Kota Bandung terletak di daerah cekungan. Kota yang bersejarah ini sejatinya punya banyak sumber mata air. Tapi kini mata air yang berlimpah di tengah kota tinggallah kenangan.
Sekelumit sejarahnya masih terkenang. Daerah Kebon Kawung-Cicendo tepatnya sekitar makam Haji Mesri, jadi salah satu saksi sejarah bagaimana kala itu kota Bandung bergelimang mata air. Bahkan air yang berlimpah dijadikan sumber mata pencaharian bagi warga sekitar.
Jauh menengok ke belakang pada puluhan tahun yang lalu, tak jauh dari tahun kemerdekaan Indonesia, penatu sangat dibutuhkan di kota Bandung. Keberadaan Stasiun Bandung mempermudah mobilisasi, membuat banyak orang luar kota datang menginap. Mereka butuh orang yang bersedia mencucikan termasuk seprei dan sarung bantal yang harus selalu bersih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di saat yang sama, kuburan Kebon Jahe yang dikenal sebagai kuburan mewah untuk orang Eropa (sekarang GOR Padjadjaran) bakal digusur. Sebagian makam ada yang dipindahkan ke Belanda, sebagian lagi ke dipindah ke Ereveld Pandu, makam orang Eropa yang sudah ada sejak 1930.
"Tapi banyak juga kuburan yang tercecer karena tidak ada sanak keluarga atau keturunan. Akhirnya banyak batu nisan yang tercecer sampai ke perumahan warga di belakang (GOR Padjadjaran). Warga mulungin batu nisannya untuk dijadikan alas mencuci. Kampung tersebut dinamai Kampung Dobi (penatu), penduduk itu mencucikan baju orang Eropa atau orang Indonesia kalangan menengah ke atas," cerita Femis Aryani, story teller Cerita Bandung beberapa waktu lalu.
Di hadapan para peserta walking tour, Ci Fei, begitu sapaannya, menunjukkan foto dokumentasi arsip wujud nisan yang digunakan untuk mencuci. Bentuknya begitu besar dan tebal, berbeda dengan batu nisan yang sering kita jumpai saat ini. "Awalnya ada batu nisan yang tersisa, tapi karena ada pembangunan rumah jadi batu nisannya sudah hilang. Sayang ya, padahal itu salah satu saksi sejarah," tuturnya.
Sebagian penduduk di Kampung Dobi berasal dari kota Bogor. Mereka adalah pekerja pembangunan stasiun kereta api di Bandung. Di malam hari mereka bekerja sebagai penatu atau dobi. Mereka menggunakan mata air Ciguriang, salah satu mata air yang cukup besar di kampung tersebut, untuk mencuci.
"Nah dobi ini dilakukan oleh laki-laki, pada malam ke pagi hari. Bajunya dipukul-pukul dan digosok ke nisan, karena berat makanya harus laki-laki. Menjelang pagi, langsung dijemur di pohon Kawung (makanya disebut daerah Kebon Kawung) tapi sudah mati semua pohonnya, tersisa tiga di dekat mata air tapi sudah dipenggal," ucap Ci Fei mengutip dari beberapa literatur yang dipelajarinya.
"Kemudian setelah dijemur, disetrika pakai areng dan bawahnya dilapisi daun, biar wangi. Setelah itu baju dilipat dan dikemas pakai kertas putih, baru dikirim ke pelanggannya langsung. Menurut pengakuan penduduk sekitar, saking jernihnya air di sini, kalau ada anak yang mau disunat suruh nyemplung dulu ke sini, biar baal (kebas) baru disunat," lanjut Ci Fei.
Bisa dibayangkan bagaimana dulu kota Bandung bergelimang mata air yang jernih. Pada jaman itu juga Sungai Cikapundung masih memiliki air bersih. Tapi saat ini kondisi air sungai di kota Bandung sudah tercemar. Terlebih mata air Ciguriang, di musim kemarau ini sudah mengering dan hanya jadi lahan gundul penuh sampah dedaunan hingga sampah masyarakat sekitar.
