Apa Itu Hukuman Mati yang Jerat Devara cs di Kasus Pembunuhan Indri

Apa Itu Hukuman Mati yang Jerat Devara cs di Kasus Pembunuhan Indri

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Selasa, 05 Mar 2024 06:30 WIB
Devara otak pembunuhan Indriana Dewi Eka Saputri
Devara Prananda Putri (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar)
Bandung - Devara Putri Prananda (DP), Didot Alfiansyah (DA), dan M Reza (MR) resmi ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana dan dijerat pasal pidana dengan ancaman maksimal hukuman mati. Pembunuhan berencana dilakukan ketiganya kepada Indriana Dewi Eka Saputri (24), warga Semarang berdomisili di Jakarta.

Indriana dibunuh di kawasan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, 20 Februari 2024. Devara yang Caleg DPR RI dari Partai Garuda untuk Dapil Jabar IX (Sumedang-Majalengka-Subang), diduga sebagai otak pembunuhan itu. Motifnya cemburu.

Devara memberikan syarat kepada Didot, jika ingin kembali berpacaran dengannya, maka Didot harus melenyapkan Indriana dari muka bumi. Devara dan Didot lantas menyewa MR sebagai eksekutor pembunuhan itu.

MR mencekik Indriana dengan seutas ikat pinggang hingga meninggal dunia. Mayatnya akan dibuang di tempat sepi. Namun, sebelum betul-betul menemukan tempat yang tepat untuk membuang mayat di Kota Banjar, mereka bertiga berkendara empat hari bersama mayat Indri. Mayat Indri lalu dibuang setelah sebelumnya dibungkus selimut. Mayatnya ditemukan peseda di Banjar.

Ketiganya telah menjalani reka ulang pada kasus yang ditangani Direktorat Kriminal Umum (Dtkrimum) Polda Jawa Barat itu. Polisi lalu menjerat ketiganya dengan pasal 340 KUHP, 338 KUHP, dan 365 KUHP ayat empat tentang pembunuhan berencana dengan ancaman pidana maksimal hukuman mati.

Di Indonesia, hukuman mati tetap berlaku meski banyak pihak yang percaya bahwa hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi, sekalipun telah berdiri Komisi Nasional HAM, tidak serta merta hukuman mati dihapuskan.

Bagaimana praktik hukuman mati di Indonesia? Apakah bisa berubah? Berikut ini penjelasan terkait mekanismenya:

Sepintas Hukuman Mati

Hukuman mati secara legal dipraktikkan pertama kali oleh Raja Hamurrabi dalam Codex Hamurrabi dari Babilonia pada abad ke-19. Demikian dikutip Satria Perdana, mengutip A. Sanusi (1994), dalam laman Dirjen Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.

Praktik hukuman mati kemudian direspons dunia internasional sebagai yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Respons ini tertuang dalam Declaration Universal of Human Rights. Deklarasi itu menyebutkan hukuman mati telah usang dan tidak memiki efek jera untuk menurunkan angka kejahatan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri merupakan negara yang mengakui HAM. Di Indonesia, ada Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. HAM juga tertuang dalam perkembangan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ke-2 dari pasal 28A-28J yang pokoknya membahas tentang Hak Asasi Manusia.

Namun, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia, ada pula aturan tegas tentang hukuman mati. Yaitu, pasal 10 huruf a KUHP, berbunyi: Pidana pokok terdiri dari, pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.

Hukuman mati untuk pelaku pembunuhan berencana boleh jadi memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Meskipun, perdebatan tentang hukuman itu akan terus bergulir, paling tidak pada keluarga terpidana mati.

Bisakah Vonis Berubah?

Meskipun vonis hukuman mati dijatuhkan, tetap ada upaya hukum yang bisa ditempuh terpidana agar tidak dihukum maksimal dengan hukuman mati. Jalur hukum yang bisa ditempuh mulai dari banding hingga amnesti dari Presiden RI.

Berikut detikJabar rangkumkan upaya yang bisa ditempuh untuk mengubah vonis hukuman mati.

1. Banding

Terdakwa bisa mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama. Semua vonis berhak diajukan banding, kecuali vonis bebas. Dengam bebas, orang terlepas dari persoalan hukum yang menjeratnya.

2. Kasasi

Jika telah mengajukan banding, maka akan keluar putusan pengadilan atas banding tersebut. Di dalam persidangan, terdakwa boleh mengajukan lagi keberatan atas putusan tersebut. Keberatan kedua kalinya disampaikan melalui Kasasi.

Namun, Kasasi punya batas waktu. Yaitu, selama 14 hari sejak putusan sebelumnya ditetapkan. Jika terlewat waktu untuk mengajukan Kasasi, maka putusan hakim akan menjadi berkekuatan hukum tetap atau inkrach.

3. Peninjauan Kembali

Upaya hukum ini adalah upaya luar biasa, sebab dilakukan dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kemali (PK) ke Mahkamah Agung.

PK dilakukan agar Mahkamah Agung menijau ulang sebuah keputusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Barangkali ada fakta baru yang dapat merubah sesuatu yang inkrach itu.

Satria Perdana pada laman Mahkamah Agung tersebut menjelaskan, dari PK ini, ada kemungkinan terpidana mati mendapatkan pengampunan. Pengampunan dari jalur PK ini ada tiga jenis.

Pertama, Grasi. Yaitu, pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Kedua, Amnesti. Yaitu, pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan UU tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Hak amnesti ada pada Presiden.

Ketiga, Abolisi. Yaitu, suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana. Ini merupakan hak prerogatif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat MA. (yum/yum)



Hide Ads