Asal-usul Bandung tidak bisa dilepaskan dari perbincangan mengenai sejarah kebumian Danau Bandung Purba. Sebab, sebelum dihuni oleh masyarakat sepadat seperti sekarang ini, Bandung adalah sebuah danau.
Itu sebabnya ada banyak tempat yang berawalan kata "Ranca", seperti Rancaekek, Rancasari, Rancamanyar, Rancabatok, Rancakihiang, Rancakendal, dan lain sebagainya. Ranca adalah rawa, bagian tanah yang becek bekas danau yang belum mengering sempurna.
Bentuk bumi Bandung yang cekung karena di sepanjang pinggirannya berderet gunung-gunung, sering dikatakan sebagai Cekungan Bandung, sebagai ungkapan lain untuk menyebut Danau Bandung Purba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, frasa Cekungan Bandung dikukuhkan sebagai nama peraturan untuk acuan penataan wilayah ini, yang secara administratif terbagi ke dalam sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Barat.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung mengukuhkan nama Cekungan Bandung.
Dikutip dari situs Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tujuan penataan ruang ini tak lain untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang berkelas dunia sebagai pusat kebudayaan, pusat pariwisata, serta pusat kegiatan jasa dan ekonomi kreatif nasional, yang berbasis pendidikan tinggi dan industri berteknologi tinggi, yang tentu saja berdaya saing dan ramah lingkungan.
Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung terdiri atas kawasan inti yaitu Kota Bandung dan Kota Cimahi, serta kawasan sekitar yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan 5 Kecamatan di Kabupaten Sumedang.
Dari Miosen ke Plistosen
Pakar Geografi, T. Bachtiar dan Dewi Syafriani menulis buku berjudul "Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi" (edisi keempat, 2016). Di dalam buku tersebut, dikisahkan secara terperinci bagaimana Cekungan Bandung tergenangi air hingga akhirnya surut lagi, dan bagaimana wilayah ini dihuni manusia purba hingga manusia modern seperti sekarang ini.
T Bachtiar mulai bercerita: Pada masa Miosen Awal atau sekitar 22,5-17 juta tahun yang lalu, Cekungan Bandung dan sebagian Jawa Barat masih digenang laut. Terjadi pengangkatan, yang semula dasar laut itu, kini menjadi daratan, menjadi perbukitan kapur Citatah/Rajamandala (di Kabupaten Bandung Barat).
Zaman berpindah ke Miosen Tengah atau sekitar 17-10 juta tahun yang lalu. Di selatan Cekungan Bandung, tumbuh gunung api, di antaranya adalah Gunung Papandayan yang hingga sekarang masih aktif.
Pada zaman Miosen Akhir atau sekitar 10-5 juta tahun yang lalu, kondisi Cekungan Bandung masih berupa dasar laut dangkal. Dasar laut ini terus menyembul hingga menjadi perbukitan kapur Citatah/Rajamandala.
![]() |
Terlempar ke zaman Pliosen, sekitar 5-1,8 juta tahun yang lalu, terjadi kegiatan gunung api di selatan Cimahi. Gunung api purba itu sekarang menjadi bukit-bukit seperti Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Gunung Lalakon, Gunung Paseban, pasir-pasir (bukit kecil) dan lain-lain.
Lalu, pada zaman Plistosen Awal 1,8 juta-700 ribu tahun yang lalu, kegiatan gunung api bergeser ke utara Cekungan Bandung. Ini dibuktikan dengan adanya Sumbat Lava Pantenggeng di utara Padalarang. Sumbat lava atau bagian gunung api yang tidak rusak karena letusan itu menjadi bukti bahwa tempat itu, semula berupa gunung api aktif.
Pada zaman Plistosen Tengah, sekitar 700-500 ribu tahun yang lalu, Gunung Sunda lahir dari Kaldera Gunung Jayagiri. Letusan dashyatnya mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera. Dinding kaldera membentang di sekitar situ lembang.
Di masa Plistosen Akhir, sekitar 500-20 ribu tahun yang lalu, Cekungan Bandung terendam air sehingga menjadi danau purba terjadi.
