Potret Jahilnya Bocah Bandung Kala Ramadan Zaman Dulu

Potret Jahilnya Bocah Bandung Kala Ramadan Zaman Dulu

Rifat Alhamidi - detikJabar
Minggu, 14 Apr 2024 11:00 WIB
Suasana malam di Masjid Agung Bandung pasca PSBB.
Masjid Agung Bandung. Foto: (Yudha Maulana/detikcom)
Bandung -

Bulan Ramadan selalu memunculkan cerita ingar-bingarnya. Tak hanya bagi orang dewasa, anak-anak juga banyak yang berlomba-lomba untuk bisa menamatkan puasa mereka selama sebulan lamanya.

Biasanya, tak sedikit dari anak-anak itu yang menamatkan puasa mereka karena ada imbalan dari orang tua. Iming-iming baju baru, mainan baru hingga angpau saat lebaran, tak jarang menjadi motivasi utama dalam mengejar ibadah secara penuh di Bulan Ramadan.

Nah selain berpuasa, anak-anak di Bandung pada zaman dulu juga sudah dianjurkan para orang tua untuk beribadah salat tarawih. Pemerhati sejarah Bandung, Haryanto Kunto pun punya potret menggelikan mengenai tingkah bocah-bocah tersebut selama bulan Ramadan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam memoarnya di buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe), Sang Kuncen Bandung ini menuliskan ulah jail dari anak-anak selama bulan puasa. Kejailan yang pada zaman sekarang ini mungkin sudah jarang ditemukan karena beberapa alasan.

Pada Bab V Keisengan di Bulan Puasa halaman ke-65, Haryanto Kunto mengatakan awalnya anak-anak ini hanya ikut-ikutan salat tarawih di Masjid Agung Bandung. Praktis, mereka pun hanya bisa tengok kanan-kiri, sembari mengikuti gerakan orang tua yang sedang beribadah.

ADVERTISEMENT

Tatkala keheningan melanda karena orang tua sedang khusyuk beribadah, kejailan anak-anak itu pun kemudian dimulai. Mereka mulai berlarian dan saling kejar-kejaran, bahkan ada yang istilahnya ngajago atau menantang, mengajak berkelahi hingga memasang mata melotot ke anak daerah lain yang baru pertama tarawih di Masjid Agung Bandung.

Yang paling mengundang gelak tawa, Haryanto Kunto menceritakan bahwa tingkah jail anak-anak ini sampai mengganggu jemaah yang sedang melaksanakan ibadah. Salah satu korbannya, diceritakan mendiang adalah Haji Tajudin, kawan dari Uwak Tjokro, paman Haryanto Kunto yang sudah lebih dari 35 tahun menjadi jemaah Masjid Agung Bandung.

Waktu itu, Haji Tajudin sedang salat dengan kondisi sarung yang tak dilengkapi celana dalam. Maklum, menurut Haryonto Kunto, saat itu di dinding dan pilar ruang depan serta serambi Masjid Agung Bandung masih terdapat paku-paku menancap yang digunakan untuk menggantungkan celana tersebut.

Hingga akhirnya, sarung Haji Tajudin itu malah terinjak anak-anak yang berlarian dan lalu-lalang. Praktis, sarung tersebut langsung melorot dan menimbulkan pemandangan yang mengundang gelak tawa jemaah di sana.

"... Dengan gerak refleks dan sigap, Wak Haji menyambang sarungnya, lalu digulung dan cepat menguber setan alit, si pembuat gara-gara. Dan tentu saja, masjid jadi guyur, ramai, ingar bingar diseling gelak tawa pengunjung," katanya di halaman ke-71 dalam buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe).

Tak cukup sampai di sana. Setelah tarawih, tingkah jail anak-anak zaman dulu ini masih berlanjut. Biasanya, mereka ikut menyembunyikan alat pemukul bedug masjid yang akan ditabuh marbot. Si marbot pun menjadi akhirnya kebingungan.

Kemudian, di saat marbot sedang bingung mencari alat penabuh bedug setelah tarawih, Haryanto Kunto bercerita, dari arah serambi depan dan pintu masuk masjid suasana riuh juga terjadi. Sejumlah jemaah ternyata kebingungan mencari di mana celana kolor yang tadi sudah digantungnya.

"... Sejumlah jama'ah masjid yang berusia lanjut kebingungan karena pantolan dan celana kolornya berubah butut dan ledrek, saling ditukar dengan milik orang lain. Siapa pula biang kerok kelakuan itu, kalau bukan anak anak Bengal 'penguasa' Masjid Agung Bandung," tulis Haryanto Kunto.

Selanjutnya, keributan juga terjadi di pelataran masjid. Sendal serta sepatu jemaah hingga gamparan (semacam kelom/bakiak), semua menjadi berantakan dan berubah pasangan. Bahkan menurut Haryanto Kunto, sampai ada pengunjung masjid yang meraba-raba mencari pasangan alas kakinya akibat ulah jail bocah-bocah itu.

"... sambil kutung gendeng mengumbar caci maki 'Dasar anak setan, bedul, ontohod, bangkawarah!' dan sebagainya, dan sebagainya," ucap Haryanto Kunto.

Selain Masjid Agung Bandung, aksi jail anak-akan ini ternyata terjadi di Masjid Asyukur, Kebonkawung. Saat rumah ibadah itu masih berbentuk surau kecil, lantainya yang berbentuk palupuh bambu ini menjadi sasaran ulah bengal bocah di bulan Ramadan.

Bagaimana tidak, saat orang dewasa khusyuk menunaikan salat tarawih di sana, anak-anak ini malah sengaja menyusup ke kolong surang. Di area bawah lantai palupuh tersebut, sebatang lidi lalu ditusukkan ke telapak kaki imam maupun jemaah.

"... Lewat celah bambu, sebatang lidi ditusukkan pada telapak kaki imam yang memimpin shalat, sehingga sang imam meliuk-liuk, menggeliat badan karena kegelian. Dan tentu saja, lafal bacaannya tersendat-sendat, salah tak karuan. Sedangkan 'setan-setan' cilik yang menggoda, bubar lari ketawuran...," kata Haryanto Kunto.

"... Selain main tusuk lidi ke telapak kaki, setan cilik itu terkadang melempar mercon tikus ke kolong surau. Membikin kaget dan gawau orang yang lagi khusuk sembahyang," ucap Haryanto Kunto dalam bukunya mengenang kembali kejailan anak-anak Bandung zaman dulu saat Ramadan.

Meski tingkah laku anak-anak Bandung zaman dulu terkesan kepala pusing tak tertahankan, tapi ada hikmah mendalam dari memoar yang ditulis Haryanto Kunto. Pada akhirnya, anak-anak tadi ikut meramaikan suasana bulan Ramadan sehingga memberikan kesan mendalam.

"... Kendati kita was-was, ada rasa takut kepada 'teroris' kecil itu, namun toh kita merasa lega dan terkesan, karena bersama merekalah kita ikut berteriak nyaring-Amiiiin!," tulis Haryanto Kunto.

(ral/sud)


Hide Ads