Temukan Indikasi 'Kebocoran' Solar Nelayan, DKP: Karena Pengetatan

Kabupaten Sukabumi

Temukan Indikasi 'Kebocoran' Solar Nelayan, DKP: Karena Pengetatan

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Jumat, 18 Mar 2022 14:27 WIB
Drum BBM minyak.   dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Ilustrasi (Foto: Dikhy Sasra/detikcom).
Sukabumi -

Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi menemukan permasalahan dalam penyaluran solar bersubsidi untuk nelayan setelah pihaknya mendapatkan kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN).

Sri Padmoko, Kepala Bidang Perikanan Tangkap pada DKP mengatakan sebelumnya kewenangan itu ada di tangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP) berdasarkan aturan Menteri Kelautan Nomor 13 tahun 2015.

"Namun pada 2019 aturan itu dicabut lalu keluar peraturan BPH Migas No 17 tahun 2019, ada yang lucu di sini, isi dari permen KP 13 dengan aturan baru BPH Migas ini sama persis," kata pria yang akrab disapa Moko kepada detikJabar, Jumat (18/3/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Moko mengatakan pemberian rekomendasi dulu itu berbeda, pemberian bahan bakar asalnya berada di dua institusi. Pemerintah daerah memberikan rekomendasi pada bensin sementara PPN pada Solar karena kapal berada di area PPN dan SPBUN atau dulu Solar Pack Dealer Nelayan SPDN berdiri sejak 2003 di area PPN.

"Jadi fasilitas itu tangki bungker milik PPN namun karena aturan kementerian dicabut, PPN ini jadi berada di bawah Direktorat Pelabuhan. Direktur bersurat, kepala PPN tidak mengeluarkan lagi rekomendasi untuk BBM. Berdasar aturan BPH Migas kepala UPT atau pemerintah daerah, karena saya tidak mau berpolemik dengan instansi lain, PPN diperintah Jakarta (kementerian) tidak boleh mengeluarkan rekomendasi, sementara nelayan kita harus dilindungi secara aturan pemda bisa mengeluarkan rekomendasi, akhirnya saya take over rekomendasi melalui DKP," jelas Moko.

ADVERTISEMENT

Moko tak mau main-main saat memberikan rekomendasi. Di awal kebijakan itu diberlakukan pihak DKP menolak rekomendasi untuk mendapatkan pengiriman solar atau DO dari pihak SPDN atau SPBUN. Ia meminta pihak SPBUN menghabiskan stok yang tersisa lebih dahulu sebelum meminta DO baru.

"Saat mau take over mekanismenya harus memberikan rekomendasi pembelian dulu, dari sisa yang ada saya memberikan rekomendasi, pertama saya tolak SPDN ini. Karena saya melihat pihak KUD yang mengelolanya selalu berganti investor, saya tegaskan ke mereka bahwa saya bicara tata kelola soal investor bukan urusan saya. Di awal (peralihan kebijakan) dia (KUD) minta rekomendasi full 7 DO kalau dihitung 1 DO itu 16 ribu liter kalau 7 DO 112 ribu liter. Kenapa saya enggak kasih, itulah rekomendasi yang selama ini menyesatkan," paparnya.

Moko mengaku sejak awal tidak setuju dengan aturan lama, dimana pihak SPBUN bisa mengajukan DO tanpa memperhitungkan BBM yang tersisa. "Kenapa saya tidak setujui karena masih ada sisa, harus menghitung kuota sisa dong, akhirnya rekomendasi pertama dikurangi dari sisa. Saya merekomendasikan yang terjual di triwulan ketiga sebelumnya, kalau saya memberi rekomendasi terjual artinya 7 DO itu terpenuhi, ketika saya keluarkan rekom yang sudah terjual. Akhirnya setelah itu ada infomrasi yang menduga bahwa ada kebocoran, BBM bersubsidi ini," beber Moko.

"Ada dua kemungkinan kebocoran dari pelaporan ini, pertama karena saya sudah mulai melakukan pengetatan yang sebelumnya tidak pernah bermasalah dengan pemanfaatan BBM bersubsidi sekarang bermasalah makanya dia teriak, kedua ada kemungkinan kalau pelapor benar memang ada kebocoran. Saya tahu ada yang salah di sini, jadi rekomendasi sebelumnya sejak 2020 ketika ini mulai berjalan saya berjalan di 2021 saya memperbaiki 2020 dulu," sambung dia.

Namun Moko yakin, permasalahan yang timbul sebelum kewenangan rekomendasi dipegang oleh pihaknya lebih dikarenakan ketidaktahuan. Usai Kementerian Kelautan Perikanan mengeluarkan edaran soal kewenangan rekomendasi tidak di bawah PPN maka DKP mulai melakukan pembenahan.

"Masuk 2021 saya ambil alih, proses take over saya luruskan di situ kelihatan (ada temuan), kejaksaan tahun 2021 sudah mau masuk hanya saya jelaskan bahwa saat ini di bawah pembinaan saya, kalau saya lepas seandainya saya kasihan sama PPN, kenapa? Karena PPN saya dalami tidak bermaksud membuat rekomendasi melebihi kapasitas tapi karena ketidaktahuan," ujar Moko.

SPBUN dijelaskan Moko keluar dari jalur karena memanfaatkan ketidak tahuan PPN, kuota BBM nelayan menjadi lebih besar karena salah menghitung setelah itu dari kuota lebih besar tadi menurut Moko dijadikan celah.

"Untuk kuota misalkan kapal A disebut 2000 liter padahal hanya butuh 1200 liter rekomendasinya 2000 liter, pengelola memanfaatkan sisa 800 ini. Itu terjadi di tahun 2020, ini pakem yang berjalan bertahun-tahun," pungkas dia.

Sebelumnya, Kepala KUD Mina Mandiri Sinar Laut Maman Suparman selaku pengelola SPBUN mengaku belum menerima konfirmasi kaitan dugaan kebocoran itu dari pihak DKP.

"Saya baru konfirmasi dengan DKP. Kalau bicara kebocoran saya belum ada konfirmasi dengan DKP rencana akan menghadap ke sana, kebetulan saya lagi sakit enggak bisa kemana-mana sudah tiga hari," ungkap Maman.

Maman lebih jauh menjelaskan pihaknya mengacu kepada rekomendasi dari DKP untuk mendapatkan DO pengisian solar. Oleh karena itu Maman mengaku bingung dengan bahasa pihak DKP yang menyebut indikasi adanya kebocoran.

"Saya belum bisa memberikan informasi apa yang apa gitu ya kaitan kebocoran, sebab ada bahasa kebocoran saya bingung. Jadi baik penyaluran maupun permohonan mendapatkan alokasi semua itu-kan dari rekomendasi DKP," tutur Maman.

(sya/mso)


Hide Ads