T Bachtiar menjelaskan: Pada masa ini, sesar lembang secara evolutif terbentuk dan terus bergerak meski sangat pelan. Panjangnya 24 kilometer dari Gunung Palasari di Timur sampai Cisarua di Barat.
Di zaman ini pula, material letusan gunung Sunda membendung Citarum di utara Padalarang, lalu air tertahan menjadi Danau Bandung Purba.
Dari kaldera Gunung Sunda, lahir Gunung Tangkuban Parahu. Makna nama Tangkuban Parahu adalah perahu yang terbalik. Letusan dari kedua gunung itu melelerkan lava seperti terbentuknya lava Pahoehoe di Cikapundung.
Danau Bandung Purba bobol di Cukang Rahong untuk danau bagian barat, dan di Curug Jompong untuk danau bagian timur.
Di sekitar danau yang masih belum kering seperti sekarang ini, manusia prasejarah menjelajah dari satu tempat ke tempat lain, kerangka dan benda budaya manusia purba sebagai bukti aktivitas mereka ini, ditemukan di Gua Pawon, Padalarang.
Letusan Tangkubanperahu terjadi di beberapa titik dari barat sampai timur. Ini lah yang menyebabkan bentuk gunung ini seperti perahu terbalik dilihat dari selatan.
Dari Manusia Purba hingga Modern
Dalam sebuah wawancara dengan penulis pada September 2017, pakar geologi dari ITB, Budi Brahmantyo (1962-2018) menjelaskan bahwa manusia purba atau manusia prasejarah di Cekungan Bandung telah aktif berkegiatan sejak sebelum danau itu surut.
Mereka, di antaranya bepergian dari tempat-tempat yang jauh ke wilayah Kendan, Nagreg. Sebab, di tempat ini ada keberlimpahan batu obsidian. Batu ini jika dipotong pada sudut yang tepat, akan menghasilkan potongan yang tajam, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat pemotong berupa pisau, atau alat berburu berupa mata panah. Batu ini juga tingkat kekerasannya tinggi.
Alat-alat yang dipergunakan manusia purba itu, ditemukan bersama dengan kerangka manusia purba di Guha (goa) Pawon, di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Menurut tuturan Budi Brahmantyo kepada penulis, batu yang ditemukan itu sama unsurnya dengan batu yang ada di Nagreg.
Budi menjelaskan, untuk sampai ke Nagreg dari Guha Pawon yang dianggap sebagai rumah manusia purba itu, mereka menyusuri pinggir-pinggir danau dan sesekali menaiki rakit untuk sampai ke Kendan.
Lain dahulu, lain sekarang. Cekungan Bandung kini dihuni oleh manusia modern, manusia yang urusannya bukan hanya sebatas bagaimana makan dan melalui hari-hari dengan berburu, namun juga membahas hal lain seperti hukum, kapitalisme, model baju, kuliner viral, jurnalisme, bahkan puisi.
![]() |
Tetapi, T. Bachtiar dalam bukunya di atas merasa khawatir dengan kondisi Bandung modern ini, yang semakin hari, pucuk-pucuk gunungnya tidak lagi memerangkap awan sejuk. Karena gunung-gunungnya gundul, pepohonan bersalin menjadi perumahan dan menjadi kawasan industri, udara Bandung menjadi panas.
Udara di Bandung yang panas akan berpengaruh kepada orang-orang yang tinggal di dalamnya. Manusia Bandung ditakutkan tidak segigih pendahulunya yang mengarungi danau untuk mengembangkan kreativitas di tambang batu obsidian Kendan, namun disibukkan dengan bagaimana mengusir hawa panas yang membuat tubuh berkeringat.
"Panas dan kegerahan ini akan mempengaruhi konsentrasi, dan konsentrasi yang terganggu akan menurunkan prestasi, baik bagi pelajar maupun pekerja. Dan, yang paling mengerikan, panas suhu yang membakar di jalanan dan permukiman, telah mempengaruhi temperamen warganya menjadi beringas," tulis T. Bachtiar.
(yum/yum)