Alex Impurung Mendur, Sosok di Balik Foto Kemerdekaan RI

Lorong Waktu

Alex Impurung Mendur, Sosok di Balik Foto Kemerdekaan RI

Puteri Salsabila - detikJabar
Minggu, 07 Jan 2024 18:00 WIB
Ir Soekarno saat memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ir Soekarno saat memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Sebuah makam tua bercorak merah putih terlihat usang dan tak terawat. Daun kering berserakan, sampah berupa puntung rokok teronggok. Begitulah keadaan makam Alex Impurung Mendur. Salah seorang tokoh yang hadir di balik lensa untuk mengabadikan momen kemerdekaan Republik Indonesia.

Siapa yang tidak tahu foto ikonik pembacaan proklamasi oleh Ir. Soekarno? Terlebih, rasanya tidak banyak foto yang beredar terkait kemerdekaan. Ternyata, ada sebuah kisah menarik dan heroik di balik hal tersebut.

Faktanya, pada saat kemerdekaan, hanya ada dua jurnalis foto atau fotografer yang hadir untuk mengabadikan momen tersebut. Mereka ialah Alexius Impurung Mendur dan adiknya, Frans Soemarto Mendur.Dan tahukah kamu bahwa salah satu di antara keduanya, yaitu Alex Mendur, kini dimakamkan di Bandung?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Balik Lensa Proklamasi

Di suatu pagi pada 17 Agustus 1945, Alexius Impurung Mendur atau yang lebih dikenal sebagai Alex Mendur, mendapatkan kabar dari temannya, Zahrudin, bahwa akan ada suatu kejadian penting di tempat tinggal Soekarno. Alex yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Fotografi Kantor Berita Jepang Domei berangkat membawa kamera Leica-nya.

Frans Mendur yang masa itu bekerja di Jepang Asia Raya juga mendapat kabar yang sama. Ia segera bergegas ke Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Cikini, Jakarta.

ADVERTISEMENT

Kala itu, kabar Jepang mengakui kekalahannya sudah tersebar, tapi belum semua masyarakat Indonesia mengetahui hal tersebut. Informasi mengenai akan diadakannya pembacaan proklamasi pun masih rahasia.

Situasi proklamasi secara terang-terangan tidak mendukung. Tentara Jepang masih berlalu-lalang, memantau aktivitas warga. Bendera hinomaru atau bendera nasional Jepang masih berkibar di mana-mana.

Pukul 10.00 WIB, Soekarno akhirnya membacakan proklamasi kemerdekaan. Upacara pun diadakan dengan sederhana. Hadir pula beberapa wartawan di lokasi, tapi tak ada yang membawa kamera. Hanya Alex dan Frans fotografer yang hadir. Alex membawa senjata andalannya, kamera Leica dan satu roll film kamera penuh. Sedangkan Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film.

Alex mengabadikan banyak momen dalam peristiwa proklamasi tersebut. Sedangkan Frans memilih dengan cerdik momen mana saja yang harus ia abadikan karena plat filmnya terbatas.

Seusai mengabadikan momen, Alex bergegas kembali ke kantornya untuk mencetak foto-foto yang ia ambil. Namun sangat disayangkan, foto-foto tersebut pada akhirnya dirampas Jepang.

Bagi Jepang, foto proklamasi merupakan bukti krusial bahwa Indonesia sudah merdeka. Tanpa foto, tak ada bukti konkret bahwa proklamasi sudah dibacakan. Gambar pada saat itu merupakan sebuah rekaman nyata. Belum ada teknologi secanggih AI. Tidak seperti tulisan, gambar tak bisa dipalsukan. Selain itu, gambar-gambar yang diabadikan oleh para fotografer dianggap ancaman karena bisa membangkitkan dan menyebarkan semangat juang masyarakat.

Bukan hanya Alex, Frans pun sempat didatangi pihak Jepang. Gambar-gambar yang ia tangkap hampir saja direbut. Untungnya, Frans sudah menduga hal itu. Ia dengan cerdas menyembunyikan foto-foto tersebut di bawah pohon kantornya, Asia Raya. Ketika ditanyai, Frans mengaku bahwa gambar yang ia tangkap sudah lebih dulu diambil Barisan Pelopor.

