Selama 16 tahun berlalu, jemaah Ahmadiyah Parakansalak, Sukabumi, belum bisa mendapatkan masjid dan madrasah yang layak setelah sempat disegel pada beberapa tahun ke belakang. Empat kubu calon Gubernur Jawa Barat dan dua calon Bupati Sukabumi tak ada yang merangkul mereka, namun para jemaah sudah berkomitmen untuk tidak golput dalam pemilihan kepala daerah pada 26 November 2024 lalu.
Hasilnya, pasangan calon Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan mendapatkan suara terbanyak sebesar 14.130.192 untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Sementara di Kabupaten Sukabumi, pasangan Asep Japar-Andreas yang memperoleh suara terbanyak dengan 564.862 suara.
Siang itu, keluarga Asep Saepudin (75), terlihat sedang bersantai di rumahnya. Asep keluar dari pintu sebuah rumah bernuansa hijau dan mempersilakan detikJabar masuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Silakan duduk, saya baru selesai lihat tukang di kebun," ucapnya ramah saat ditemui beberapa waktu lalu.
Kegiatannya di masa tua ini terbilang cukup menenangkan. Sebagai pensiunan ASN di Departemen Agama, ia menghabiskan waktunya di kebun dan bersenda gurau dengan sang cucu. Selain itu, ia masih menjabat sebagai Ketua Ahmadiyah cabang Parakansalak, Kabupaten Sukabumi.
Pergantian Pemimpin Tak Menghapus Luka Diskriminasi
Asep mengingat jelas tepat pada 27 April 2008 silam, sekitar pukul 00.00 WIB, Masjid Al Furqon yang mereka bangun dibakar massa. Sebelum peristiwa itu terjadi, Asep baru saja menyelesaikan pengajian bersama bapak-bapak di masjid.
"Kami juga tidak punya dugaan apa-apa. Saya ingat itu malam Senin, waktunya pengajian bapak-bapak, selesai pengajian ada isu ramai, cuman kita tidak terlalu memperhatikan dan akan terjadi seperti itu, saya pikir itu tidak mungkin terjadi, yang namanya umat Islam membakar masjid nggak mungkin kan," kata dia.
Mendapat tindakan itu, Ahmadiyah memilih untuk tidak bereaksi. Ia berterus terang bahwa masjid yang dibakar itu sudah berkali-kali diperbaiki. Untuk sekadar memperbaiki masjid pun, mereka harus meminta izin kepada aparat kewilayahan.
"Masjid dibakar sudah berkali-kali diperbaiki, terakhir tahun 2020 (diperbaiki), tapi oknum aparat tidak boleh, padahal itu kan hak kami, sampai disegel, masjid sudah disegel dua kali. Kemudian kami beribadah di kelompok-kelompok. Kami punya satu keinginan, salat itu ingin nyaman, ingin khusyuk makanya kami lakukan perbaikan-perbaikan," ucap Asep.
Usai peristiwa dibakarnya masjid itu, sejumlah rumah di Desa Parakansalak tiba-tiba ditempeli stiker Non Ahmadiyah. Namun, warga mengaku tidak tahu siapa yang menempelkan stiker tersebut.
Stiker itu berwarna putih dengan tulisan kecil berwarna hitam yang berbunyi Keluarga Besar Muslim Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Sedangkan kata Non Ahmadiyah ditulis dengan warna merah dengan tulisan yang lebih besar.
"Saya tidak tahu kapan tempelan (stiker) itu ditempel," kata Junaidi, warga Kampung Lebaksari, Desa Parakansalak dikutip dari detiknews.
Kembali kepada Asep, diskriminasi lagi-lagi dialami kelompok Ahmadiyah. Sebuah papan putih berlogo Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terpancang pada satu tiang bangunan madrasah yang masih dalam proses rehab pada 10 Februari 2023 lalu.
Tulisan berwarna merah di papan itu terlihat mencolok, isi tulisannya 'Bangunan ini Disegel'. Pada bagian bawahnya terdapat tulisan agak kecil, 'Melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi nomor 10 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat'.
"Pada saat itu madrasah bangunannya sudah puluhan tahun, dibangunlah (rehab). Harusnya kan kalau mau menyegel barang orang harus ada prosesnya, pertama peringatan, ada SP1, SP2, tapi ini langsung. Ketika saya tanya ke Satpol PP, apa dasarnya, bahasanya mengganggu ketertiban umum," ucapnya.
Tak hanya itu, berbagai kegiatan sosial komunitas yang mereka lakukan, seperti bazar sembako murah dengan nilai total Rp25 juta untuk merayakan kemerdekaan pada tahun 2024 ini mendapat penolakan. Tepat sehari sebelum pelaksanaan,
"Kami ingin berbagi kebaikan, tapi saat itu surat keluar untuk menghentikan kegiatan. Tapi, kami tidak gentar dan tetap melaksanakan dengan cara lain. Alhamdulillah, antusias masyarakat bagus," tambahnya.
Asep mengungkapkan bahwa selama ini ada upaya untuk menyudutkan Jemaat Ahmadiyah dengan menyebarkan isu yang tidak benar, seperti tuduhan bahwa mereka memiliki syahadat dan kiblat yang berbeda.