Bahkan lahan ini kini jadi tempat membakar tumpukan sampah. Tak lagi bernilai mata air yang sejuk dan murni. Kampung padat penduduk ini pun tak jadi Kampung Dobi lagi. Konon, kemarau pada tahun 1982 yang jadi awal mula penyebab mata air Ciguriang hilang.
"Kampung ini punya banyak mata air, salah satunya Ciguriang dan ada satu lagi namanya Sumur Siuk. Mata air Ciguriang ini sebetulnya luas dan besar, tapi makin ke sini makin kecil karena kebiasaan warga buang sampah juga, jadi semakin minim (air dan lahannya). Sebetulnya masih ada air di sini, tapi kalau kemarau jadi kering banget, kalau Sumur Siuk terus menerus keluar air," ucap Ci Fei.
Tak jauh dari mata air Ciguriang, ada Sumur Siuk. Sumur ini cukup besar dengan kedalaman kurang lebih enam meter. Sumur ini jadi sumber air bersih untuk warga. Ikut dibangun juga dua buah toilet di sebelah tempat warga menimba air.
"Nah Sumur Siuk ini airnya enggak pernah habis. Biasanya warga ngambil air pakai ember atau kayu, orang Sunda sebutnya Siuk," katanya.
Tapi, musim kemarau tahun ini cukup membuat warga kaget karena kesulitan mencari air bersih. Diungkapkan oleh Tati (60), Ketua RT 05 RW 04 Kelurahan Pasir Kaliki Kecamatan Cicendo, sudah lebih dari 50 tahun sudah ia tinggal di perkampungan padat penduduk ini. Padahal sejak dulu, kata dia, Sumur Siuk selalu berkelimpahan air.
"Jadi sebetulnya kemarin-kemarin itu agak dalam ngambil airnya, jadi susah ya. Ini tumben baru tahun ini kok agak capek gitu ngambil air mah, susah air bersih. Kelihatannya mungkin bagian bawahnya itu banyak lumpur, jadi kemarin sempat dibersihkan jadi airnya juga agak bening," cerita Tati pada detikJabar Rabu (11/10/2023).
Ia mengiyakan bahwa warga tak terlalu khawatir karena kalau hujan turun, maka sumur siuk akan kembali terisi air. Tapi tak bisa dipungkiri kalau banyak warga masih bergantung dengan air sumur itu.
"Sebetulnya kalau hujan sehari, air serapan suka pada keluar kan ada bolong-bolong dari lubang air serapan itu. Bisa penuh kalau hujan. Jadi semoga cepat hujan. Warga yang butuh sih biasanya yang belum punya toilet atau ngontrak gitu, kalau warga lain kebanyakan sudah punya jet pam, ledeng, nah ini mah kita cari lah bantuan gimana biar ada air bersih," tambahnya.
Kembali lagi pada cerita jaman dulu. Dikatakan oleh Ci Fei, RA Wiranatakusumah II yang merupakan Bapak Pendiri Kota Bandung sudah memprediksi hal ini. "Jadi RA Wiranatakusumah sempat mampir ke sini, untuk melihat apakah daerah ini cocok untuk pusat kota. Karena kelihatannya banyak mata air di mana-mana. Tapi orang jaman dulu punya semacam wangsit atau penglihatan, kelihatannya bakal makin surut airnya," tuturnya.
Ci Fei juga memberikan sedikit trivia. Daerah Kebon Kawung sebetulnya juga sempat dikenal sebagai Kampung Babakan Bogor. Selain karena penduduknya yang sebagian berasal dari Bogor, tapi juga karena usaha warga untuk menanam kembali pohon selain Kawung, yakni pohon Aren.
"Pohon Kawung yang mati coba digantikan dengan pohon Aren. Tapi pohon-pohon itu pun sudah mati. Pohon yang sudah mati itu dinamai pohon Bogor. Makanya di sini juga ada nama lainnya Kampung Babakan Bogor. Warga sudah tanam lagi pohon Aren yang baru, tapi kalau yang sejak jaman dulu itu sudah mati dan disebut pohon Bogor," katanya.
(aau/dir)