Tak sampai di situ, mengutip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang diterbitkan tahun 2013, Frans masih harus berusaha diam-diam mencetak foto. Ia dibantu Alex, mengendap-endap di malam hari. Sedikit saja ketahuan bahwa mereka masih menyimpan foto dan sedang berusaha mencetaknya, nyawa keduanya bisa hilang.

Tak ada yang tahu bagaimana nasib foto-foto Alex yang dirampas, ke mana dan apakah sudah dihancurkan? Namun, meski Alex harus kehilangan foto-foto penuh peristiwa bersejarah itu, Indonesia masih punya sisa gambar detik-detik kemerdekaan yang Franstangkap dan tak kalah mahal, seharga kebebasan.

Perjuangan Frans dan Alex tidak sia-sia. Gambar pembacaan proklamasi oleh Soekarno berhasil dimuat pertama kali di harian Merdeka, 7 bulan setelah kemerdekaan, 20 Februari 1946.

Ilustrasi fotografer.Ilustrasi fotografer. (Foto: Istimewa)

Alexius Impurung Mendur

Seperti dijelaskan dalam buku Biografi yang ditulis Wiwi Kusnaeni, Alexius Impurung Mendur, sang fotografer kemerdekaan, lahir di Kawangkoan Sulawesi Utara, 7 November 1907. Ayahnya bernama August Mendur dan ibunya bernama Ariance Mononimbar. Keduanya merupakan warga asli Kawangkoan.

Alex merupakan anak pertama dari sebelas bersaudara. Adiknya yang pertama, Nessi Mendur, meninggal dunia ketika berusia dua tahun. Tinggalah Alex dan kesembilan saudaranya. Hubungan Alex dengan adik-adiknya cukup dekat. Ia seringkali mengasuh adik-adiknya dan membantu kedua orangtuanya dalam melakukan pekerjaan rumah.

Keluarga Mendur bukan keluarga kaya raya. Mereka hidup dengan melakukan banyak pekerjaan, mulai dari bertani, berternak, hingga mencari kayu di hutan untuk dijual kembali. Keluarga Mendur juga taat dalam beragama. Setiap Minggu, mereka akan berangkat ke gereja bersama. Alex dibaptis oleh Pendeta Riemper ketika berumur tiga bulan, di Gereja Protestan Kawangkoan, gereja Pemerintah Hindia Belanda.

Alex senang berburu tikus bersama teman-temannya yang kemudian ia bakar dan ia makan. Ketika umurnya 6 tahun, Alex dimasukkan keVolkschool Gouvernement(sekolah rakyat).

Setelah lulus dariVolkschool Gouvernement,Alex tidak melanjutkan pendidikannya karena masalah keuangan. Meski begitu, Alex tetap rajin belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang ia dapat semasa bersekolah. Dalam hati Alex, ada keinginan besar untuk meringankan beban orangtuanya.

Suatu waktu, saudara Alex, yaitu Anton Nayoan datang dari tanah Jawa. Tanah Jawa sendiri merupakan sebutan yang diberikan orang-orang di luar Pulau Jawa untuk Batavia atau kini disebut Jakarta. Alex sangat senang mendapat kabar tersebut. Sudah sejak lama ia memiliki cita-cita pergi ke sana. Anton sendiri di tanah Jawa bekerja di sebuah perusahaan Belanda yang menjual alat-alat keperluan fotografi.

Alex yang gigih dan memiliki kemauan keras berhasil menarik hati Anton untuk membawanya ke Tanah Jawa. Alex yang mendengar ajakan dari Anton sangat bersemangat. Keinginannya untuk mandiri dan membantu kedua orang tuanya bisa terlaksana jika ia merantau ke Tanah Jawa. Begitulah pikirnya. Alex memanglah memiliki tekad yang kuat, keras, dan disiplin. Hal yang diturunkan dan dididik oleh ayahnya.

August dan Ariance, kedua orang tua Alex yang mendengar hal tersebut tidak serta merta menyetujui rencana kepergiannya. Mereka khawatir dengan Alex yang masih belia. Umurnya baru menginjak 15 tahun. Meski begitu, Anton dengan kesabarannya terus membantu menjelaskan. Hal ini akhirnya disambut baik. Alex berhasil mendapatkan restu kedua orangtuanya.

Alex dan Anton akhirnya berangkat ke Tanah Jawa pada 1922. Mereka menggunakan kendaraan seperti gerobak jarak jauh dari Kawangkoan ke Manado, kemudian menggunakan kapal laut dari Manado ke Tanah Jawa dengan waktu tempuh 1 bulan.

