Potret Ahmadiyah Sukabumi dalam Bayang-bayang Janji Politik

Potret Ahmadiyah Sukabumi dalam Bayang-bayang Janji Politik

Siti Fatimah - detikJabar
Sabtu, 21 Des 2024 22:30 WIB
Ilustrasi Toleransi
Ilustrasi toleransi. (Foto: Edi Wahyono/detikcom)
Sukabumi -

Saat hiruk pikuk pilkada menggema di Jawa Barat, khususnya di Sukabumi, satu komunitas berjalan dalam sunyi. Adalah Ahmadiyah, kelompok yang kerap dipinggirkan dalam dinamika politik. Di tengah kampanye yang riuh, pertanyaan sederhana muncul, dimana posisi mereka dalam pesta demokrasi ini?

Di salah satu sudut Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Kampung Parakansalak RT 2 RW 3 Kecamatan Parakansalak, berdiri permukiman kecil yang menjadi rumah bagi warga penganut Ahmadiyah. Mayoritas warga di sini sudah terbiasa dengan stigma, penolakan, hingga diskriminasi.

Senyum ramah seorang pria berambut putih yang mengenakan batik menyambut detikJabar saat berkunjung ke kediamannya. Pria tersebut tak lain adalah Asep Saepudin (74), tokoh sekaligus Ketua Ahmadiyah di Parakansalak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sosok Asep sempat mendapat sorotan dunia internasional pada tahun 2008 silam, saat itu masjid Al Furqon dibakar sekelompok orang. Dari penelusuran detikJabar, pemberitaan soal pembakaran masjid Ahmadiyah itu diliput media asing terkemuka seperti The Newyork Times, LA Times hingga Reuters.

Pada tahun 2024 ini, masa pilkada mendatangkan perasaan campur aduk antara harapan untuk inklusi, sekaligus keraguan terhadap janji manis para kandidat. Bagi organisasi Ahmadiyah, politik sering kali dianggap bukan ruang aman.

ADVERTISEMENT

Menurut Asep, tidak ada tim sukses atau kandidat yang secara resmi datang untuk melakukan sosialisasi ke komunitas mereka. Padahal, sikap terbuka sudah ia kedepankan. Asep pun mengaku sempat mendapat informasi salah satu calon akan mengunjungi mereka namun hal itu pun berakhir hanya isapan jempol belaka.

"Kalau ada yang mau datang, silahkan. Tim sukses tidak ada yang datang hanya sebatas informasi mau ada yang datang, kalau bagi saya mah terbuka saja, silahkan kalau mau datang karena mereka pun punya satu kewajiban juga untuk menyampaikan sosialisasi, kalau di sini yang saya perhatikan tidak ada yang sosialisasi terus terang, terbuka, nggak ada," kata Asep saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.

Dalam setiap gelaran pilkada, Jemaat Ahmadiyah secara organisasi memang menegaskan sikap netral. Politik praktis tidak diperbolehkan untuk membawa nama organisasi, namun setiap anggota diberikan kebebasan menggunakan hak pilihnya.

"Kami Ahmadiyah bukan organisasi politik, semua anggota Ahmadiyah diberikan kebebasan hak pilih. Politik praktis secara pribadi boleh tapi tidak boleh mengatasnamakan organisasi, diizinkan, dan malah oleh pimpinan Ahmadiyah di Indonesia diinstruksikan bahwa Ahmadiyah itu tidak boleh golput. Semua harus menyuarakan hak pilihnya," ujarnya.

Di tengah suasana pilkada ini, Asep Saepudin mengungkap harapan sederhana bagi komunitasnya. Dengan nada getar, ia mengatakan bahwa mereka tak perlu pembelaan, hanya ingin mendapatkan hak yang sama dengan warga pada umumnya.

"Kami hanya ingin hak kami sebagai warga negara sama dengan yang lain. Walaupun ada perbedaan dalam pemahaman agama, ini bukan tentang keyakinan. Ini tentang hak hidup sebagai warga negara, artinya kami tidak harus dibela tapi hak kami harus sama," ucap Asep.

