Sebuah makam tua bercorak merah putih terlihat usang dan tak terawat. Daun kering berserakan, sampah berupa puntung rokok teronggok. Begitulah keadaan makam Alex Impurung Mendur. Salah seorang tokoh yang hadir di balik lensa untuk mengabadikan momen kemerdekaan Republik Indonesia.
Siapa yang tidak tahu foto ikonik pembacaan proklamasi oleh Ir. Soekarno? Terlebih, rasanya tidak banyak foto yang beredar terkait kemerdekaan. Ternyata, ada sebuah kisah menarik dan heroik di balik hal tersebut.
Faktanya, pada saat kemerdekaan, hanya ada dua jurnalis foto atau fotografer yang hadir untuk mengabadikan momen tersebut. Mereka ialah Alexius Impurung Mendur dan adiknya, Frans Soemarto Mendur.Dan tahukah kamu bahwa salah satu di antara keduanya, yaitu Alex Mendur, kini dimakamkan di Bandung?
Di Balik Lensa Proklamasi
Di suatu pagi pada 17 Agustus 1945, Alexius Impurung Mendur atau yang lebih dikenal sebagai Alex Mendur, mendapatkan kabar dari temannya, Zahrudin, bahwa akan ada suatu kejadian penting di tempat tinggal Soekarno. Alex yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Fotografi Kantor Berita Jepang Domei berangkat membawa kamera Leica-nya.
Frans Mendur yang masa itu bekerja di Jepang Asia Raya juga mendapat kabar yang sama. Ia segera bergegas ke Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Cikini, Jakarta.
Kala itu, kabar Jepang mengakui kekalahannya sudah tersebar, tapi belum semua masyarakat Indonesia mengetahui hal tersebut. Informasi mengenai akan diadakannya pembacaan proklamasi pun masih rahasia.
Situasi proklamasi secara terang-terangan tidak mendukung. Tentara Jepang masih berlalu-lalang, memantau aktivitas warga. Bendera hinomaru atau bendera nasional Jepang masih berkibar di mana-mana.
Pukul 10.00 WIB, Soekarno akhirnya membacakan proklamasi kemerdekaan. Upacara pun diadakan dengan sederhana. Hadir pula beberapa wartawan di lokasi, tapi tak ada yang membawa kamera. Hanya Alex dan Frans fotografer yang hadir. Alex membawa senjata andalannya, kamera Leica dan satu roll film kamera penuh. Sedangkan Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film.
Alex mengabadikan banyak momen dalam peristiwa proklamasi tersebut. Sedangkan Frans memilih dengan cerdik momen mana saja yang harus ia abadikan karena plat filmnya terbatas.
Seusai mengabadikan momen, Alex bergegas kembali ke kantornya untuk mencetak foto-foto yang ia ambil. Namun sangat disayangkan, foto-foto tersebut pada akhirnya dirampas Jepang.
Bagi Jepang, foto proklamasi merupakan bukti krusial bahwa Indonesia sudah merdeka. Tanpa foto, tak ada bukti konkret bahwa proklamasi sudah dibacakan. Gambar pada saat itu merupakan sebuah rekaman nyata. Belum ada teknologi secanggih AI. Tidak seperti tulisan, gambar tak bisa dipalsukan. Selain itu, gambar-gambar yang diabadikan oleh para fotografer dianggap ancaman karena bisa membangkitkan dan menyebarkan semangat juang masyarakat.
Bukan hanya Alex, Frans pun sempat didatangi pihak Jepang. Gambar-gambar yang ia tangkap hampir saja direbut. Untungnya, Frans sudah menduga hal itu. Ia dengan cerdas menyembunyikan foto-foto tersebut di bawah pohon kantornya, Asia Raya. Ketika ditanyai, Frans mengaku bahwa gambar yang ia tangkap sudah lebih dulu diambil Barisan Pelopor.
Tak sampai di situ, mengutip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang diterbitkan tahun 2013, Frans masih harus berusaha diam-diam mencetak foto. Ia dibantu Alex, mengendap-endap di malam hari. Sedikit saja ketahuan bahwa mereka masih menyimpan foto dan sedang berusaha mencetaknya, nyawa keduanya bisa hilang.
Tak ada yang tahu bagaimana nasib foto-foto Alex yang dirampas, ke mana dan apakah sudah dihancurkan? Namun, meski Alex harus kehilangan foto-foto penuh peristiwa bersejarah itu, Indonesia masih punya sisa gambar detik-detik kemerdekaan yang Franstangkap dan tak kalah mahal, seharga kebebasan.