"Kami meyakini bahwa syahadat yang kami ucapkan tidak berbeda, kami tetap mengaku sebagai umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Saya istighfar ketika mendengar syahadat Ahmadiyah berbeda karena sejak kecil, TK, madrasah hingga perguruan tinggi syahadat kami sama. Buku karangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah ada dua kalimat syahadat seperti yang diisukan di luar," ungkapnya.
Sukabumi sudah dipimpin dua bupati berbeda sejak insiden tahun 2008, juga dua gubernur, tapi masalah ini tak kunjung tuntas. Hingga saat ini, tensi antara jemaah dan non-jemaah Ahmadiyah di desa itu memang mereda, tapi tidak hilang seluruhnya. Jemaah masih berharap hak beribadah mereka bisa terpenuhi.
Kendati kerap mendapat cobaan, mental warga Ahmadiyah Parakansalak tetap kuat. Menurut Asep, keyakinan yang mereka anut mengajarkan bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan. "Kami selalu memberikan pemahaman kepada anggota. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal bagaimana kita lulus ujian dalam memegang keyakinan," ucap dia.
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, anggota Ahmadiyah berbaur dengan masyarakat umum. Bahkan, beberapa anggota dipercaya menduduki posisi publik seperti Ketua RT. Mereka pun tidak menyembunyikan identitas mereka.
"Kami biasa saja. Kalau bicara di hadapan umum, cirinya orang Ahmadiyah itu pasti memulai dengan syahadat, 'asyhadu an laa ilaaha illallahu, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah, Al-Fatihah, dan shalawat. Orang langsung tahu ini pasti Ahmadiyah," katanya.
Tidak Golput
Resistensi terhadap jemaah Ahmadiyah menguat di tahun 2005 setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa aliran Ahmadiyah sesat. Di seluruh Sukabumi, jemaah menyebut jumlah pengikut Ahmadiyah mencapai lebih dari 2.000 orang, 224 orang di antaranya berada di Parakansalak.
Ditambah lagi regulasi pemerintah yang melarang segala aktivitas yang berkaitan dengan penyebaran penafsiran dan aktivitas yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Aturan itu termaktub dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011.
Beberapa poin penting dalam peraturan ini meliputi larangan penyebaran ajaran, penghentian kegiatan JAI yang berkaitan dengan penyebaran ajaran yang dianggap menyimpang dan pelanggaran terhadap peraturan ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan ini telah menimbulkan berbagai tanggapan dan kontroversi. Beberapa pihak meminta agar peraturan ini dikaji ulang karena dianggap membatasi kebebasan beragama dan berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap anggota JAI.
"Ahmadiyah ini kasus spesifik karena ada Pergub yang tindaklanjuti dari SKB 3 Menteri dulu, dan belum dicabut. Jadi mungkin paling harus dikaji lagi Pergub ini, masih relevan atau tidak. Nanti paling tidak dengan Pemprov untuk melakukan kajian kembali," kata Ketua FKUB Jawa Barat, Rafani Achyar pada Juli 2024 lalu.
Kembali ke Asep. Dia mengatakan, pimpinan Ahmadiyah melarang seluruh jemaatnya untuk golput atau tidak menyalurkan hak pilihnya meski tak ada rangkulan dari para calon kepala daerah. "Tidak boleh golput, semua harus nyoblos," katanya.
"Bedanya di Ahmadiyah itu kan ada pimpinannya tingkat cabang, daerah, ada tingkat nasional sampai dunia. Kalau kata pimpinan A ya A karena sami'na wa atha'na, tapi tidak memberikan paksaan, cuma memberikan gambaran kita sebagai warga negara harus memilih pemimpin yang adil, adil dalam memilih keyakinan," sambungnya.
Catatan Kelam soal Intoleransi
Sepanjang tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara, sementara 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.
Selain itu, SETARA Institute juga mencatat bahwa penggunaan delik penodaan agama masih tinggi, dengan 15 kasus pada tahun 2023. Tindakan intoleransi oleh masyarakat tercatat sebanyak 26 tindakan, dan diskriminasi oleh elemen negara sebanyak 23 tindakan.
Kasus di tahun 2023 ternyata lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2022. Di tahun itu, SETARA Institute mencatat, ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
Data-data ini menunjukkan bahwa kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan masih menjadi tantangan serius di Indonesia, dengan keterlibatan berbagai aktor baik dari negara maupun masyarakat.
Calon Gubernur Jawa Barat dengan suara terbanyak, Dedi Mulyadi turut menanggapi terkait isi intoleransi di Jabar. Dedi Mulyadi menyoroti politisasi agama untuk kepentingan elektoral sebagai penyebab intoleransi. Menurutnya, ada kekuatan politik yang mengapitalisasi agama untuk kepentingan elektoral.
"Pemerintah provinsi tidak boleh takut pada kaum intoleran. Pegang teguh aturan. Jangan kapitalisasi agama untuk kepentingan politik. Ini yang menjadi problem. Insya Allah kita akan hidup rukun dan damai," kata Dedi.
Dalam empat visi yang disampaikan pasangan Dedi-Erwan juga mencantumkan kemerdekaan beragama bagi warga Jabar. "Pembangunan yang menghormati kebebasan beragama dan memberikan perlindungan ibadah secara merdeka," sambungnya.
Apakah ke depan kasus intoleransi di Jawa Barat khususnya yang menimpa Ahmadiyah akan mereda? Ini menjadi pekerjaan rumah pasangan Dedi-Erwan selama lima tahun ke depan.
(orb/orb)