Asep menegaskan bahwa Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi berbadan hukum dan legal di Indonesia. Ia pun berharap pemerintah dapat bijak dalam menyikapi berbagai isu yang beredar. "Kadang ada salah persepsi karena orang tidak tahu langsung. Kalau ada yang penasaran, tanyakan langsung pada kami. Jangan hanya mendengar kata orang," sambungnya.

Ahmadiyah Sukabumi.Asep Saepudin. (Foto: Siti Fatimah/detikJabar)

Janji Manis Calon Kepala Daerah

Isu mengenai toleransi, perbedaan keyakinan dan keberagamaan sering kali menjadi topik yang dibahas dalam debat publik lima tahun sekali. Masing-masing calon beradu gagasan dan saling melempar janji untuk mendapatkan suara kelompok minoritas. Perbedaan keyakinan yang kerap menjadi sumber konflik, di momen pilkada ini ditanggapi dengan pendekatan yang lebih inklusif oleh para calon gubernur dan wakil gubernur.

Ronal Surapradja, calon wakil gubernur dari pasangan Jeje-Ronal, menekankan pentingnya keberagaman sebagai kekayaan Jawa Barat. Ia memperkenalkan program MESRA (Merawat Silaturahmi Antar Umat Beragama), sebuah inisiatif yang dirancang untuk memperkuat komunikasi antarumat beragama hingga tingkat kelurahan. Bagi Ronal, menjaga keharmonisan adalah kunci.

"Indonesia itu beragam, bukan seragam. Keberagaman adalah anugerah, bukan masalah," ujar Ronal dalam debat publik. Program ini, menurutnya, akan memastikan bahwa semua warga, termasuk kelompok minoritas, merasa dilindungi dan dihormati," kata Ronal.

Sementara itu, Ilham Akbar Habibie, calon wakil gubernur dari pasangan lainnya, membawa perspektif yang lebih personal. Pengalamannya hidup sebagai minoritas di Jerman menjadi latar belakang dalam pandangannya soal toleransi. "Fondasi kemajuan Jawa Barat adalah toleransi terhadap perbedaan, khususnya dalam agama," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh menunjukkan intoleransi dalam bentuk apapun, bahkan dalam candaan. Ilham menilai, toleransi bukan hanya sebuah konsep, tetapi sikap yang harus dicontohkan oleh pemimpin demi mencegah penghinaan dan kegaduhan di masyarakat.

Jeje Wiradinata, calon gubernur dari pasangan Jeje-Ronal, membawa konsep PELITA (Program Edukasi Lintas Agama) untuk menanamkan rasa saling percaya dan pemahaman antarumat. Ia menyoroti pentingnya pendidikan lintas agama yang diterapkan secara luas, bahkan hingga tingkat lokal di wilayah dengan keberagaman tinggi.

"Konflik intoleransi sering kali muncul karena kurangnya kepercayaan dan pemahaman satu sama lain," ujarnya. Jeje juga mengusulkan perluasan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) hingga ke tingkat desa, menjadikannya lebih inklusif dan dekat dengan masyarakat.

Pernyataan dari para kandidat ini menunjukkan bahwa toleransi bukan hanya menjadi komitmen, tetapi juga strategi pembangunan. Bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang memperjuangkan kesetaraan dan hak bagi semua warga tanpa memandang latar belakang mereka.

Di tengah dinamika Pilkada Sukabumi, Jemaat Ahmadiyah Parakansalak tetap mempertahankan hak pilih mereka. Harapan terbesar mereka adalah diakuinya kesetaraan hak sebagai warga negara Indonesia tanpa diskriminasi.

"Kami ingin memilih pemimpin yang adil, adil dalam hal apapun, termasuk kebebasan beribadah dan berkeyakinan," tutup Asep Saepudin.

(orb/orb)


Hide Ads