Di Kelurahan Palabuhanratu, Sukabumi, sisa-sisa hujan deras masih terasa dinginnya di udara. Bau tanah basah dan reruntuhan menyambut siapa saja yang datang ke lokasi bencana banjir yang terjadi, Rabu (4/12/2024) lalu. Wilayah yang semula penuh kehidupan itu kini menyisakan duka mendalam, rumah-rumah hancur dan harapan perlahan redup.
Hingga hari ini, Minggu (8/12/2024) 5 nyawa telah melayang akibat bencana alam yang datang secara tiba-tiba. Sementara itu, 7 orang lainnya masih belum ditemukan. Tim pencarian dan penyelamatan, yang terdiri dari BPBD, Basarnas, hingga warga setempat, berjuang tanpa henti di medan yang sulit dan penuh risiko longsor susulan.
Baca juga: 5 Fakta Dahsyatnya Bencana Alam di Sukabumi |
"Pas dengar suara meledak, langsung ambil anak soalnya air sudah masuk ke sini, setinggi lutut. Langsung naik airnya," kata Ratna Puri (36), salah satu korban banjir di Kampung Cempaka Putih RT 05 RW 11, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan suara bergetar, ia bercerita tentang detik-detik saat air bak suara ledakan masuk ke dalam rumahnya. Dia mengatakan, mulanya hujan hanya merembes ke bagian dinding dapur rumahnya. Namun sesaat kemudian, dinding dapurnya itu jebol.
"Kaya gas suara ledakannya, kaya gas meledak aja. Saya kaget kirain apa gitu ya pas lihat air sudah masuk langsung gendong anak lagi pada tidur dan pergi, air sudah besar. Kaya rembesan pertama-tama, dikira nggak akan sebesar ini," ujarnya.
Saat kejadian berlangsung, dalam rumah Ratna terdapat 11 jiwa termasuk empat anak, adik dan ibunya. Usai peristiwa itu, ia memilih untuk mengungsi sementara ke rumah tetangganya yang sudah bertahun-tahun tak terpakai.
"Ada rumah tetangga yang bertahun-tahun kosong diisi saya. Alhamdulillah kebutuhan dari tetangga ada yang ngasih," kata dia.
Di posko pengungsian, suasana tak kalah memilukan. Anak-anak yang kehilangan tempat tinggal mencoba tersenyum, sementara para orang tua menguatkan diri di tengah ketidakpastian. Sekitar 300 warga di Kecamatan Cikembar mengungsi di tenda darurat, menghadapi keterbatasan.
"Rumah hancur banyak yang hancur semuq. Sekitar pukul 16.00 (awal mula muncul retakan) lama-kelamaan pulang jadi besar. Habis Magrib datang dari kepolisian diminta evakuasi, langsung semuanya berangkat disuruh mengungsi," kata Nurjana (33) korban pergerakan tanah di Desa Sukamaju, Kecamatan Cikembar.
Dia bersama istri dan kedua anaknya terpaksa mengungsi di tenda pengusian Balai Desa. Sesekali ia melihat kondisi rumahnya yang terdampak pergerakan tanah. Pintu rumahnya sudah tak bisa dibuka, dinding rumah pun penuh retak dan tanah di atas rumahnya berdiri sudah miring.
"Ya senyaman-nyamannya lebih nyaman di rumah, tapi yang lebih utama keluarga semua selamat," ucapnya.
Bencana ini tak hanya membawa luka fisik, tetapi juga trauma mendalam bagi para korban. Psikolog relawan yang berada di lokasi menyebutkan, banyak anak dan orang dewasa mengalami gangguan tidur dan ketakutan berlebih akibat kejadian ini.
Di balik semua duka, upaya bantuan terus berdatangan. Pemerintah daerah menetapkan status tanggap darurat, sementara relawan dan organisasi kemanusiaan dari berbagai daerah turut mengirimkan logistik. Di tengah reruntuhan Sukabumi, harapan akan kehidupan baru perlahan tumbuh.
(mso/mso)