Kisah Rosid, Tak Kenal Lelah Kayuh Harapan di Becak Tua

Kisah Rosid, Tak Kenal Lelah Kayuh Harapan di Becak Tua

Bima Bagaskara - detikJabar
Minggu, 17 Nov 2024 08:00 WIB
Rosid, pengayuh becak di Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung
Rosid, pengayuh becak di Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung (Foto: Bima Bagaskara/detikJabar)
Bandung -

Di sudut-sudut Kota Bandung yang kian modern, ada Rosid, seorang pengayuh becak yang tak kenal lelah mengayuh harapan. Dengan becak tuanya yang kini lebih banyak bersandar ketimbang, Rosid masih setia menanti penumpang walau semakin langka.

Jalan Ahmad Yani jadi saksi kesabaran Rosid. Di tengah jalanan yang lancar dilalui kendaraan, Rosid adalah satu diantara beberapa pengayuh becak yang tetap setia dengan profesinya.

Pria 60 tahun itu menyambut hangat saat detikJabar menyapa dan mengajaknya berbincang. Dalam keteguhan dan senyum sederhana, Rosid cerita tentang perjuangannya mencari rupiah di tengah Kota Bandung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rosid mengaku sudah lebih dari 20 tahun menjalani pekerjaan sebagai pengayuh becak. Setiap hari, Rosid dengan sabar menanti penumpang yang datang, dengan becaknya dia menyusuri jalan sebelum bersandar di sebuah trotoar.

"Sudah lama (jadi pengayuh becak), dari 20 tahunan lalu di daerah sini (Cicadas)," ucap Rosid belum lama ini.

ADVERTISEMENT

Dua dekade menjadi pengayuh becak, Rosid sadar betul banyak perubahan terjadi di Kota Bandung. Mulai dari banyaknya kendaraan yang lalu-lalang saat ini, bangunan yang terus berdiri hingga menghilangnya penumpang becak.

Perubahan terakhir itulah yang membuat resah Rosid. Dari tahun ke tahun, Rosid mengatakan orang yang menggunakan jasa becak untuk bepergian semakin menghilang. Bahkan saat ini, dia menyebut tidak ada lagi orang yang tertarik dengan becak.

"Penumpangnya udah gak ada sekarang, jarang yang naik," ujarnya.

Sepinya penumpang membuat Rosid gundah karena tidak punya pemasukan lain untuk keluarganya di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Rosid mengaku, saat ini dia mendapat pemasukan Rp 10-20 ribu per hari, itupun jika ada penumpang.

Belum lagi, dia harus membayar uang sewa becak dari pemiliknya yakni Rp 8 ribu per hari. Terkadang, Rosid menunda bayar uang sewa becak karena uangnya yang tak cukup. Bagi dia, membeli sepiring nasi lebih penting agar bisa bertahan hidup.

"Kadang narik sehari paling dua kali tarikan, sekali narik paling Rp 10 ribu, tapi kadang gak narik. Belum bayar sewa, sehari Rp 8 ribu, kalau dapat satu (penumpang), ditunda bayar sewanya, buat beli makan dulu," tutur Rosid.

Selain untuk dirinya sendiri, Rosid juga memikirkan istrinya di rumah. Dia mengungkapkan, sebisa mungkin mengumpulkan rupiah untuk dibawa pulang. Rosid mengatakan, dia hanya bisa mengumpulkan Rp 100 ribu dalam sebulan.

"Paling (ngumpulin) Rp 100 ribu, itu sebulan. Tadi saja ditelpon istri, ditanya sudah dapat (uang) belum, belum saya bilang," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kalau ga ada buat keluarga enggak pulang, nunggu dapat uang dulu baru pulang," imbuhnya.

Sehari-hari Rosid tinggal di garasi becak di kawasan Cicadas, tapi terkadang dia tidur di pinggir jalan bersama becaknya. Untuk makan, Rosid hanya bisa mengandalkan pemberian orang lain saat tidak ada penumpang yang datang.

"Makan sehari-hari kalau ada yang ngasih, kadang gak makan karena gak narik dan ga ada yang ngasih," katanya.

Di tengah kesulitan yang dihadapi, Rosid masih tetap optimis jika usaha tidak akan mengkhianati hasil. Bagi Rosid, dia akan terus berdoa dan ikhtiar untuk mencari rezeki bagi keluarga. Namun Rosid tetap punya keinginan lain untuk memperbaiki hidupnya.

"Pengen mah punya becak motor biar bisa pulang pergi, kalau ini kan pakai tenaga saya sudah tua. Terus mau jualan juga tapi gak punya modal, mau kerja lain bingung. Makanya saya jalanin ini dulu aja, yang penting ikhtiar buat keluarga," tutup Rosid.




(bba/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads