Sejumlah pedagang kuliner di Kota Bandung mengeluhkan melonjaknya harga cabai dan minyak goreng. Sekedar diketahui, beberapa waktu terakhir harga cabai tembus sampai Rp80 ribu. Padahal harga normalnya yakni berkisar Rp20-30 ribu.
Salah satunya Emilia (36), wanita yang berdagang seblak tepat di depan rumahnya di Jalan Gudang Selatan, Kota Bandung. Seblak Emil, usaha miliknya, rata-rata menjual seblak dengan harga minimalis yakni Rp5-15 ribu tergantung topping yang dipilih. Padahal, bahan baku yang ia gunakan terpaksa butuh modal lebih besar. Sebab seminggu belakangan, harga cabai dan minyak begitu tinggi.
"Saya nggak hitung sih keuntungan berapa, laku berapa porsi, tapi ya untuk modal dalam sehari itu sangat terasa. Saya ke pasar setiap hari, butuh cabai paling tidak 2 kilogram, meski nggak selalu habis ya. Sekarang itu bisa beli sekilo Rp80 ribu sendiri," ceritanya, Rabu (31/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Emil yang sudah berjualan seblak kurang lebih sejak lima tahun yang lalu itu, mengaku tak bisa berbuat banyak. Sebab, sudah banyak pelanggan setianya yang mengandalkan racikan bumbu Emil. Ia pun tak bisa sembarang mengakali lonjakan harga itu.
"Ya saya tetap ngeraciknya, belinya, soalnya nanti kalau dikurangi jadi beda rasanya. Kan orang sudah tahu rasanya kayak gimana, khawatir yang sudah langganan akan pergi kalau rasanya beda," kata Emil.
"Ya jadi agak rugi kalau harga bahan baku naik. Sekarang itu bukan cuma cabai, minyak juga mahal, harganya seliter Rp17.500. Ya sekarang dapat untungnya kalau harga bahan-bahan pada turun dan pembelinya ramai. Biasanya pembeli ramai di jam siang ke malam," lanjutnya.
Mahalnya harga cabai tak cuma berdampak pada para pedagang kuliner kaki lima. Pedagang kuliner yang bisa dibilang sudah cukup legend pun ikut kena imbasnya.
Seperti Edy (52), penjual Bakso Slowi tak jauh dari tempat dagangan Emil di Jalan Gudang Selatan. Edy pun sehari-hari butuh cabai kurang lebih 2,5 kilogram. Ia dibuat kaget bukan main s aat harga cabai melonjak akhir-akhir ini. "Saya biasanya buat sambel itu subuh, sehari butuh 2,5 kilo. Ya kaget, sekarang sudah Rp70-80 ribu padahal kalau harga normal itu Rp20-30 ribu," kata Edy.
Ia mengatakan, bisa dibilang keuntungan para pedagang kuliner saat ini sangat tipis. Mungkin, mereka baru bisa untung saat harga cabai turun. Edy pun tak berani mengakali dengan mengurangi bahan bakunya. Hanya saja, Edy beberapa kali berusaha mengakali dengan memborong cabai dalam jumlah besar jika harganya sedang turun drastis.
"Ya kalau saya mah tidak rugi lah, karena kalau siang itu di sini penuh pembeli, jadi ramai. Dari situ bisa untuk nutup ruginya. Hanya modal saya jadi keluar lebih banyak. Selain itu, penjual yang lain kan ibaratnya bisa untung kalau cabai murah, kalau enggak ya sudah. Harga cabai kan musiman ya, bisa naik banget, bisa turun banget," tutur Edy.
Baik Edy dan Emil, pun berharap agar harga cabai bisa kembali stabil. Sama halnya dengan Yance, Pemilik Rumah Makan khas Padang Malah Dicubo. Kalau menurut Yance, momen mahalnya harga cabai sangat berpengaruh ke para pedagang rumah makan Padang, mengingat banyaknya bumbu dan cabai yang dibutuhkan. "Kalau saya pakai jenis cabainya ada cabai keriting hijau dan merah, cabai domba, cabai merah dan hijau. Itu saya pakai kurang lebih bisa sampai 80 kilogram," cerita Yance.
Untuk pedagang yang sudah cukup tenar seperti warung milik Yance, mungkin sudah biasa dengan harga cabai yang sampai lebih dari Rp100 ribu per kilonya. Yance pun mengaku dampaknya bikin keuntungan laba semakin berkurang. "Ya hanya pasrah saja, sambil menunggu harga stabil kembali. Mengingat harga bahan pokok semua sudah naik, ada minyak goreng juga yang kadang naik dan kadang normal," ucap Yance.
"Strateginya ya kita tidak menaikkan harga makanan. Strategi bertahan saja karena kan harga naik itu bersifat sementara, kualitas juga tidak bisa dikurangi karena bisa merubah rasa dan kualitas makanan. Ya harapannya bisa segera turun harga-harga bahan pokok," lanjut dia.
(aau/iqk)