Sebuah ungkapan dari Bung Karno meluncur dari mulut Dandep Setiawan, Perawat Pembina Desa Cibitung, Puskesmas Cibitung, Kabupaten Sukabumi. Ungkapan ini mencerminkan pandangannya tentang tanggung jawab dan kontribusi terhadap negara dan masyarakat.
"Saya tidak akan bertanya apa yang telah negara berikan kepada saya, tapi apa yang saya berikan ke masyarakat dan negara," tuturnya sedikit mengubah isi kutipan saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (5/9/2024).
Dandep adalah seorang mantri desa yang sudah belasan tahun mengabdi sebagai honorer di wilayah Kecamatan Cibitung, sebuah lokasi di wilayah Sukabumi Selatan. Meskipun masih berstatus honorer, kinerjanya bagi masyarakat tak diragukan lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya mantri desa, perawat pembina desa di wilayah 6 Kedusunan, Ciloma, dan kedusunan Ciroyom. Akses layanan paling cepat di wilayah itu harus melalui sungai," kata pria yang akrab disapa Mantri Koboy oleh rekan-rekannya di organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) ini.
"Ia dapat nama panggilan mantri koboy, ya karena tugas saya yang seperti koboy. Melintasi hutan, menyusuri sungai, itu saya lakukan selama 18 tahun," tuturnya terkekeh.
Di usianya yang 39 tahun, nyaris setengah hidupnya tercurah sebagai tenaga medis di wilayah Kecamatan Cibitung. Pahit manis, suka dan duka kerap dihadapi Dandep.
"Tahun 2018, saya masih ingat tapi bulannya lupa. Menjadi salah satu yang menyedihkan dan paling terngiang di kepala adalah saat saya mendapat panggilan dari warga, jam 23.30 WIB. Warga mengabarkan ada anggota keluarganya yang sakit," cerita Dandep.
Dandep yang tinggal di dekat Kantor Desa dan Puskesmas Cibitung itu kemudian bergegas berangkat dengan menahan rasa kantuk. Sepuluh menit kemudian, ia tiba di Dermaga Apung Cikaso. Namun air deras menahan niatnya.
"Perahu banyak saat itu, hanya mesinnya yang kecil ya beleketrek. Juru mudi mengatakan dengan mesin sekecil itu tidak akan mampu melawan arus deras. Yang mampu itu mesin tempel yang biasa dipakai di laut," tuturnya.
Di tengah kegamangan, Dandep terpaku seraya terus menghubungi warga yang meminta pertolongan tersebut. Upaya warga juga terhambat kondisi arus sungai yang malam itu membludak deras.
"Saya bingung mau berangkat ke lokasi, masyarakat juga berupaya mau dibawa ke Puskesmas Cibitung. Enggak bisa, mesinnya enggak mampu, enggak ada perahu yang layak yang bisa mengantar pasien itu," ungkapnya.
Akhirnya, Dandep memutuskan untuk menunggu air surut di Dermaga Cikaso. Sekitar pukul 02.30 WIB, sebuah kabar mengguncang perasaannya.
"Warga itu menelepon lagi, katanya sudah enggak usah berangkat. Pasien meninggal dunia, dini hari itu seorang ayah meninggal dunia karena akses transportasi kami yang tidak memadai," lirihnya, nada suaranya tercekat.
Dandep bekerja tidak sendirian. Ia melakukan petualangan kesehatannya bersama para bidan yang bertugas. Pernah suatu ketika, lagi-lagi gara-gara alat transportasi dengan mesin kecil, seorang ibu terpaksa melahirkan di atas perahu.
"Yang melahirkan di perahu, sering terjadi. Karena perahu dengan mesin kecil, pasiennya melahirkan tidak keburu sampai Puskesmas. Kebayang kan dengan peralatan terbatas, bidan dan pihak keluarga membantu proses lahiran warga di atas perahu," kisahnya.
Dandep dan para bidan yang bertugas tidak pernah mengeluh. Mereka hanya ingin ambulans perahu yang layak dan dilengkapi dengan peralatan medis dasar yang biasanya ada di mobil ambulans.
"Kalau kami tenaga medis, itu 'Simatupang' Siang Malam Tunggu Panggilan. Soal tenaga jangan ditanya, siang-malam pun siap sedia. Namun terhambat di peralatan, terutama ambulans perahu. Kalau saja ada perahu yang agak besar lengkap dengan oksigen, tensi meter, doppler, peralatan medis, enak banget," harapnya.
"Soal biaya, sudahlah itu bagian dari pengabdian. Ke lokasi terdekat pakai perahu selama 1 jam itu Rp 250 ribu, untuk ke wilayah yang agak jauh itu sampai Rp 400 ribu. Belum biaya makan, sudah pasti nombok. Tapi apakah kami menyerah? Tentu tidak, karena kami berusaha semaksimal mungkin memberikan layanan," tutupnya.
(Syahdan Alamsyah/tya)