Perjuangan Frans dan Alex tidak sia-sia. Gambar pembacaan proklamasi oleh Soekarno berhasil dimuat pertama kali di harian Merdeka, 7 bulan setelah kemerdekaan, 20 Februari 1946.
Alexius Impurung Mendur
Seperti dijelaskan dalam buku Biografi yang ditulis Wiwi Kusnaeni, Alexius Impurung Mendur, sang fotografer kemerdekaan, lahir di Kawangkoan Sulawesi Utara, 7 November 1907. Ayahnya bernama August Mendur dan ibunya bernama Ariance Mononimbar. Keduanya merupakan warga asli Kawangkoan.
Alex merupakan anak pertama dari sebelas bersaudara. Adiknya yang pertama, Nessi Mendur, meninggal dunia ketika berusia dua tahun. Tinggalah Alex dan kesembilan saudaranya. Hubungan Alex dengan adik-adiknya cukup dekat. Ia seringkali mengasuh adik-adiknya dan membantu kedua orangtuanya dalam melakukan pekerjaan rumah.
Keluarga Mendur bukan keluarga kaya raya. Mereka hidup dengan melakukan banyak pekerjaan, mulai dari bertani, berternak, hingga mencari kayu di hutan untuk dijual kembali. Keluarga Mendur juga taat dalam beragama. Setiap Minggu, mereka akan berangkat ke gereja bersama. Alex dibaptis oleh Pendeta Riemper ketika berumur tiga bulan, di Gereja Protestan Kawangkoan, gereja Pemerintah Hindia Belanda.
Alex senang berburu tikus bersama teman-temannya yang kemudian ia bakar dan ia makan. Ketika umurnya 6 tahun, Alex dimasukkan keVolkschool Gouvernement(sekolah rakyat).
Setelah lulus dariVolkschool Gouvernement,Alex tidak melanjutkan pendidikannya karena masalah keuangan. Meski begitu, Alex tetap rajin belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang ia dapat semasa bersekolah. Dalam hati Alex, ada keinginan besar untuk meringankan beban orangtuanya.
Suatu waktu, saudara Alex, yaitu Anton Nayoan datang dari tanah Jawa. Tanah Jawa sendiri merupakan sebutan yang diberikan orang-orang di luar Pulau Jawa untuk Batavia atau kini disebut Jakarta. Alex sangat senang mendapat kabar tersebut. Sudah sejak lama ia memiliki cita-cita pergi ke sana. Anton sendiri di tanah Jawa bekerja di sebuah perusahaan Belanda yang menjual alat-alat keperluan fotografi.
Alex yang gigih dan memiliki kemauan keras berhasil menarik hati Anton untuk membawanya ke Tanah Jawa. Alex yang mendengar ajakan dari Anton sangat bersemangat. Keinginannya untuk mandiri dan membantu kedua orang tuanya bisa terlaksana jika ia merantau ke Tanah Jawa. Begitulah pikirnya. Alex memanglah memiliki tekad yang kuat, keras, dan disiplin. Hal yang diturunkan dan dididik oleh ayahnya.
August dan Ariance, kedua orang tua Alex yang mendengar hal tersebut tidak serta merta menyetujui rencana kepergiannya. Mereka khawatir dengan Alex yang masih belia. Umurnya baru menginjak 15 tahun. Meski begitu, Anton dengan kesabarannya terus membantu menjelaskan. Hal ini akhirnya disambut baik. Alex berhasil mendapatkan restu kedua orangtuanya.
Alex dan Anton akhirnya berangkat ke Tanah Jawa pada 1922. Mereka menggunakan kendaraan seperti gerobak jarak jauh dari Kawangkoan ke Manado, kemudian menggunakan kapal laut dari Manado ke Tanah Jawa dengan waktu tempuh 1 bulan.
Fotografer Kemerdekaan
Alex tinggal bersama keluarga Anton Nayoan di tanah Jawa. Berkat hal tersebut, terutama Anton yang bekerja di bidang fotografi, Alex mulai mengenal dunia foto. Ia belajar sedikit demi sedikit mengenai fotografi, dimulai dari cara mencuci film.
Alex mendapat kesempatan untuk belajar mengenai fotografi dan bekerja di tempat Anton hingga 1926. Ia tak menyia-nyiakan hal tersebut. Pekerjaannya itu ia jadikan batu loncatan dalam karir fotografinya.
Beres dari perusahaan Belanda, Alex pergi ke Bandung untuk bekerja di perusahaan fotografi milik Inggris. Alex kemudian kembali lagi ke Jakarta karena mendapat tawaran dari perusahaan Jerman.
