Tape singkong yang dibakar di atas bara arang mengeluarkan aroma khas. Harumnya aroma tersebut tercium kala melintasi Jalan Jakarta, Kota Bandung.
Senin, (22/1) sore, menjelang petang, Ade masih sibuk mengayun-ayunkan selembar kertas saat membakar tape singkong di atas motornya.
Tape singkong yang dibakar pria berusia 50 tahun itu, merupakan bahan baku utama untuk kuliner tradisional colenak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kepadatan lalu lintas Jalan Jakarta pada sore itu, detikJabar mengunjungi lapak colenak milik Ade. Betul saja, aroma daei tape singkong yang dibakar di atas bara arang begitu wangi dan menggugah selera.
"Harga Rp 5 ribuan per bungkus," kata Ade membuka percakapan.
Kepada detikJabar, Ade mengaku mendadak membakar tape singkong karena banyak pelanggan yang suka tape singkong yang dibakar secara dadakan.
"Dibakar langsung di sini, tergantung permintaan, kalau banyak saya bakar sebagian di rumah," kata Ade yang sudah 12 tahun menggeluti usaha colenak.
Ade mengaku, saat ini, per hari dia hanya dapat menjual 20 kilogram tape singkong untuk 120 bungkus. "Kebagian sedikit sekarang, segalanya mahal, ambil Rp 150 ribu kalau kejual 100 bungkus," ujar ayah empat anak ini.
Namun menurutnya, kadang-kadang colenak yang dia jual habis, kadang enggak. Seperti halnya hari ini, hingga Pukul 17.00 WIB dia belum mencapai target penjualan colenaknya. "Sekarang baru 60 bungkus, padahal cuaca bagus," ucap Ade.
Ade mengungkapkan, dia berjualan dari mulai matahari terbit dan pulang sebelum matahari terbenam. Dari pagi hingga sore, dia pindah ke tiga lokasi yang menjadi tempat mangkalnya.
"Pagi jualan di Cicaheum dari pagi sampai jam 10 atau jam 11, terus pindah ke Babakansari sampai jam 3 sore, setelah itu pindah kesini. Pulang sebelum magrib, habis gak habis magrib harus pulang," ungkapnya.
Gulung Tikar Karena COVID-19
Sebelum pandemi COVID-19, Ade mengatakan jika dia memiliki 8 cabang colenak. Cabang itu tersebar di Jalan BKR, Tegallega, Cibaduyut, Makro, Jalan Sudirman, Cibereum, Pasteur dan Ade sendiri berjuan menggunakan motor. Namun karena COVID-19, usahanya pun terpaksa gulung tikar.
"Sebelum COVID-19 banyak cabang, saya punya 8 lapak, sejak ada COVID-19 gak ada lagi cabang. Dulu 8 lapak tuh saya punya pegawai, sekarang mah sendiri, karena minim modal, saya gak usaha lain karena keahlian saya jualan ini, sejak setelah nikah jualan ini," tambahnya.
![]() |
Menurut Ade, cabang usaha colenak miliknya gulung tikar karena pada waktu itu ada pembatasan kegiatan masyarakat yang dilakukan pemerintah.
"Pas COVID-19 enggak laku, saya kasih barang yang jualan malah makan setoran, apalagi gak bisa jualan bebas di tempat umum. Barang gak laku, setoran digunakan biaya hidup, ya mau gimana," tuturnya.
Meski dirinya memiliki keinginan untuk kembali membuka cabang. Dia sangat bersyukur saat ini masih dapat menafkahi istri dan anaknya.
"Sekarang bisa kasih makan keluarga juga udah bersyukur, apalagi kalau bisa menyimpan uang," ujarnya.
Di samping itu, Ade mencoba menabung untuk menambah modal dan berharap dapat membuka kembali cabang, karena selain mendapatkan keuntungan tambahan dia juga bisa membantu orang yang tidak memiliki pekerjaan.
"Sekarang lagi cari lagi modal, yang mau jualan insyaallah ada, apalagi sekarang banyak orang yang butuh pekerjaan," pungkasnya.
(wip/yum)