Cerita Petani Tua Tasik dalam Bayang-bayang Kekhawatiran

Petani Priangan Timur

Cerita Petani Tua Tasik dalam Bayang-bayang Kekhawatiran

Faizal Amiruddin - detikJabar
Sabtu, 11 Jan 2025 15:00 WIB
Kawasan pesawahan di Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya.
Kawasan pesawahan di Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya. (Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar)
Tasikmalaya -

Ketahanan pangan dan pembangunan sektor pertanian menjadi salah satu isu sentral nasional, sejak beberapa tahun terakhir.

Isu ini semakin menguat setelah Presiden Prabowo Subianto menjadikan ketahanan pangan menjadi salah satu program prioritasnya. Setidaknya isu ini masuk dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran.

Indonesia tengah berusaha melakukan swasembada pangan dan menjadi negara lumbung dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun demikian jika melihat kondisi di lapangan, upaya menggapai cita-cita tersebut dihadapkan pada beragam persoalan.

Salah satunya adalah ikhwal regenerasi petani. Ini menjadi faktor penting karena bagaimana bisa membangun sektor pertanian jika petaninya tak ada.

ADVERTISEMENT

Pada tahun 2021 lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan pada tahun 2063, tidak ada petani di Indonesia. Penyebabnya para petani atau anak-anak petani lebih memilih berusaha di sektor jasa dan industri. Penyebab kedua terjadinya alih fungsi lahan dan penyebab ketiga adalah pesatnya laju urbanisasi.

Fenomena minimnya regenerasi petani ini sudah mulai terjadi, bahkan di daerah seperti Tasikmalaya.

Sebagai gambaran sederhana, pada Rabu (8/1/2025) sejak pagi hingga menjelang siang, detikJabar mencoba menelusuri kawasan-kawasan pertanian di pinggiran jalan wilayah Kecamatan Indihiang, Cipedes, Tamansari hingga Kawalu Kota Tasikmalaya. Ternyata tak satu pun ditemukan anak muda, semua yang sedang beraktivitas di sawah atau kebun berusia 40 tahun ke atas.

"Tidak ada petani muda, petani milenial, di daerah sini, semuanya petani kolonial (tua)," kata Cecep (50) petani padi di Kelurahan Nagarasari Kecamatan Cipedes.

Menurut dia kalau pun ada anak muda, hanya sebatas membantu ketika menanam atau panen.

"Kalau yang bantu-bantu ada, itu pun kalau lagi panen, biasalah anak-anak merayu orang tuanya biar kecipratan hasil panen," kata Cecep.

Cecep sendiri mengaku memiliki anak laki-laki usia SMA, tapi anaknya belum menunjukan ketertarikan pada bidang pertanian. Bahkan Cecep sendiri pun mengaku tak berusaha menarik anaknya untuk jadi petani. Masalahnya dia sendiri pun hanya sebatas petani penggarap, yang dihadapkan pada berbagai persoalan.

"Masalahnya saya hanya petani penggarap. Lain cerita kalau saya punya lahan, ya mungkin saja anak saya langsung diarahkan jadi petani. Tapi terserah nasibnya saja, mau jadi petani atau tidak, nggak masalah, yang penting kerja halal," kata Cecep.

Tapi asumsi Cecep itu disergah oleh Acim, temannya sesama petani. Menurut Acim anak-anak orang kaya pemilik lahan jarang yang tertarik menjadi petani.

"Kan kebanyakan anak pemilik lahan malah menjual sawah orangtuanya untuk modal usaha atau modal jadi pegawai. Kayak nggak tahu anak-anak zaman sekarang, 1000 banding 1 lah kalau memang masih ada yang mau jadi petani, kotor-kotoran, panas-panasan," kata Acim alias Abdul Hasyim ini.

Acim sendiri mengaku bukan cita-citanya menjadi petani, tapi karena keadaan yang membuat dia akhirnya jadi petani. "Saya juga dulu tukang kredit, bangkrut. Sempat berdagang, bangkrut. Akhirnya buruh cangkul, menyabit ternyata keterusan, akhirnya punya lahan garapan," kata Acim.

Dorong Regenerasi dengan Jaminan Pembelian Hasil Panen

Dadan Ridwan (33) Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Enoi Hikari Ikamaja Tasikmalaya mengatakan, upaya mendorong regenerasi petani tidak cukup hanya dengan program pelatihan atau pembekalan.

