Bayi laki-laki berusia tiga bulan di Kota Sukabumi, Muhammad Kenzie Arifin meninggal dunia diduga setelah menerima imunisasi empat antigen yaitu BCG, DTT, Polio dan Rotavirus. Dinas Kesehatan Kota Sukabumi pun memberikan penjelasan terkait kondisi tersebut.
Diketahui, peristiwa itu terjadi pada Selasa (11/6/2024) lalu di Puskesmas wilayah Kelurahan Sukakarya, Kota Sukabumi. Kenzie lahir pada 14 Maret 2024 dan meninggal dunia pada 11 Juni 2024.
Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi, drg. Wita Darmawanti mengatakan, peristiwa ini diduga Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Pihaknya sudah memintai keterangan baik dari orang tua maupun dokter dan tenaga kesehatan yang menangani korban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang benar dan ada yang kurang, kalau kronologinya ini versi tanya jawab kita kepada keluarga dan petugas di lapangan karena saat kejadian saya tidak ada di TKP," kata Wita mengawali perbincangan dengan awak media di kantor Dinas Kesehatan Kota Sukabumi, Jumat (14/6/2024) malam.
Dia mengatakan, Kenzie merupakan anak kedua dari pasangan suami istri Isan Nur Arifin (27) dan Deara Wulandari (27). Pada anak pertama yang berusia 5 tahun, orang tuanya menyebut tidak ada KIPI dan mereka mengetahui jika imunisasi dilakukan untuk memberi kekebalan tubuh pada anak.
"Pada saat datang (ke Puskesmas Sukakarya) dokter memeriksa keadaan anak dan dinyatakan sehat. Kemudian anaknya memang usianya sudah 2 bulan lebih 28 hari," ujarnya.
Sama seperti di daerah lain, imunisasi yang merupakan program nasional ini dilakukan sesuai petunjuk pelaksanaan dan teknis. Kondisi korban saat itu sehat namun imunisasi BCG belum diterima sehingga dilakukan imunisasi ganda dengan DPT.
"Yang dikhawatirkan kalau tidak lengkap maka terjadi KLB suatu saat gitu kan ya. Program pusat itu ingin melindungi anak-anak dari penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi," ucapnya.
"Kemudian dilakukan lah imunisasi sesuai dengan usia dan sesuai dengan juklas juknisnya apabila terlewat harus dilakukan apa saja. Dilakukan pemberian vaksinasi BCG di lengan kanan, kemudian ditetes polio itu sudah sesuai, kemudian disuntikkan di paha DPT kemudian diberi Rotavirus, tetes juga berarti disuntiknya dua kali BCG dan DPT kombinasi seperti itu," sambungnya.
Setelah mendapatkan vaksin tersebut, ibu dan bayi pulang ke rumahnya. Jika terjadi demam, maka diberikan resep obat. Ketika pulang, bayi dalam kondisi baik dan sempat diberikan ASI hingga tidur.
"Setelah bangun, bayi nangis ingin menyusui, setelah itu saya juga bertanya, itu setelah menyusui seperti apa ya? Intinya setelah menyusui itu si ibu merasakan kok tiba-tiba si bayi melemah suara tangisannya. Setelah melemah, telepon ke bidan kayak kejang suaranya hilang," ungkapnya.
Saat itu juga, bidan dari Puskesmas Sukakarya dan dokter mendatangi korban ke rumahnya. Dokter dan bidan lantas memberikan obat yang dimasukkan ke dalam anus agar kejangnya membaik.
"Tapi ketika diobservasi keadaan tidak membaik, oleh karena itu segera mereka membawa ke rumah sakit. Mertuanya mau mengantar menggunakan mobil tapi bidannya sudah takut nggak keburu jadinya diantar pakai motor aja, jadi bidan yang bonceng, itu bentuk tanggungjawab. Kemudian diantar ke (RSI) Assyifa, di Assyifa diperiksa kemudian menurut dokter tidak ada (meninggal dunia)," ucap dia.
Saat itu, pihaknya masih belum mengetahui penyebab kematian sang bayi. Mereka lantas mengantarkan orang tua dan bayi ke rumah duka menggunakan mobil ambulans. Proses identifikasi masalah pun dilakukan setelah korban dimakamkan.
Dimulai dari laporan ke Pokja KIPI Kota Sukabumi kemudian berlanjut ke Komda KIPI Jawa Barat hingga Komnas KIPI. Dinkes diwajibkan mengisi beberapa data autopsi verbal sebagai bahan audit khusus lembaga independen tersebut.
"Diminta mengisi formnya itu lengkap sesuai dengan juklas juknis dari sana. Bahkan hari itu kita belum selesai karena banyak ya data-data, vaksinnya, sisa vaksin, suntikannya harus kita siapkan, fotonya segala macam sampai data-data si anak yang satu batch dengan si bayi," kata Wita.
Hingga saat ini, pihaknya masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas KIPI. Pihaknya meminta agar semua pihak bersabar dan bijak dalam menghadapi masalah tersebut.
"Prosedurnya seperti itu, jadi sampai saat ini Dinas Kesehatan melakukan investigasi seluruhnya baik itu dari puskesmas, keluarga, dan serta bukti-bukti lainnya. Kita belum mendapatkan hasil kesimpulannya apa, apakah itu dari human error, apakah dari vaksin atau dari faktor lain nah itu belum diketahui," ucapnya.
"Kalau semua anak nggak mau diimunisasi gimana? Dengan kejadian ini banyak menghantam kita. (Hasilnya bisa diketahui berapa lama?) Kita juga berharap secepatnya sih ya. Biasanya nggak lama tapi kita menunggu lah, nanti kalau sudah ada kita sampaikan lagi, kan hasilnya nunggu tim independen Komnas KIPI," sambungnya.
Soal dugaan antigen yang diberikan kedaluwarsa, Wita membantah hal tersebut. Pihaknya mengklaim, setiap antigen selalu dilakukan pengecekan VVM (vaksin vial monitor) sebelum digunakan.
"Kita juga melakukan pemantauan bagaimana penyimpanan vaksinnya, bagaimana prosedur yang dilakukan, evaluasi, terus kita juga secara berkala itu dilaksanakan, saya selalu memeriksa lantai dinginnya jadi suhu. Nggak ada (kedaluwarsa) VVM itu kan sebagai tanda, indikator bisa digunakan atau tidak," ucap dia.
"Jadi sebelum kedaluwarsa pun VVM itu bisa menunjukkan. Bisa saja vaksin itu belum kedaluwarsa tapi VVM-nya jelek itu tidak digunakan," jelasnya.
Pihaknya pun menghormati keputusan keluarga korban apabila akan dilakukan autopsi secara menyeluruh. "Keluarga kalau diperlukan, berniat untuk autopsi, kita menunggu dari pusat, rekomendasi dari Komnas seperti apa nanti mengikuti," tutupnya.
Sementara itu, pihak keluarga berharap agar kasus ini ditangani sampai tuntas. Sejauh ini, dia baru membuat pengaduan ke aparat kepolisian.
"Kalau keinginan dari keluarga, kasus ini pengen sampai tuntas gitu ya, tidak ada yang ditutupi, apa penyebabnya anak saya sampai meninggal, apa dari karena obat yang terlalu banyak masuk? Atau karena kelalaian bidan atau karena obatnya kedaluwarsa atau apa gitu kan," kata Deara Wulandari (27) selaku ibu korban.
"Kita nggak tahu, kita nggak paham soal itu (medis) yang lebih paham kan pasti dari pihak nakes atau bidan tersebut karena dari lahir anak saya nggak ada penyakit bawaan," tambahnya.
(iqk/iqk)