Sejak TPA Sarimukti kebakaran hampir sebulan yang lalu, tumpukan sampah di TPS-TPS kota Bandung makin membumbung tinggi. Santi (25) hanya bisa pasrah melihatnya.
Gunungan sampah mau tak mau mempengaruhi kehidupannya. Sebab selama hampir lima tahun, ia berdagang warung di lapak sebelah TPS Cibeunying. Warungnya ini juga, sekaligus jadi tempat tinggal untuk Santi sekeluarga.
"Sebetulnya sudah sejak dulu dekat dengan tempat ini. Dari jaman ibu masih sekolah (sekitar 40 tahun yang lalu), kan Uwanya di sini ngurus sampah. Ibu suka main, terus nikah dan saya lahir, setiap pulang sekolah saya juga pasti main ke sini. Ibu jualan nasi pakai gerobak di sini dan bapak ngurus sampah," kenang Santi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bau sampah yang menusuk hidung, sudah menjadi aroma yang biasa bagi Santi sekeluarga. Lalat yang berterbangan hingga ke dalam rumah, bahkan hinggap di baju-baju yang dijemur, bukan pemandangan luar biasa.
Kata dia, ibunya pernah bercerita saat TPA Leuwigajah meledak pada tahun 2005, kondisinya bahkan tak separah ini. Santi juga ingat betul semasa sekolah tak pernah melihat tumpukan sampah yang begitu tinggi.
"Ini terparah. Dulu kan sering main ke sini, sebelum dagang dan tinggal di sini. Waktu Leuwigajah dulu mah nggak separah ini, sampai ke jalan tapi nggak menggunung kayak kemarin ini lima meter ada," kata Santi.
"Ya soalnya di sini dulu terima sampah dari Kelurahan Cihapit aja. Sekarang empat kelurahan ke sini semua buangnya," tambah dia sambil melihat alat berat mengangkut sampah-sampah, bersama putranya yang masih berusia 1,5 tahun.
Tapi satu hal yang jadi pikirannya. Sudah satu bulan penghasilan warungnya mandek. Santi memutuskan untuk tutup warung, sebab tak ada pelanggan sama sekali yang mampir.
Terlihat dari luar etalase, hanya ada beberapa potong ayam dan sambal untuk jaga-jaga kalau ada pembeli. Katanya, para pemulung biasa makan di warungnya dengan pilihan lauk yang lebih beragam seperti ayam, mie, dan sayur.
"Jangankan mampir makan. Lewat saja sudah tutup hidup jijik. Jadi ya tutup sebulan, lalatnya juga makin nggak karuan. Kalau normal itu ya nggak bau dan nggak ada lalat, bisa disemprot baygon. Tapi kalau lagi numpuk, banyak lalat, bau, terus tiap pagi belatung itu pada merembet. Tadi ini udah diusir pakai taburan gula," ceritanya.
Tak banyak yang bisa dilakukan Santi. Padahal ia harus terus menyambung hidup, tapi tak tahu apa yang harus dilakukan selain berdagang di situ. Ia juga mulai merasakan kerugian dari warung yang letaknya jadi tertutup sampah.
"Biasanya kuli-kuli itu pada makan, ngambil dulu terus bayar waktu udah gajian sebulan kemudian. Perbulan untung bisa 1.5 juta per bulan," kata Santi.
"Tapi ini udah sebulan nggak ada penghasilan, malah rugi ini mah 1.5 juta lebih hilang. Karena buat makan, Rp100rb ke pasar cuma dapat ayam sekilo sama bumbu udah. Yaudah lah pasrah kita diem aja, ya ada we gitu uangnya," lanjutnya.
Baik Santi, orang tuanya, dan sang suami, tak pernah ada yang mengalami gangguan kesehatan selama tinggal bertahun-tahun di sana. Tapi sang anak saat ini jatuh sakit.
"Anak memang suka main ke luar gitu, tapi ini kemarin lebih banyak di dalam rumah. Soalnya sakit panas, batuk, pilek, sama diare. Sudah dibawa ke Puskesmas terus ya diobati aja, sakit batuk pilek biasa gitu," ucapnya.
Santi sekeluarga tak pernah berangan-angan untuk hidup terbebas dari sampah. Sebab memang itu sudah jadi pilihan hidupnya. Bahkan dari mengurus sampah lah, kedua orang tuanya bisa memiliki kesempatan untuk tinggal di pos penjaga sebelah TPS.
Dari sampah juga, ia mampu memodali diri dengan membeli lapak warungnya seharga Rp15 juta. Hanya, ia berharap agar tak lagi terjadi tumpukan sampah yang membumbung tinggi, supaya ia bisa membiayai hidup lagi.
"Hari ini sudah diangkutin alhamdulillah, kurang setengahnya lagi. Ya semoga cepat tuntas, supaya bisa jualan lagi," doanya.
(aau/tey)