Vonis dokter di tahun 1999 menjadi titik yang membuat kehidupan Dian Wahdini Syarief putar arah ke jalur yang mungkin tak pernah ia duga. Kala itu, wanita asal Bandung ini dinyatakan mengidap lupus, penyakit kategori autoimun yang dicap tidak dapat sembuh dan belum ada obatnya.
Tak hanya lupus, di waktu yang sama ia juga harus kehilangan hingga 80 persen penglihatannya. Dian yang saat itu berada di usia pertengahan 30-an dan masih aktif bekerja, pada akhirnya harus fokus melakukan upaya-upaya bertahan hidup. Didampingi sang suami, Eko Pratomo, jatuh bangun Dian untuk hidup berdampingan dengan lupus memakan waktu hingga lima tahun sebelum akhirnya kondisi berangsur stabil.
Di tahun kelima, Dian menyadari bahwa perjuangannya bukanlah perkara mudah. Tenaga, waktu, pikiran hingga finansial adalah hal yang harus terus dikorbankan. Meski sempat mengalami keterbatasan finansial, Dian merasa beruntung bahwa ia termasuk ke dalam kategori orang dengan lupus (odapus) yang berhasil tetap hidup bertahun-tahun pascavonis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah makanya di 2004, ketika kondisi sudah relatif stabil, saya dan suami akhirnya mendirikan Syamsi Dhuha Foundation. Ini merupakan wujud syukur saya karena berhasil bertahan, sekaligus juga ingin membuat hidup lebih bermakna," ugkap Dian ketika ditemui detikJabar belum lama ini.
Keberhasilan dirinya untuk terus melangsungkan hidup bertahun-tahun setelah dinyatakan lupus ternyata masih menimbulkan pertanyaan bahkan bagi Dian sendiri. Pasalnya, lupus termasuk kategori penyakit yang mengancam nyawa.
Untuk itu, yayasan Syamsi Dhuha didirikan salah satunya untuk menjadi wadah berbagi pengalaman dan dukungan bagi para odapus. Tanpa dukungan yang solid dari orang-orang terdekat, Dian mengatakan, akan sulit bagi seorang odapus untuk bisa bertahan.
Dia memaparkan, terdapat beberapa tingkatan odapus berdasarkan derajat keparahan penyakitnya. Mulai dari tingkatan ringan, sedang, hingga berat. Berdasarkan kategori tersebut, Syamsi Dhuha memiliki fokus pendampingan odapus dengan pendekatan yang berbeda-beda. Untuk kategori ringan hingga sedang, dukungan yang diberika berfokus pada peningkatan kualitas hidup penyandang lupus.
"Jadi walaupun mereka menyandang penyakit autoimun ini, mereka tetap bisa produktif melalukan kegiatan sehari-hari tanpa perlu ketergantungan dengan orang lain. Sementara untuk kategori berat, fokusnya adalah membantu meningkatkan angka harapan hidup mereka," papar Dian.
Bantu Keterjangkauan Obat
Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran Dian terkait para odapus adalah harga obat-obatannya yang mahal. Ia mengatakan, beberapa obat ada yang harus ditebus seharga Rp30.000 hingga Rp50.000 per-butir, dan rata-rata odapus tidak hanya meminum satu obat setiap harinya.
"Sejak 2004 itu kita petakan masalah utama di kalangan odapus itu apa, ternyata pembiayaan. Orang kan kalau ada uangnya bisa berobat, sementara kalau enggak ada, nah dia bisa bertahan atau tidak," jelasnya.
Terlebih, banyak di antara odapus yang diwajbkan untuk meminum obat seumur hidup. Karena penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, hanya dapat dikendalikan. Dapat dibayangkan, berapa besar nominal uang yang harus dikeluarkan oleh odapus dan keluarganya.
Dian sendiri saat ini sudah tidak lagi meminum obat-obatan secara rutin. Istilahnya, sudah dapat remisi. Namun, untuk sampai ke titik tersebut, ia yang menyandang lupus kategori sedang dan berat perlu berjuang selama 17 tahun.