Menurut Duta Petani Milenial Kementerian Pertanian RI tahun 2022 itu, sebanyak atau segencar apa pun program mencetak petani, akan kurang efektif, jika persoalan riil yang dihadapi petani tak dibenahi.

"Memang regenerasi petani jadi masalah serius, tapi upayanya tak cukup hanya pelatihan atau mencetak petani saja, kalau masalah intinya tak dibenahi," kata Dadan.

Satu masalah penting yang harus dibenahi menurut Dadan adalah perlunya perlindungan harga hasil panen. Dia menjelaskan menekuni bisnis pertanian saat ini sangat riskan. Modal besar, durasi panjang tapi penuh risiko.

"Kan bertani itu rawan, kalau rugi edan (gila) kalau untung bisa beli sedan," kata Dadan.

Tapi dari sekian banyak risiko dan tantangan, fluktuasi harga jual hasil panen adalah bagian tersulit. Persoalan ini sangat sulit disiasati.

"Sok sekarang kita bahas tantangan dan risiko petani, masalah SDM gampang, masih banyak yang mau jadi petani. Masalah lahan, gampang, bisa nyewa. Soal ancaman hama, gampang kita bisa belajar, banyak ahlinya, di YouTube juga banyak. Mau komoditas apa saja InsyaAllah kita bisa tanam. Mau pakai teknologi apa pun bisa, minimal bisa meniru. Tapi ketika harga jual jatuh, kita petani bisa apa? Boncos bos!," kata Dadan.

Oleh karena itu, Dadan berharap perlindungan harga jual semua komoditas pertanian benar-benar diterapkan oleh pemerintah. Sehingga petani memiliki jaminan roda usahanya berputar lancar.

"Ya ditentukan harga jual terendah dan tertingginya oleh pemerintah. Jadi walau pun di bandar jatuh, kita bisa menjual ke pemerintah atau lembaga yang ditunjuk, dengan harga yang masih bisa memberi keuntungan," kata Dadan.

Dia mengakui untuk menerapkan pola ini, pemerintah pasti harus mengeluarkan dana subsidi, karena intervensi pengendalian harga pasar jelas butuh anggaran.

"Makanya terapkan pola subsidi pasca panen, jadi pemerintah bantunya jangan memberi saprotan, tapi bantu membeli hasil panen dengan harga layak," kata Dadan.

Usulan jaminan pembelian hasil panen sendiri, menurut Dadan berkali-kali diwacanakan oleh pemerintah. Namun hingga kini tak kunjung ada realisasi.

"Kota Tasikmalaya juga punya Perda Nomor 05 tahun 2017, tentang ketahanan pangan. Di aturan itu ada jaminan pembelian hasil panen, tapi sampai sekarang nggak ada realisasi, turunan Perwal-nya pun belum ada," kata Dadan.

Subsidi pasca panen berupa jaminan pembelian hasil panen itu, menurut Dadan bukan hal yang mustahil atau harapan yang mengawang-awang. Dadan mengatakan pola serupa dilakukan oleh Pemerintah Jepang.

"Negara maju sudah begitu, pengalaman saya di Jepang begitu. Selain ada jaminan dibeli dengan harga layak, pemerintah juga mengatur komoditas dengan sistem zonasi. Misal wilayah A tanam melon, wilayah B sayuran," kata pria yang pernah menjadi buruh tani di Jepang ini.

Dengan begitu petani bisa tenang dan fokus pada produksi, petani tak lagi was-was ketika panen harga jual jatuh.

"Kalau sudah ada jaminan seperti itu, petani skala kecil pun bisa tumbuh, orientasi berubah dari kuantitas menjadi kualitas. Sekarang kan orientasinya kuantitas, karena margin keuntungan tipis maka harus digenjot kuantitas," kata Dadan.

Jika iklim usaha pertanian sudah kondusif atau risiko ruginya ditekan, maka regenerasi petani pun akan terjadi dengan sendirinya.

"Kalau setiap panen cuan, anak-anak muda pasti tertarik. Semua butuh bukti nyata, selama usaha pertanian penuh risiko ya pasti susah," kata Dadan.

(yum/yum)


Hide Ads