Pengadilan Agama Cibadak Kabupaten Sukabumi mencatat ada sebanyak 595 perkara dispensasi kawin yang diajukan oleh anak. Data tersebut merupakan akumulasi dari tahun 2019 sampai Maret 2024.
Secara rinci, dari jumlah 595 perkara itu di antaranya 36 perkara di tahun 2019, kemudian 250 perkara di tahun 2020, 194 perkara pada tahun 2021, menurun jadi 81 perkara di tahun 2022 dan 29 perkara di tahun 2023. Sedangkan per Maret 2024, pihaknya menangani 5 perkara dispensasi kawin.
Ketua Pengadilan Agama Cibadak, Ma'ripah menjelaskan, adanya pengajuan dispensasi nikah seiring dengan perubahan batas usia perkawinan anak yang diatur dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2019 kemudian diperjelas dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi dampak dari adanya UU 16/2019 terjadilah permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama Cibadak. Usia menikah kan itu ada perubahan, perempuan disamakan dengan laki-laki yang tadinya umur 16 jadi 19 tahun," kata Ma'ripah di gedung Pendopo Kabupaten Sukabumi yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Kota Sukabumi, Jumat (29/3/2024).
Dia mengatakan, hakim tidak akan serta merta mengabulkan permohonan para orang tua ataupun anak dalam hal dispensasi kawin. Di dalam Perma 5/2019, kata dia, disebutkan jika kepentingan anak yang diutamakan.
"Alasan mendesak, selain kenapa dikabulkan karena susah sesuai syarat hukum formil dan materil. Kebanyakan (yang mengajukan) sudah hamil duluan. Masalah ekonomi juga, budaya di tempat pelosok malu kalau anaknya belum menikah," ujarnya.
"Di situ (Perma 5/2019) ada tata caranya, pertama kesehatan, administrasi, nah sementara kami di lapangan, jangan sampai menyalahkan hakim saja mengabulkan permohonan dispensasi padahal dipersulit itu," sambung Ma'ripah.
Ma'ripah menuturkan, perkara dispensasi kawin idealnya dipimpin oleh hakim dengan sertifikat hakim anak. Namun di Pengadilan Agama Cibadak, mereka belum memiliki hakim dengan sertifikat tersebut.
"Belum ada, kalau untuk (hakim) anak belum ada. Jadi dalam Perma pasal 20 menyebutkan bahwa hakim untuk mengadili dispensasi nikah itu harus punya sertifikat. Apabila di pengadilan belum ada hakim yang bersertifikat anak, seluruh hakim boleh mengadili, it pun dengan hakim tunggal, tidak menggunakan jubah karena memperhatikan anak tersebut," jelasnya.
Ma'ripah mengakui, pengadilan menghadapi dilema dalam mengambil keputusan dispensasi nikah. Terlebih, alasan mendesak dalam aturan Mahkamah Agung tidak diperjelas sehingga mengandalkan keputusan hakim secara sepihak.
"Ini dilema, sehingga perkara itu banyak dicabut. Tapi anehnya terus terang saja di lapangan itu mereka menikah siri duluan, lama-lama sudah 2-3 tahun baru isbat.
Selama ini, pihaknya sudah berupaya untuk meminimalisir jumlah perkawinan anak. Dalam persidangan, hakim seringkali memberikan nasehat-nasehat.
"Semakin melandai karena hakim memberikan pengarahan-pengarahan, nasihat-nasihat untuk tunda dulu kalau tidak ada kepentingan yang mendesak. Kalau tidak mendesak ngapain harus buru-buru menikah. Jangan sampai anak melahirkan anak, kemiskinan melahirkan kemiskinan dan kebodohan melahirkan kebodohan," tutupnya.
Angka Perkawinan Anak di Jabar Tinggi
Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) mencatat angka perkawinan anak di Jawa Barat mencapai 8,65 persen, lebih tinggi dari nasional sebesar 8,06 persen.
Fenomena tersebut menempatkan Jawa Barat di peringkat ketiga sebagai daerah dengan perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Sementara itu, dari hasil riset Plan Indonesia juga menemukan dari 60 perkara dispensasi kawin, 90 persen permohonan dispensasi kawin dikabulkan hakim di Sukabumi.
"Sudah ada serangkaian kebijakan di tingkat nasional dan daerah bahkan sampai desa untuk mencegah perkawinan anak. Namun, implementasinya dirasa masih belum efektif untuk memutus praktik perkawinan anak," kata Influencing Director Plan Indonesia Nazla Mariza.
Ronald Rofiandri selaku Penasihat Kebijakan dan Advokasi Plan Indonesia memaparkan, putusan dispensasi kawin justru memperburuk keadaan anak, khususnya bagi anak perempuan. Berbagai faktor penyebab, mulai dari aspek prosedur, standar pembuktian, pilihan pertimbangan penetapan hingga latar belakang hakim memengaruhi keberpihakan terhadap perlindungan hak anak.
"Dalam pelaksanaannya, masih diperlukan penyempurnaan dengan memastikan keterlibatan anak dan kepentingan terbaik bagi anak. Pendapat atau keterangan secara independen termasuk alasan mendesak dikaitkan dengan kepentingan terbaik bagi anak untuk masa kini dan masa depan dalam penetapan dispensasi kawin yang saat ini masih belum terlalu dipertimbangkan oleh hakim," katanya.
Menanggapi maraknya perkawinan anak di Kabupaten Sukabumi, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) mengaku sedang menyusun Rancangan Aksi Daerah (RAD) Pencegahan Perkawinan Anak dan Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Sukabumi Tahun 2022-2027. Akan tetapi, pihaknya mengakui keterbatasan sumber daya untuk pengimplementasian rencana tersebut.
"Salah satunya kami sedang merancang Rencana Aksi Daerah untuk pencegahan perkawinan anak. Namun, kami tidak bisa bekerja sendiri dan membutuhkan komitmen serta kerja sama dari berbagai stakeholder lainnya," kata Kepala DP3A Kabupaten Sukabumi Eki Rediana Rizki.
(dir/dir)