Ketersediaan pupuk kimia bersubsidi menjadi salah satu kendala yang dialami petani di seluruh wilayah Kabupaten Bandung Barat (KBB), tanpa terkecuali.
Padahal, pupuk sangat penting demi optimalisasi pertumbuhan tanaman. Kemudian menunjang dari sisi produktivitas, sehingga hasil pertanian bisa didapat secara maksimal.
Berangkat dari segala problematika di lapangan itu, sekelompok petani di Kampung Citeureup, Desa Girimukti, Kecamatan Saguling, Bandung Barat berinovasi membuat pupuk sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam wadah Rumah Hayati, ada dua gabungan kelompok tani (gapoktan) yang terlibat dalam proses inovatif tersebut. Mereka kebanyakan petani sayuran yang sudah punya segudang pengalaman.
"Jadi awal kita bergerak memproduksi pupuk sendiri ini karena keluhan yang kami dan petani lain rasakan. Pupuk kimia bersubsidi itu susah, terus harganya mahal," kata Ketua Rumah Hayati, Acep Rukmana (37), saat berbincang dengan detikJabar, Rabu (3/10/2024).
Acep menyebut pupuk yang mereka produksi merupakan pupuk cair organik dari bahan baku hayati. Di antaranya tumbuhan seperti eceng gondok, rebung bambu, hingga umbi-umbian.
"Bahan bakunya itu kebanyakan tumbuhan, karena kan pupuk cair organik hayati. Jadi semua bahan-bahan itu, seperti eceng (gondok), rebung, dan umbi-umbian kita kumpulkan, kita chopping (dicacah), dimasukkan ke drum lalu difermentasi," kata Acep.
![]() |
Setelah difermentasi kurang lebih selama sepekan, kemudian ditambahkan bakteri yang dibeli dari laboratorium atau toko bahan kimia. Bakteri itu bakal meningkatkan keampuhan cairan fermentasi terhadap tumbuh kembang tanaman.
"Hasilnya itu berbeda, biasanya dari segi kuantitas lebih banyak yang cair organik. Kemudian intensitas panen, misalnya sayuran yang panen setahun 10 kali kalau pakai pupuk kimia, kalau pakai yang organik bisa 12 kali. Dari rasa juga lebih enak yang organik," kata Acep.
Hal itu bukan omon-omon semata, sebab Rumah Hayati melakukan perbandingan. Mereka membangun sebuah demplot atau lahan percontohan untuk membandingkan proses penanaman dengan pupuk kimia dan pupuk cair organik.
"Ya alhamdulillah memang hasilnya seperti itu. Makanya sekarang kita merambah ke produksi massal lalu kita jual ke petani lain se-KBB karena niatnya kan membantu mengatasi kesulitan pupuk. Awal-awal kita sebulan itu cuma bisa produksi 200 liter, alhamdulillah sekarang bisa sampai 600 liter. Tapi kalau harga kita enggak bisa bilang, yang pasti lebih terjangkau daripada pupuk kimia," ujar Acep.
Inovasinya itu terendus oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mereka kemudian ikut perlombaan petani berprestasi dalam bidang inovasi pertanian. Hasilnya cukup menggembirakan.
"Lombanya beberapa bulan lalu, kita dapat juara 3. Ada piagam penghargaan dari Pak Pj Gubernur Jawa Barat, karena inovasi kita. Alhamdulillah, semakin meningkatkan semangat dan kepercayaan diri kita," kata Acep.
(yum/yum)