Ketika kembali ke Jakarta itulah Alex bertemu dengan Emmy Agustina Wowor dan menikah dengannya pada 1929 di Jakarta. Emmy juga berasal dari Manado dan sejak lama menetap di Jakarta. Keduanya terpaut 5 tahun. Alex berusia 22 tahun dan Emmy 17 tahun. Keduanya akhirnya tinggal di daerah Mangga Besar.
Alex sempat berkarier di majalah Actueel Wereld Nieuws En Sport In Beeld(Berita Dunia Terkini dan Olahraga dalam Gambar) pada 1931-1934. Pada 1932-1935, Alex juga berkerja diDe Java Bode,harian Belanda terkemuka pada zamannya.
Ada banyak kisah menarik selama karier Alex sebagai fotografer. Salah satunya, ia pernah nekat masuk ke kawasan letusan Gunung Merapi di tahun 1933 demi mengabadikan momen tersebut. Tekadnya tak hilang meski ada peraturan'barang siapa memasuki daerah berbahaya akan ditembak'.
Dengan kegigihan dan ambisi yang dimiliki, Alex coba berbicara dengan tentara yang sudah siap dengan senapannya. Untungnya, tentara tersebut adalah orang Manado. Foto tersebut akhirnya menjadi perbincangan setelah terbit diDe Java Bode.
Di lain peristiwa, pada 1946, Alex juga pernah dikira sebagai intel. Kala itu, masih masa revolusi. Waktunya pun bertepatan dengan pertempuran Indonesia dengan pihak Belanda (Nica). Alex awalnya berniat meliput pertempuran yang terjadi di dekat Bogor.
Ia pastinya membawa senjata andalannya. Sebuah kamera. Namun, saat itu hanya orang Belanda yang biasanya memiliki kamera.
Alex hampir saja menjadi bulan-bulanan para pejuang karena kecurigaan itu. Untunglah ada Alex Kawilarang, pemimpin pasukan tentara Nasional di daerah yang mengenal Alex Mendur. Masyarakat pun berhamburan kembali sesudah mengurungkan niat untuk menghakimi Alex.
Alex juga sempat mendidik adiknya, Frans Soemarto Mendur mengenai dunia fotografi yang kelak akan hadir bersamanya mengabadikan momen detik-detik kemerdekaan.
Pada periode penjajahan Jepang, Alex sempat menjadi anggota Barisan Pelopor hingga akhirnya berhenti karena mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Fotografi Kantor Berita Domei pada 1942.
17 Agustus 1945 pun tiba. Alex mendapat kabar mengenai peristiwa besar yang akan terjadi di kediaman Soekarno. Ia bergegas pergi dengan senjatanya, kamera bermerk Leica dan satu roll film penuh.
Pada 2 Oktober 1946, Alex Mendur, Frans Mendur, J.K. Umbas, F. F. Umbas, dan Alex Mamusung resmi mendirikanIndonesian Press Photo Service(IPPHOS). Lahirnya IPPHOS didasari atas keinginan untuk menyebarluaskan dan mengarsipkan peristiwa-peristiwa penting. Terlebih, banyak wartawan dari negara-negara asing sering datang untuk meminta foto seputar peristiwa di Indonesia.
IPPHOS tidak dikomersialkan. Untuk menutupi biaya operasional, Alex Mendur dan F. F. Umbas membuka jasa pemotretan pernikahan, dan lain-lain.
IPPHOS pertama kali membuka cabangnya di Jogja pada 1946. Kemudian disusul pada 1948 di Semarang, Palembang, Ujung padang, dan Surabaya. Manado, Bandung, dan Medan kemudian buka pada 1949.
Tentara Belanda beberapa kali mengobrak-abrik kantor IPPHOS. Mereka juga seringkali menahan para petugas, termasuk Alex dan anaknya, Lexi yang pada saat itu dalam perjalanan pulang dari Jogja. Belanda menganggap bahwa gambar-gambar yang diambil sangat berbahaya karena dapat menimbulkan semangat juang masyarakat. Hal ini yang menjadi landasan kuat Belanda membubarkan IPPHOS.
Koleksi foto-foto IPPHOS lengkap. Dari foto tokoh pahlawan, hingga peristiwa-peristiwa penting. IPPHOS berada pada masa jayanya di tahun 1950-an dengan menguasai pasar Eropa hingga mendapat julukan "Raja Kertas". IPPHOS mengeluarkan lisensi untuk setiap orang yang ingin mengimpor kertas.
(orb/orb)