Fotografer Kemerdekaan

Alex tinggal bersama keluarga Anton Nayoan di tanah Jawa. Berkat hal tersebut, terutama Anton yang bekerja di bidang fotografi, Alex mulai mengenal dunia foto. Ia belajar sedikit demi sedikit mengenai fotografi, dimulai dari cara mencuci film.

Alex mendapat kesempatan untuk belajar mengenai fotografi dan bekerja di tempat Anton hingga 1926. Ia tak menyia-nyiakan hal tersebut. Pekerjaannya itu ia jadikan batu loncatan dalam karir fotografinya.

Beres dari perusahaan Belanda, Alex pergi ke Bandung untuk bekerja di perusahaan fotografi milik Inggris. Alex kemudian kembali lagi ke Jakarta karena mendapat tawaran dari perusahaan Jerman.

Ketika kembali ke Jakarta itulah Alex bertemu dengan Emmy Agustina Wowor dan menikah dengannya pada 1929 di Jakarta. Emmy juga berasal dari Manado dan sejak lama menetap di Jakarta. Keduanya terpaut 5 tahun. Alex berusia 22 tahun dan Emmy 17 tahun. Keduanya akhirnya tinggal di daerah Mangga Besar.

Alex sempat berkarier di majalah Actueel Wereld Nieuws En Sport In Beeld(Berita Dunia Terkini dan Olahraga dalam Gambar) pada 1931-1934. Pada 1932-1935, Alex juga berkerja diDe Java Bode,harian Belanda terkemuka pada zamannya.

Ada banyak kisah menarik selama karier Alex sebagai fotografer. Salah satunya, ia pernah nekat masuk ke kawasan letusan Gunung Merapi di tahun 1933 demi mengabadikan momen tersebut. Tekadnya tak hilang meski ada peraturan'barang siapa memasuki daerah berbahaya akan ditembak'.

Dengan kegigihan dan ambisi yang dimiliki, Alex coba berbicara dengan tentara yang sudah siap dengan senapannya. Untungnya, tentara tersebut adalah orang Manado. Foto tersebut akhirnya menjadi perbincangan setelah terbit diDe Java Bode.

Di lain peristiwa, pada 1946, Alex juga pernah dikira sebagai intel. Kala itu, masih masa revolusi. Waktunya pun bertepatan dengan pertempuran Indonesia dengan pihak Belanda (Nica). Alex awalnya berniat meliput pertempuran yang terjadi di dekat Bogor.

Ia pastinya membawa senjata andalannya. Sebuah kamera. Namun, saat itu hanya orang Belanda yang biasanya memiliki kamera.

Alex hampir saja menjadi bulan-bulanan para pejuang karena kecurigaan itu. Untunglah ada Alex Kawilarang, pemimpin pasukan tentara Nasional di daerah yang mengenal Alex Mendur. Masyarakat pun berhamburan kembali sesudah mengurungkan niat untuk menghakimi Alex.

Alex juga sempat mendidik adiknya, Frans Soemarto Mendur mengenai dunia fotografi yang kelak akan hadir bersamanya mengabadikan momen detik-detik kemerdekaan.

Pada periode penjajahan Jepang, Alex sempat menjadi anggota Barisan Pelopor hingga akhirnya berhenti karena mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Fotografi Kantor Berita Domei pada 1942.

17 Agustus 1945 pun tiba. Alex mendapat kabar mengenai peristiwa besar yang akan terjadi di kediaman Soekarno. Ia bergegas pergi dengan senjatanya, kamera bermerk Leica dan satu roll film penuh.

Pada 2 Oktober 1946, Alex Mendur, Frans Mendur, J.K. Umbas, F. F. Umbas, dan Alex Mamusung resmi mendirikanIndonesian Press Photo Service(IPPHOS). Lahirnya IPPHOS didasari atas keinginan untuk menyebarluaskan dan mengarsipkan peristiwa-peristiwa penting. Terlebih, banyak wartawan dari negara-negara asing sering datang untuk meminta foto seputar peristiwa di Indonesia.

IPPHOS tidak dikomersialkan. Untuk menutupi biaya operasional, Alex Mendur dan F. F. Umbas membuka jasa pemotretan pernikahan, dan lain-lain.

