Muhammad Asmat Sentot atau MA Sentot merupakan pahlawan asal Indramayu yang gigih mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dalam perang revolusi. Pejuang fenomenal yang membentuk pasukan setan dengan logo tengkorak tanda silang saat melawan tentara Belanda membuat dia dijuluki 'jenderal kere' oleh rekan seperjuangannya dulu.
Muhammad Asmat Sentot atau MA Sentot adalah sosok pahlawan kelahiran Desa Plumbon, Kabupaten Indramayu pada 17 Agustus 1925. Sejak kecil, Sentot lebih suka merakyat atau bergaul dengan semua kalangan tanpa memandang status sosial.
Ia menyingkirkan kesenjangan sosial meski terlahir dari keluarga terpandang atau priyayi. Kepribadian itu yang kemudian menjadi modal berjuang melawan feodalisme dan kolonialisme saat masih muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kariernya di militer bermula pada masa Pendudukan Jepang untuk melawan tentara sekutu pada tahun 1943. Kemudian, anak dari pasangan H. Abdul Kahar dan Hj. Fatimah itu bergabung dengan tentara sukarela atau tentara Pembela Tanah Air (PETA).
M.A Sentot memperoleh pangkat Giyu-Shoi (Letnan Dua Tentara Sukarela) setelah selesai jalani pendidikan militer dan menjabat sebagai Shodancho (Komandan Pleton) di Majalengka. Kemudian ia ditugaskan sebagai wakil komandan kompi di Anjatan, Indramayu saat kemerdekaan.
"Beliau cukup lama bertugas di Indramayu, sejak jadi komandan Batalyon dan dia juga salah satu orang yang pernah mengikuti pendidikan PETA. Tidak sembarang orang yang mengikuti pendidikan Jepang, itu tercatat di museum Bogor," kata salah satu putra MA Sentot, M. Alam Sukmajaya ditemui detikJabar, belum lama ini.
Selain pernah bergabung dalam tentara PETA, MA Sentot juga kemudian bergabung dalam instansi TNI Angkatan Darat dan mendapat pangkat perwira menengah. Namun, di tahun 1980, MA Sentot mengajukan pensiun dini dengan pangkat terakhirnya sebagai Kolonel TNI AD. Sejak saat itu, pahlawan yang memiliki 9 orang anak itu, memulai hidup sederhana.
"Almarhum ini sebenarnya unik orangnya, tidak mau di publish dari dulu juga. Buat saya dulu mengabdikan diri buat bangsa dan negara. Setelah selesai ya sudah, tidak butuh penghargaan, penghormatan. Dan pada saat itu bukan pensiun tapi mengajukan pensiun dini," kata Alam ucapkan kata-kata Ayahandanya.
Pejuang yang merupakan satu angkatan dengan Wakil Presiden ke empat Indonesia yaitu Umar Wirahadikusumah, setelah pensiun kembali ke Indramayu. Ia memilih tinggal di Desa Sukahaji, Kecamatan Patrol, Indramayu. Sosok pejuang yang sangat ganas di medan pertempuran setelah selesai ia memilih hidup sederhana di Desa bersama istri dan anak-anaknya.
Bagi Alam, MA Sentot merupakan sosok yang sangat idealis. Pangkat dan jabatan yang saat itu dipegang tidak dijadikannya sebagai aji mumpung untuk mendapatkan kekayaan lebih. Padahal, di era orde baru ketika itu, ia sangat mudah mengumpulkan harta dengan memakai baju kebesarannya, namun tidak ia lakukan. Bahkan, dalam satu momen, MA Sentot berpangkat Kolonel, menolak keras pengajuan pangkat bintang satu dan memilih hidup tenang setelah pensiun dini di kampung yang jauh dari pusat perkotaan.
Karena kesederhanaannya, MA Sentot kala itu pernah dijuluki oleh beberapa orang sebagai 'jenderal kere'. Sebab, selain tidak menerima gemilang pangkat dan jabatan, juga tidak mengurusi warisan dari kekayaan orang tuanya dulu.
"Tidak terima uang pensiun, ditawari pangkat bintang satu dia tidak mau. Luar biasa sangat idealis. Dia bilang saya tidak butuh itu. Dan dalam petuahnya, saya tuh lebih baik mlarat (miskin) dari pada hidup minta-minta," ungkap Alam.
(iqk/iqk)