Di sebuah komunitas kecil yang majemuk, toleransi beragama telah menjadi fondasi penting bagi keharmonisan masyarakat. Namun, di tengah keberagaman ini, tantangan terus muncul.
Dalam percakapan hangat detikJabar bersama Siti Masithah beberapa waktu lalu, seorang warga dari komunitas Ahmadiyah, dan Mulyawan, seorang ahli politik, terungkap berbagai perspektif menarik tentang kerukunan dan dinamika kelompok rentan, utamanya selama masa Pilkada 2024.
Harmoni yang Rentan
"Hubungan kami dengan warga sebenarnya sangat baik," ujar Siti Masithah sambil tersenyum. Di komunitasnya, meskipun Ahmadiyah adalah kelompok minoritas, mereka merasa diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar.
"Kalau ada yang sakit, warga datang menjenguk. Kalau ada kegiatan, kami juga berpartisipasi. Tapi tetap saja, ada pihak-pihak yang mencoba memprovokasi," lanjutnya.
Bagi Siti, tantangan terbesar bukanlah dari warga sekitar, melainkan dari persepsi dan provokasi yang datang dari luar. "Toleransi itu sudah ada di sini. Tapi ada saja yang mencoba mengorek-ngorek, memunculkan intoleransi yang sebenarnya tidak pernah terjadi di lapangan," kata dia.
Sementara itu, Pengamat Politik dan Sosial-Keagamaandari Research and Literacy Institute (RLI) MulyawanSafwandi Nurgraha memberikan perspektif yang lebih luas. Ia menyoroti bahwa isu seperti ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga bisa menjadi perhatian nasional dan internasional.
"Isu terkait Ahmadiyah sangat sensitif. Pimpinan daerah harus berhitung dengan cermat untuk menghindari konflik horizontal yang bisa meluas," jelasnya.
![]() |
Identitas dan Stigma
Mulyawan mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi kelompok seperti Ahmadiyah lebih terkait dengan bagaimana mereka dipahami oleh masyarakat luas.
"Ahmadiyah itu masuk golongan mana? Islam atau bukan? Kalau dianggap agama baru, mungkin lebih mudah diterima. Tapi karena mereka menjalankan ritual yang mirip dengan Islam, hal ini sering menjadi perdebatan," katanya.
Namun, ia menegaskan bahwa kelompok seperti Ahmadiyah seharusnya tidak dianggap sebagai 'minoritas' dengan stigma negatif, melainkan sebagai 'kelompok rentan' yang memerlukan perhatian khusus.
"Kelompok rentan itu jumlahnya sedikit sehingga mereka menjadi lebih rentan terhadap diskriminasi dan butuh perlakuan afirmatif," lanjutnya.
Konflik di Era Media Sosial
Perkembangan teknologi dan media sosial juga menjadi tantangan baru. Mulyawan mengingatkan bahwa isu-isu sensitif seperti ini sangat mudah dipolitisasi atau diperkeruh oleh informasi yang salah.
"Ketika hoaks atau fitnah tersebar di media sosial, konflik masyarakat dengan masyarakat menjadi lebih sulit dikendalikan. Ini yang harus kita waspadai," katanya, merujuk pada insiden di Panjalu yang memanasusai desakan masyarakat tentang pembubaran Ahmadiyah dan pengalihan pengelolaan enam masjid Ahmadiyah kepada MUI.
Namun, ia menekankan bahwa konflik sebenarnya bisa dicegah jika semua pihak, termasuk pemerintah, salah satunya dengan tindakan bijak. "Selama mereka bisa beribadah sesuai keyakinannya tanpa gangguan, seharusnya tidak ada masalah," tambahnya.
Harapan untuk Pendewasaan Beragama
Siti Masithah berharap bahwa toleransi di komunitasnya bisa terus terjaga. "Kami hanya ingin hidup damai, menjalankan keyakinan tanpa gangguan. Kami percaya bahwa pengadilan Allah itu adil, jadi kami selalu berusaha bersikap baik kepada siapa pun," ujarnya penuh harap.
Senada, Mulyawan menutup dengan pesan penting tentang pendewasaan dalam beragama. "Kunci dari keberagaman adalah pendewasaan. Masyarakat harus belajar untuk menerima perbedaan. Pemerintah juga memiliki tugas besar untuk mendidik masyarakat agar memahami keberagaman tanpa menghakimi," tegasnya.
Bagi Siti dan komunitasnya, perjalanan menuju harmoni penuh tantangan, tetapi dengan dialog, pengertian, dan kebijakan yang bijak, masa depan yang damai tetap menjadi harapan mereka.
Hal itupun yang diharapkan pada pemimpin baru di Jawa Barat. Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dengan suara terbanyak, Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan mengungkapkan komitmennya pada isu kelompok rentan di Jabar.
Dedi mengklaim bahwa warga Jabar sudah hidup toleransi dan tidak memiliki permasalahan tentang agama. Namun, kata dia, ada kekuatan politik yang mengapitalisasi agama untuk kepentingan elektorat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk itu kalau ingin merukunkan orang Jawa Barat, sekali lagi orang Jawa Barat itu toleran tapi tidak berani menghadapi orang yang intoleran," kata Dedi.
"Yang paling utama jangan sekali-kali mengkapitalis isu agama untuk kepentingan politik. Ini yang menjadi problem. Insya Allah kita akan hidup rukun dan damai," tutupnya.