Demi hidup, Ade (67) rela selama puluhan tahun berjuang di Kawasan Hutan di Desa Cikawung, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Bersama suaminya, Ade mengandalkan perkebunan sebagai penopang hajat hidup keluarga.
Pagi itu, Ade mengenakan baju batik biru berkerudung hitam. Topi caping hitam di tangannya yang masih baru ia bawa sambil berdiri di samping bibit pohon alpukat.
Ya, Ade bersama sejumlah anggota Kelompok Tani Hutan lainnya sedang fokus mendengar sambutan dari para pemangku kebijakan. Hal itu dilakukan sambil menunggu kegiatan simbolis penanaman agroforestri di Kawasan Hutan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan pada Selasa (4/2/2025) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kesibukannya, detikJabar mencoba berbincang dengan wanita paruh baya tersebut. Dengan logat bahasa khas Sundanya, Ade mengaku sudah puluhan tahun bergelut di perkebunan sekitar Kawasan Hutan Desa Cikawung.
"Di sini sudah lama, ada sekitar 22 tahun," ungkap Ade, Kamis (6/2/2025).
Ade tinggal dan menetap di perkebunan bersama suaminya, Ucup (73). Himpitan ekonomi dan minimnya tempat kerja membuat pasutri asal Kabupaten Sumedang rela menjadi kuli harian di Kawasan Hutan.
"Bareng sama bapak, di Sumedang tuh nggak punya sawah, nggak ada pekerjaan terus kelola lahan di sini," ujarnya.
Berbagai pekerjaan dilakoni Ade dan suaminya. Mulai dari memetik daun kayu putih, mencangkul, menanam pohon jati dan aktivitas perkebunan lainnya dilakukannya demi mendapatkan upah.
"Kalau misalkan beburuh dulu dapat Rp50 ribu sehari kalau bapak dapat Rp70 ribu. Terus kalau pulang ya dijemput lagi pakai mobil truk," katanya.
Selama perjalanannya dari kuli perkebunan. Ade dan suaminya pun kemudian mencoba mengelola perkebunan secara mandiri. Di atas ladang seluas 2 hektare, Ade mengelola aneka tanaman palawija hingga padi gogo.
Keduanya pun selalu kompak mengurusi berbagai tanaman mulai dari singkong, ubi, cabai, pare dan tanaman lainnya sesuai musim.
"Dulu sempat kelola 2 hektare sekarang tinggal 1,5 hektare. Sekarang ada padi 200 bata, daratannya singkong, pepaya," ucapnya.
Meski tidak banyak. Namun, penghasilan dari perkebunan yang mereka kelola dirasakan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, Ade harus bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya yang tinggal di kampung halamannya.
"Kalau jual pepaya kadang dapat Rp60 ribu kadang Rp100 ribu ya ada buat sehari-hari aja," ucapnya.
Tidak hanya itu, Ade juga mencoba beternak kambing untuk menopang berbagai kebutuhannya. Terutama untuk biaya perkebunannya. Sebab, kebutuhan pupuk dan sebagainya dirasakan lebih tinggi dibandingkan hasilnya.
"Dulunya ada 20an ekor kambing sekarang tinggal 6 ekor karena buat beli pupuk," katanya.
Hingga di usia senjanya, Ade tetap konsisten hidup dari perkebunan itu. Meskipun kini kedua anaknya sudah berkeluarga. Bahkan ia dikaruniai 4 cucu.
Asa untuk mendapat penghasilan lebih dari perkebunan masih menjadi impian Ade dan suaminya.
"Pengennya sih ada penghasilan lebih dari jualan hasil panen. Karena murah-murah aja kalau jual-jual (hasil kebun) tuh," ungkap Ade.
(yum/yum)