IPPHOS pertama kali membuka cabangnya di Jogja pada 1946. Kemudian disusul pada 1948 di Semarang, Palembang, Ujung padang, dan Surabaya. Manado, Bandung, dan Medan kemudian buka pada 1949.

Tentara Belanda beberapa kali mengobrak-abrik kantor IPPHOS. Mereka juga seringkali menahan para petugas, termasuk Alex dan anaknya, Lexi yang pada saat itu dalam perjalanan pulang dari Jogja. Belanda menganggap bahwa gambar-gambar yang diambil sangat berbahaya karena dapat menimbulkan semangat juang masyarakat. Hal ini yang menjadi landasan kuat Belanda membubarkan IPPHOS.

Koleksi foto-foto IPPHOS lengkap. Dari foto tokoh pahlawan, hingga peristiwa-peristiwa penting. IPPHOS berada pada masa jayanya di tahun 1950-an dengan menguasai pasar Eropa hingga mendapat julukan "Raja Kertas". IPPHOS mengeluarkan lisensi untuk setiap orang yang ingin mengimpor kertas.

Pemerintah pada waktu itu juga sering menyebarluaskan foto yang IPPHOS tangkap, tapi tidak memberikan kredit bahwa IPPHOS yang mengambilnya. Alex tak terlalu menanggapi hal tersebut. Baginya itu hanya buang-buang waktu. Yang Alex tahu, tugasnya adalah mengabadikan. Semuanya ia lakukan sebagai perjuangan bagi bangsa.

Alex dan Emmy bercerai pada 1950. Di tahun yang sama, tepatnya 2 Agustus 1950, Alex menikah lagi dengan salah satu wartawan IPPHOS, Ines Manaroinsong. Perempuan kelahiran 1923 yang berasal dari Tondano, Sulawesi Utara.

Karir Alex di dunia fotografi berhasil membawanya ke Eropa dan Mesir di tahun 1954. Pada 1955, ia diangkat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Alex menerima penghargaan dari PWI atas pengabdiannya terhadap profesi wartawan.

Pada 17 Agustus 1983, bersamaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-38, Alex Mendur selaku pemimpin IPPHOS mendapat Bintang Penghargaan Kelas II. Saking tak percayanya, Alex berkata haru, "Ternyata, saya masih diingat juga, ya?"

Alex untuk terakhir kalinya menjejakkan kaki di kantor IPPHOS pada 5 Desember 1984. Dua hari setelahnya, penyakit pada saluran kencingnya kambuh. Pada 10 Desember, Alex dibawa ke Bandung atas permintaannya. Hal ini didasari karena ia sudah pernah berobat ke dokter spesialis di kota tersebut.

Alex melakukan operasi prostat pada Kamis (13/12/84). Pada 29 Desember, malam hari, Alex dinyatakan membaik. Keluarga merasa lega. Namun sayangnya, 30 Desember 1984, Alex menghembuskan napas terakhirnya di RS Advent, Bandung pada pukul 04.30 pagi.

Merujuk pada buku Wiwi Kusnaeni, Johny Mawengkang, salah seorang kerabat yang menjaga Alex di saat terakhirnya, mengatakan bahwa Alex merasa gelisah sejak pukul 3 pagi. Ia mencabut paksa infus yang terpasang. Johny terus mencoba menenangkan Alex. Mereka akhirnya saling berpegangan tangan dan berdoa bersama hingga Alex tertidur dan ternyata, itu adalah tidur terlelapnya Alex.

Semasa pengobatan, Alex tak pernah mengerang sakit. Ia hanya pernah mengeluh lelah. Alex tak pernah pantang dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan. Ia dikenal keras dan gigih. Ambisinya besar. Idealismenya tinggi.

Ia memiliki kontribusi besar dalam perjuangan bangsa Indonesia sekaligus di bidang fotografi. Karirnya Ia mulai dari mengikuti Anton, saudaranya, dalam melakukan hal sekecil mencuci foto, hingga akhirnya meliput banyak peristiwa besar. Lewat IPPHOS, ia juga menyebarkan perjuangan Indonesia, bukan hanya ke penjuru nusantara, tapi juga ke penjuru dunia.

Alex pergi meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan sembilan cucu.

Setelah 25 tahun usai kepergiannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 menganugerahkan gelar Bintang Jasa Utama kepada Alex. Pada 2010, Alex menerima gelar Bintang Mahaputera Nararya. Tiga tahun kemudian, pada 2013, SBY memberikan dedikasi berupa pembangunan patung Alex dan Frans Mendur di Kawangkoan.

