Pembacaan proklamasi merupakan tonggak penting kemerdekaan Indonesia. Sebelum proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, terdapat cerita menarik dalam perumusan naskah tersebut.
Perumusan naskah proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda yang kala itu menjadi kepala kantor penghubung Angkatan Laut Jepang (kaigun) dengan daerah-daerah di bawah kekuasaan Angkatan Darat (rikaigun). Perumusan tersebut dilakukan pada 16 Agustus 1945 malam hari, setelah Soekarno dan Moh. Hatta kembali dari Rengasdengklok.
Walau demikian, rumah tersebut bukan lah milik Laksamana Muda Tadashi Maeda melainkan hanya rumah dinas saat Jepang menduduki Indonesia. Rumah tersebut memiliki sejarah panjang dalam kepemilikannya hingga akhirnya menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi seperti saat ini. Berikut ini informasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal Mula Rumah Dibangun
Edukator Museum Perumusan Naskah Proklamasi Paskasius Fajar mengungkapkan pada awalnya rumah tersebut dibangun oleh Nederlands Levenzekerring Maatschappij atau PT Asuransi Jiwasraya sekitar tahun 1927 dan selesai pada 1931. Ada pun, arsitek yang merancangnya adalah Johan Frederik Lodewijk (JFL) Blankenberg yang juga merancang rumah dinas Gubernur DKI Jakarta.
Bangunan itu berada di Jalan Nassau Boulevard yang selanjutnya diubah namanya menjadi Meiji Dori ketika Jepang menjajah Indonesia. Kini nama jalan tersebut menjadi Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat.
Dari penelusuran detikcom, dikutip dari arsip Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1990/1991, dalam surat ukur No. 955 tanggal 21 Desember 1931, pemilik bangunan itu atas nama PT Asuransi Jiwasraya yang merupakan bekas hak guna bangunan No.1337/Menteng dengan luas tanah 4.380 meter persegi. Di samping itu, diuraikan juga dalam surat ukur No. 956 Eigendom Verponding No. 17758, luas bangunannya 283 meter persegi. Akan tetapi, berdasarkan pengukuran terakhir yang dilakukan, rumah itu memiliki luas bangunan 1.645,31 meter persegi dan luas tanah 4.663 meter persegi.
Kala itu, PT Asuransi Jiwasraya masih milik pemerintah Belanda. Perusahaan itu sengaja membangun rumah tersebut untuk kemudian disewakan.
"Nah jadi itu disewakan karena memang konsep bangunan yang ada di Menteng itu semuanya rumah. Nah di mana rumah-rumah itu diperuntukkan untuk para jenderal, bangsawan Eropa, dan sebagainya," katanya kepada detikProperti, Rabu (13/8/2025).
Penyewa pertama rumah tersebut adalah Kerajaan Inggris yang menempatkan delegasinya yaitu konsulat jenderal di sana sekitar tahun 1931-1942.
![]() |
Salah satu bukti konsulat jenderal Inggris pernah tinggal di sana adalah adanya plakat yang dibuat sebagai simbol dirinya turut merayakan pemahkotaan Raja George VI di Inggris. Ia membuat plakat tersebut karena tidak bisa pulang ke Inggris lantaran sedang bertugas di Indonesia kala itu.
Plakat tersebut ditemukan beberapa tahun kemudian dalam posisi terkubur di depan bangunan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Dihuni Laksamana Muda Tadashi Maeda
Setelah Jepang menduduki Indonesia, rumah tersebut dihuni oleh Laksamana Muda Tadashi Maeda. Selama tinggal di Indonesia, Laksamana Muda Tadashi Maeda ditemani oleh beberapa asisten yaitu Satzuki Mishima sebagai sekretaris pribadi sekaligus kepala asisten rumah tangga, Tuan Miyoshi sebagai juru bicara dan penerjemah, serta Tuan Nishijima untuk urusan kedinasan. Kala itu, Laksamana Muda Tadashi Maeda juga memperkerjakan orang-orang Indonesia di rumahnya seperti di bagian dapur dan juga tukang kebun.