Atas dasar hal inilah, Syamsi Dhuha bersama tim dan sejumlah relawan melakukan audiensi ke Kementerian Kesehatan RI. Tujuannya adalah agar obat-obatan lupus dapat ditanggung dalam skema pembiayaan pemerintah. Perjuangan tersebut, Dian mengatakan, adalah perjuangan yang panjang hingga akhirnya saat ini beberapa obat untuk lupus sudah ditanggung BPJS Kesehatan.
"Sekarang sudah ada BPJS, sebelum itu perjuangannya berat. Kalau tidak ada dorongan dari masyarakat, akan susah untuk mewujudkan skema pembiayaan untuk orang sakit oleh pemerintah," ungkapnya.
Yayasan tersebut pun terus menyuplai obat-obatan untuk lupus saat pandemi Covid-19 menyerang, agar penyandang lupus tidak perlu antre obat. Saat ini, obat-obatan yang tidak di-cover BPJS juga disediakan di yayasan.
![]() |
Kembangkan Suplemen Lupus
Mahalnya harga obat-obatan lupus juga membuat Syamsi Dhuha menginisiasi proyek penelitian untuk mengembangkan suplemen lupus. Proyek ini dimulai pada 2014 dengan mengundang peneliti dari berbagai daerah untuk mengajukan proposal penelitian. Tujuan proyek ini adalah mencari bahan alami sebagai terapi komplementer bagi penderita lupus.
"Harga obat kan mahal ya, juga karena Indonesia itu bahan-bahan alamnya berpotensi. Selama ini suplemen yang ada di pasaran kan suplemen penambah imun tubuh, sedangkan sistem imun kita kebalikannya, perlu ditekan," paparnya.
Penelitian ini melibatkan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Dalam empat tahun, ditemukan formulasi suplemen dengan sifat antiinflamasi. Suplemen berbahan dasar cecendet ini telah dikategorikan sebagai Obat Herbal Terstandar (OHT).
Penggalangan dana penelitian ini memiliki cerita tersendiri. Dian mengumumkan proyek tersebut di akun media sosial miliknya dan membuat surat terbuka. Isinya adalah penggalangan dana yang dibutuhkan senilai Rp500 juta.
"Saat itu ikhtiar yang bisa dilakukan adalah menggali sumber alam Indonesia untuk suplemen lupus. Selama apa yang kita kerjaan sesuai dengan keinginan Tuhan, pasti akan ada bantuan," ungkapnya.
Meluaskan Manfaat
Tak hanya odapus, yayasan ini juga banyak memberikan pendampingan dan pembelajaran kemandirian pada orang dengan low vision. Di antaranya dengan menyediakan tongkat pintar BriCane untuk tuna netra dan low vision. Juga memberikan pelatihan pijat hingga memperkerjakan mereka di yayasan untuk memberi fasilitas pijat untuk orang-orang yang datang.
Syamsi Dhuha juga memberikan berbagai beasiswa baik untuk penyandang lupus dan low vision maupun kategori umum. Hingga saat ini, total sebanyak Rp1,85 miliar sudagh tersalurkan sejak 2012 untuk program beasiswa.
Sedangkan untuk bantuan pembiayaan odapus dan low vision, total yang sudah disalurkan adalah sebesar Rp1.3 miliar sejak 2004. Di 2012, yayasan ini juga berhasil menyabet penghargaan Sasakawa Health Prize dari World Health Organization (WHO) atas perannya dalam membantu dan memberdayakan odapus dan low vision di Indonesia.
![]() |
Dian mengatakan, saat ini Syamsi Dhuha tengah merintis jalan untuk menjadi lebih mandiri dengan mengusung konsep sociopreneur. Hal ini sudah dimulai dengan menjual barang-barang hasil karya anggota, seperti merchandise, kerajinan tangan, hingga jasa pijat. Tak terkecuali aneka buku edukasi tentang lupus dan low vision yang beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
"Jadi ini adalah gerakan di mana kita sebagai yayasan tidak hanya mengandalkan donasi, tapi juga melakukan berbagai hal untuk mendatangkan pendapatan bagi yayasan. Harapannya adalah agar yayasan bisa mandiri secara finansial," jelasnya.
(tya/tey)