Makam Alex Mendur.Makam Alex Mendur. (Foto: Koleksi pribadi)

Makam Sang Pahlawan

Alex dimakamkan pada Senin (31/12/84) di TPU Pandu, Bandung pada pukul 13.00. Usianya saat itu 77 tahun. Pemakaman dipimpin oleh Pendeta Sumual. Banyak dari keluarga, rekan kerja, hingga pejabat yang hadir dan mengirimkan ucapan bela sungkawa.

Tiga puluh sembilan tahun berlalu. Makam Alex Mendur kini memiliki corak merah putih dengan tulisan "Fotografer Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia" di bagian bawahnya. Tulisan itu terlihat usang, tertutupi debu. Dedaunan kering berserakan. Hampir menyelimuti seluruh bagian makam.

Di sampingnya, terpampang banner sobek berisikan kisah singkat dari Alex Mendur.
Usut punya usut, tiga tahun lalu, Kelompok Anak Rakyat (Lokra kini menjadi Mataholang) melakukan pemugaran pada makam Alex Mendur. Mereka menyemen sekitar makam dan mengecatnya dengan warna merah-putih. Banner besar turut terpasang, berisikan biografi singkat Alex Mendur.

"Dulumahmakamnya gak gini. Inibala. Baru diperbaiki. Ini, kan, dicat merah-putih, kan, baru. Ada tiga tahunan lebih. Kalau dulu, kan, item-item aja semua. Nah, mungkin karena ketahuan bahwa ini pahlawan, baru dikasih tanda," ujar Baran (66), selaku warga yang menjaga TPU Pandu sejak kecil ketika diwawancarai pada Kamis (14/12/23).

Gatot Gunawan selaku koordinator Lokra masa itu, menuturkan dalam sesi wawancaranya pada 27 Desember 2023 bahwa komunitasnya tidak memiliki pemasukan. Di sisi lain, Lokra merasa mereka perlu melakukan sesuatu untuk sekadar membalas jasa dari Alex, sang fotografer proklamasi. Karena itu, Lokra memutuskan membuka donasi kepada warga Bandung.

"Tergerak karena beliau (adalah) makam fotografer proklamasi 1945 satu-satunya yg tersisa, makam Frans Mendur di Jakarta sudah hilang," ceritanya.

Lokra mengawali pencarian tempat peristirahatan Alex lewat internet hingga akhirnya membawanya ke TPU Pandu. Tapi sayangnya, tidak ada yang tahu titik pasti dimana makam itu berada.

"Kemudian, saya cari ke lokasi dan di sana gak ada yang tau titik makamnya dimana. Akhirnya, berbekal nama lengkap, tanggal lahir, dan wafatnya, saya minta bantuan warga sekitar untuk mencari nisannya. Selang beberapa jam, sore sekitar jam 3, akhirnya ketemu di pojokan dengan kondisi yang memprihatinkan. Jadi tempat pembuangan sampah," kenangnya.

Langkah Lokra dalam mengenang jasa Alex tak sia-sia. Selain mempercantik makam Alex, usahanya itu berhasil mengedukasi masyarakat setempat mengenai kontribusi yang telah Alex berikan.

"Sebelumnya, bapak juga gak tau. Cuma udah dipasang ini (banner biografi), bapak tau bahwa orang ini tehgini, gini, gini.Sesudah dipasang ini, bapak tau bahwa initehpejuang. Kalau dulumahgak tau, soalnya jarang ada yang datang," terang Baran.

Baran memberikan kesaksian bahwa sejak beberapa tahun terakhir, makam Alex mulai sering dikunjungi. Tak ada momen tertentu kapan pengunjung akan datang. Menurutnya, pengunjung didominasi kalangan mahasiswa.

Sama dengan Baran, Saepul selaku Koordinator Lapangan TPU Pandu juga menuturkan hal yang sama. Pihak Pandu baru mengetahui bahwa Alex Mendur adalah salah satu fotografer detik-detik proklamasi ketika ada pemasangan banner.

"Kita pun baru tahu. Saya pun baru kira-kira tiga tahun lebih (bekerja) di sini. Tapi mungkin, pengelola yang dulu tahu (soal Alex). Tapi itu kan tidak diceritakan. Sayangnya, pengelola yang lama juga sudah pada tidak ada," ucap Saepul pada Kamis (15/12/23).

