Angin pagi bertiup perlahan, membawa aroma lumpur yang masih melekat di tanah basah. Di tepi Sungai Cidadap, Kampung Bojongkopo, Sukabumi, sebuah rumah tua berdiri limbung, seakan mencoba bertahan dari luka yang baru saja digoreskan alam.
Genteng-genteng merahnya tampak miring, sebagian dindingnya retak, dan lantainya yang telah berusia lebih dari satu abad masih menyisakan jejak lumpur yang mengering.
Di beranda rumah, H. Awan Gunawan (68) duduk termenung. Matanya menerawang, menatap puing-puing yang tersisa. Sejak Kamis malam (6/3/2024), hidupnya berubah. Banjir bandang datang tiba-tiba, meluluhlantakkan rumah yang telah ia tinggali sejak kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bersama sang istri, Djuariah (60), ia berlari menyelamatkan diri saat air bercampur lumpur naik hampir empat meter, menelan halaman dan merangsek ke dalam rumah, menghancurkan bagian-bagian yang selama ini tetap kokoh meski digerus waktu.
"Ini rumah dari nenek, lalu ke orang tua, dan akhirnya ke saya. Dibangun tahun 1917, rumah ini sudah melihat banyak hal, dari penjajahan Belanda sampai zaman sekarang," kata Awan dengan suara lirih, Jumat (14/3/2025).
![]() |
Bagi Awan, rumah ini bukan sekadar bangunan, ia adalah saksi bisu perjalanan waktu. Seabad lalu, ketika tentara Belanda datang ke kampung ini, rumah ini menjadi tempat persembunyian Muntari, kepala desa Cidadap yang saat itu masih mencakup wilayah Desa Loji.
"Muntari itu sahabat kakek saya, seorang pejuang daerah. Bukan tentara, tapi pemuda yang berani melawan Belanda. Suatu malam, pasukan Belanda datang dengan truk mencari dia. Mereka masuk ke rumah ini, tapi anehnya, mereka tidak bisa menemukannya," Awan tersenyum kecil, seolah mengenang cerita yang turun-temurun diceritakan keluarganya.
Seiring berjalannya waktu, rumah ini bukan hanya menjadi tempat berlindung, tetapi juga bagian dari dunia sinema. Keasliannya yang tetap terjaga menjadikannya latar ideal bagi film laga yang ingin menangkap atmosfer klasik.
"Dulu sering dijadikan tempat syuting, rumah ini punya aura klasik yang banyak dicari," ujar Awan.
Rumah ini adalah gambaran sempurna perpaduan arsitektur kolonial Belanda dan rumah adat Jawa yang berkembang di pedesaan. Struktur aslinya nyaris tidak berubah sejak pertama kali dibangun.
Atapnya berbentuk limasan, khas rumah tradisional Jawa, dengan kemiringan curam agar air hujan dapat mengalir dengan lancar. Di bagian depan, deretan jendela dan pintu kayu besar mendominasi penampilannya, sebuah ciri khas rumah kolonial yang didesain untuk memastikan sirkulasi udara tetap sejuk.
Di dalam, lantainya masih menggunakan tegel semen asli, terasa dingin saat diinjak, dan telah menjadi saksi bisu ribuan langkah yang pernah melintasinya. Dindingnya terbuat dari kombinasi kayu dan bata, beberapa bagian mulai rapuh, tetapi tetap kokoh menopang bangunan yang telah berdiri lebih dari seabad.
"Dari dulu lantainya masih sama, tegel zaman dulu. Rumah ini belum pernah dirombak total, hanya ditambal di beberapa bagian," kata Awan sambil menepuk lantai yang kini masih diselimuti lumpur sisa banjir.
Bertahan dari Waktu, Terkapar oleh Banjir
Sungai Cidadap telah berulang kali meluap, tetapi menurut Awan, kali ini berbeda. Air naik lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih ganas dari sebelumnya.
"Kalau banjir sih sering, tapi yang seganas ini baru kali ini. Rumah baru di depan hanyut, sementara rumah ini tetap berdiri, meski sudah tua," ujarnya.
Kini, Awan dan keluarganya tengah berjuang membersihkan rumah, mencoba mengembalikan sedikit demi sedikit yang tersisa. Namun, ada satu hal yang tak bisa diperbaiki, rumah ini telah kehilangan sebagian jiwanya akibat bencana.
Di dinding-dinding yang retak, di lantai yang mulai rapuh, di genteng yang satu per satu terlepas, tersimpan kisah panjang tentang waktu, perjuangan, dan keteguhan.
(sya/mso)