Fajar mengungkapkan Laksamana Muda Tadashi Maeda sendiri yang meminta untuk tinggal di rumah tersebut. Bisa dibilang, kawasan Menteng kala itu merupakan rumah yang dihuni oleh penduduk sipil. Laksamana Muda Tadashi Maeda menjadi orang militer yang tinggal di kawasan sipil.
"Dia dikabulkan ketika minta rumah di sini karena memang dari lokasi juga strategis. Karena saat itu beliau itu menjabat sebagai kepala penghubung Angkatan Darat dan Laut Jepang," ungkap Fajar.
Pada 16 Agustus 1945, Laksamana Muda Tadashi Maeda menerima Soekarno, Moh. Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumahnya untuk merumuskan naskah proklamasi. Dilansir dari buku Menteng 'Kota Taman' Pertama di Indonesia karya Adolf Heuken, setelah diskusi panjang mengenai naskah proklamasi, akhirnya pada pukul 04.00 dini hari naskah tersebut selesai diketik oleh Sayuti Melik dengan menggunakan mesin tik yang dipinjam dari kantor Angkatan Laut Jerman.
Setelah itu, naskah proklamasi tersebut kemudian dibacakan oleh Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur Nomor 56 sekitar pukul 10.00 WIB.
Dihuni oleh Kedutaan Inggris
![]() |
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pada September 1945, Sekutu kembali datang ke Indonesia yang dipimpin oleh Inggris melalui AFNEI. Inggris pun langsung mengusai beberapa tempat yang dulunya dikuasai Jepang, termasuk bekas rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Rumah tersebut sempat dipakai menjadi Markas Besar Tentara Inggris di Indonesia.
Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, barulah aset-aset yang dulunya milik pemerintah Belanda dinasionalisasikan, termasuk rumah tersebut dan PT Asuransi Jiwasraya.
Setelah dinasionalisasi, rumah tersebut sempat digunakan oleh Departemen Keuangan yang kemudian hak pengelolaannya dilimpahkan ke PT Asuransi Jiwasraya.
Pada 1960-an, PT Asuransi Jiwasraya menyewakan rumah tersebut ke kedutaan Inggris dengan kontrak 20 tahun. Dikutip dari buku Menteng 'Kota Taman' Pertama di Indonesia karya Adolf Heuken, disebutkan bahwa selama masa kontrak pertama tahun 1932-1960 dikenakan tarif fl. (gulden) 350 per bulan. Lalu pada masa kontrak 1960-1980-an, harga sewanya naik dari Rp 3.000 per bulan menjadi US$ 1.800 per bulan.
Kini Menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Setelah masa kontraknya habis, rumah tersebut tidak lagi disewakan. Menteri Pendidikan kala itu yaitu Nugroho Notosusanto ingin menjadikan bangunan tersebut sebagai museum karena pernah terjadi sejarah penting.
Ketika rumah tersebut diserahkan dari pihak PT Asuransi Jiwasraya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekitar tahun 1980-an sudah dalam keadaan kosong alias hanya ada bangunannya saja.
"Jadi setelah selesai kontrak dengan Inggris atau sewa dari Kedutaan Inggris itu benar-benar tidak ada apa-apa di dalamnya. Jadi benar-benar hanya gedung kosong," ujar Fajar.
Pihak pengelola museum pun membuat replika barang-barang yang sempat ada saat dihuni oleh Laksamana Muda Tadashi Maeda. Replika tersebut dibuat berdasarkan ingatan saksi mata yang sempat tinggal di sana, salah satunya Satzuki Mishima.
Akhirnya pada 1992, bangunan tersebut diresmikan menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0476/0/1992. Bangunan ini juga sudah menjadi cagar budaya yang dilindungi oleh UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/das)