Faujian Esa Gumelar, S.Pd, M.Hum selaku Dosen Sejarah UPI turut memberikan pandangannya terkait jasa Mendur bersaudara, Selasa (19/12/23).

"Bukan cuma mereka (Alex dan Frans) itu memfoto, tapi mereka benar-benar memiliki satu jiwa tentang kemerdekaan Indonesia. Rasa nasionalisme yang cukup tinggi. Kalau tidak memiliki rasa nasionalisme yang cukup tinggi, untuk apa kita mengambil risiko untuk memfoto hal tersebut, yang notabenenya saat itu dilarang dan sangat dibenci Jepang? Taruhannya mungkin nyawa pada saat itu," jelas Faujian.

Makam Alex Mendur.Makam Alex Mendur. (Foto: Koleksi pribadi)

"Orang berpikir bahwasanya yang dinamakan pahlawan itu adalah dia yang benar-benar berjasa secara politis. Karena biasanya dalam sejarah, politik itu selalu dijadikan primadona. Makanya yang terkenalnya adalah Soekarno, Hatta, Syahrir, yang merupakan tokoh-tokoh yang memang tampil. Tapi dalam perspektif yang lain, kita bisa melihat ini bukan cuma tentang politisi, tapi ini adalah tentang orang-orang yang pada saat itu ikut memperjuangkan. Dan jurnalis adalah sosok yang bisa diusung sebagai pahlawan. Karena tanpa mereka, ya mungkin kemerdekaan Indonesia patut diperdebatkan. Merekalah yang menunjukkan bukti bahwa proklamasi benar-benar dilaksanakan pada 17 Agustus 1945," tambahnya.

Faujian mengangap bahwa Alex sangat pantas menyandang gelar pahlawan. Semasa hidupnya, Alex sudah membuktikan perjuangan, kontribusi, serta dedikasinya bagi negara. Foto detik-detik proklamasi yang tersebar kini bukan hasil jepretan Alex, meski begitu, ketika peristiwa itu terjadi, ia hadir dan mengambil segala risiko untuk mengabadikannya, sebelum akhirnya tertangkap.

Alex membantu adiknya dalam memproses foto hingga dapat dicetak. Alex terus berjuang bagi negara lewat bidang yang ia tekuni sebagai seorang fotografer jurnalis. Ia dan sahabat-sahabatnya mendirikan IPPHOS agar perjuangan Indonesia bisa tersebar ke segala wilayah. Karena orang-orang inilah masyarakat dahulu dan sekarang bisa melihat bagaimana peristiwa proklamasi dan perjalanan Indonesia di masa lampau. Tapi seribu sayang, peristirahatan terakhirnya tak diperhatikan.

"Untuk seorang tokoh Alex Mendur, pemerintah itu harusnya memahami dan mengetahui bahwa tokoh ini sudah sepatutnya diberikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Bahkan seorang Presiden SBY, beliau meresmikan patung terkait dengan Frans dan Alex ini. Pemerintah yang sekarang sudah seharusnya melakukan hal serupa dengan cara sederhana. Tidak usah mendirikan patung,tapi dengan cara membuat makamnya terawat," kritik Faujian.

Saepul sendiri mengatakan bahwa dalam beberapa tahun belakang, TPU Pandu belum mendapat permintaan apapun terkait makam Alex, baik dari pihak keluarga atau pemerintah.

"Saya rasa pemerintah jangan pilih-pilih karena dapet gelar pahnas (pahlawan nasional) akhirnya jadi prioritas, sedangkan yang gak dapet gelar pahnas dibiarkan. Karena tanpa hasil foto Mendur bersaudara, kita gak akan pernah tau suasana detik-detik kemerdekaan seperti apa. Malahan, sudah seharusnya Mendur bersaudara mendapat gelah pahnas. Pemerintah Republik seharusnya berhutang budi pada jasa besar Mendur bersaudara. Foto-foto beliau selalu pemerintah pake untuk menunjukkan suasana kemerdekaan, baik melalui buku-buku pelajaran, ataupun kegiatan kesejarahan di luar negeri," ujar Gatot.

Lokra atau yang kini sudah berganti nama menjadi Mataholang kini telah mengambil langkah baru untuk memindahkan makam Alex ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra.

