviarta.
Sekadar diketahui, harga minyak goreng kemasan sebelumnya disesuaikan dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liternya. Kemudian HET dicabut, dan harga dipasaran bekisar Rp 47 ribu hingga Rp 50 ribuan.
(sud/ors)