"Memang ini jadi tugas berat bagi komunitas yg minim anggaran. Mauopendonasi lagi, kami juga malu. Renovasi ini hanya bersifat sementara karena program besarnya tahun 2024. Kami berencana untuk memindahkan makam beliau ke TMP Cikutra."

Gatot menjelaskan bahwa pemindahan ini sebelumnya akan dilaksanakan di bulan Agustus dan November 2023. Tapi karena isu politik yang kian memanas, rencana pemindahan diundur ke 2024. Ia khawatir pemindahan makam akan dipolitisasi oleh kelompok tertentu.

Adapun beberapa proses yang harus dilalui terkait pemindahan makam, yaitu pengumpulan berkas-berkas, seperti piagam jasa yang pernah diraih, data riwayat hidup, serta persetujuan keluarga. Gatot menuturkan bahwa gelar Bintang Mahaputra yang didapat Alex sudah cukup menjadi tiket untuk memindahkan makam. Pihak keluarga pun sudah menyetujui hal tersebut.

"Harapannya setelah pemilu usai, makam beliau bisa kami pindahkan ke TMP Cikutra dan pemerintah, khususnya pemkot Bandung, lebih serius dalam melakukan pendataan dan perawatan aset situs, makam, benda-benda bersejarah sebagai bukti bahwa Kota Bandung adalah tempat perjuangan dan berlabuhnya para tokoh bangsa," tutupnya.

Kenapa Banyak Tokoh Tidak Dikenali? Masih banyak tokoh yang ceritanya belum diketahui. Jasanya belum dikenang. Namanya belum didengar. Padahal, apa yang mereka lakukan tidak kalah penting dari tokoh-tokoh yang sering kita temui, seperti Soekarno, Hatta, Achmad Soebardjo, dan lainnya.

Perjuangan kemerdekaan bagi bangsa tidak melulu soal angkat senjata atau diplomasi. Setiap bidang dalam kehidupan pasti memiliki bagian penting dalam sebuah kemerdekaan. Termasuk apa yang Alex lakukan sebagai fotografer jurnalis.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, karya-karya IPPHOS seringkali disebarluaskan pemerintah pada masanya. Tapi IPPHOS seperti kehilangan hak ciptanya. Orang-orang belakang layar seringkali tidak tersorot kamera. Bahkan dalam kisah Alex, ialah yang memegang kameranya.

Hal ini menunjukkan perlunya upaya agar masyarakat bisa banyak mengenal dan mengetahui lebih banyak tokoh-tokoh pejuang.

"Kenapa tokoh-tokoh tersebut jarang tersorot? Ada dua hal. Yang pertama, karena kita belum membaca terkait dengan tokoh tersebut. Yang kedua, karena kita itu enggan menulis," jelas Faujian.

Faujian menuturkan bahwa membaca sama dengan membuka jendela untuk mengenal lebih para tokoh. Menulis berarti kita bisa menyebarkan dan mengedukasi masyarakat luas. Menjadikan kisah-kisah para pejuang lestari dalam tulisan dan ingatan.

"Kalau di sejarah itu ada sebuah konsep yang dinamakan sejarah lokal. Jadi, sejarah yang berusaha direkonstruksi dan dibangun berdasarkan lokalitas yang ada di sekitar tempat tinggal. Ketika kita berdekatan dengan TPU Pandu, yang notabene banyak tokoh-tokoh yang berperan tapi tidak begitu banyak diangkat, salah satunya Alex Mendur, kita harus punya kepedulian untuk mengangkat tokoh-tokoh tersebut. Jadi, dimulai dari lokalitas tempat tinggal terdekat," tambahnya.

Menurutnya, hal terkecil untuk melestarikan sebuah kisah perjuangan adalah mengangkat hal yang ada di sekitar kita. Baik suatu peristiwa, maupun tokoh yang lahir atau dimakamkan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kesadaran bahwa Indonesia, sebuah negara yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, pasti punya cerita di setiap penjuru wilayahnya.

*Artikel ini ditulis oleh Puteri Salsabila (mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia UPI). Isi dan bahasan konten sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Bagi Anda yang ingin berpartisipasi dalam rubrik Jurnalisme Warga, bisa mengirimkan tulisan, foto pelengkap tulisan, dan foto identitas (KTP, Kartu Pelajar, Kartu Mahasiswa, dan semacamnya) ke email redaksijabar@detikjabar.com.

Halaman 2 dari 2
(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads