Kota Tasikmalaya menjadi salah satu daerah yang memiliki banyak catatan sejarah perjuangan Indonesia. Baik itu sejarah kemerdekaan melawan penjajah, maupun sejarah membasmi pemberontakan yang mengganggu stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu penandanya, di Kota Tasikmalaya banyak ditemukan nama jalan yang diambil dari nama pahlawan maupun sosok perwira militer.
Salah satu dari sekian banyak jalan yang diberi nama dari sosok perwira militer adalah Jalan Mayor Utarya. Jalan sepanjang 0,372 km yang berada di pusat Kota Tasikmalaya ini membentang dari timur ke barat. Di timur bersimpangan dengan Jalan Tentara Pelajar dan di barat berbatasan dengan Jalan Pemuda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi masyarakat Kota Tasikmalaya, lokasi atau keberadaan Jalan Mayor Utarya sudah cukup dikenal. Namun, ketika ditanya siapa sosok dan kiprah Mayor Utarya, banyak masyarakat bahkan warga setempat yang belum mengetahuinya.
Dikutip dari buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang diterbitkan Kodam III Siliwangi, disebutkan bahwa Mayor Utarya adalah seorang Perwira Teritorial Brigade XIV atau Brigade C pada tahun 1949.
Utarya gugur di tangan gerombolan pemberontak DI/TII dengan cara yang brutal dan licik. Utarya ditawan dan dibunuh saat berusaha menemui Kartosuwiryo, pentolan DI/TII di daerah Cidugaleun Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya, medio Januari 1949.
Usaha Mayor Utarya menemui Kartosuwiryo untuk berunding jelas menjadi penanda bahwa dia adalah sosok perwira bernyali besar.
Kronologi peristiwa biadab yang dialami Mayor Utarya berawal dari penugasan dirinya yang ditunjuk sebagai Perwira Teritorial untuk wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya. Saat itu, pemberontakan DI/TII sedang berkecambuk, mereka telah memproklamirkan diri kemunculan negara Darul Islam.
Mayor Utarya sendiri ditunjuk menjadi perwira teritorial, mengingat dia adalah mantan Komandan Resimen Perjuangan dan sudah kenal dengan tokoh-tokoh pimpinan DI/TII yang memang berpusat di Tasikmalaya.
"MayorUtarya sekembalinya hijrah dari Jawa Tengah yang ditugaskan oleh DivisiSiliwangi untuk memulihkan TeritorialSiliwangi di Jawa Barat telah berusaha menghubungi unsur-unsur pimpinan DI diTasikmalaya," tulis bukuSiliwangi dari Masa ke Masa.
Tugas itu langsung dilaksanakan Mayor Utarya, dia langsung berusaha untuk menemui Kartosuwiryo.
Hingga pada suatu hari di bulan Januari 1949 dari Ciamis dia bertolak ke Singaparna. Dia dikawal oleh prajurit Kompi Kadar Solihat, sebuah satuan kecil yang belakangan diketahui kompi ini membelot ke DI/TII.
Di perjalanan dia mendapat informasi jika Bupati Darul Islam untuk wilayah Tasikmalaya, Ateng Jaelani sedang berada di daerah Cikeusal, sebuah Desa yang terletak beberapa kilometer ke arah selatan Singaparna.
Bupati Tasikmalaya versi Darul Islam ini, sedang turun gunung untuk menemani istrinya yang mau melahirkan. Singkat cerita Mayor Utarya berhasil menemui Ateng di rumahnya dan langsung melakukan perundingan. Namun tidak diketahui apa hasil pertemuan itu.
Yang jelas, setelah itu Mayor Utarya melanjutkan misinya untuk menemui Kartosuwiryo yang informasinya berada di Kampung Cidugaleun Kecamatan Cigalontang. Sebuah kampung dataran tinggi yang berada di pegunungan dekat Gunung Galunggung.
Perjalanan itu tak cukup ditempuh satu hari, di daerah Cibungur atau separuh perjalanan, Mayor Utarya istirahat dan menginap.
Ternyata di kampung itu banyak tentara Divisi Siliwangi khususnya anggota Batalyon Akhmad Wiranatakusumah yang ditawan DI/TII. Di sana juga Mayor Utarya bertemu dengan Adah Jaelani, sosok petinggi Darul Islam, masih bawahan Kartosuwiryo.
Mayor Utarya kemudian berkomunikasi dengan Adah Jaelani ikhwal niatnya menemui Kartosuwiryo. Akhirnya ditemani Adah, Mayor Utarya melanjutkan misinya menemui Kartosuwiryo. Tapi perjalanannya kali ini Mayor Utarya hanya dikawal oleh satu regu kecil. Pengurangan jumlah pengawal ini konon atas perintah Mayor Utarya sendiri.
Setelah menempuh perjalanan 4 hari, Mayor Utarya akhirnya sampai di tempat Kartosuwiryo. Saat itu Kartosuwiryo dikawal oleh beberapa orang, salah satunya bernama Oni. Keduanya terlibat perbincangan atau perundingan, upaya Utarya mengajak Kartosuwiryo kembali ke pangkuan NKRI, gagal.
Semua pengawal Utarya dilucuti dan ditawan. Sejak saat itu pula para pengawal Utarya tak lagi melihat keberadaan komandannya itu. Untuk sementara jejak Mayor Utarya menghilang.
Sekitar seminggu berselang, salah seorang anggota regu pengawal Mayor Utarya bernama O.Sudrajat yang semula ditawan, kemudian dipaksa diperbantukan menjadi anggota DI/TII dari Kompi I Batalyon I TII Darul Islam.
Saat berkumpul di pasukan itu dia melihat peci, kacamata dan sepatu Mayor Utarya dipakai oleh dua anggota bernama Eman dan Komar. Eman dan Komar adalah temannya sesama anggota DI/TII dari Kompi I Batalyon I TII Darul Islam.
Setelah kenal dekat dengan Eman dan Komar, O. Sudrajat kemudian mengorek keterangan bagaimana nasib Mayor Utarya. Dari keterangan keduanya, sejarah atau akhir hayat Mayor Utarya terungkap.
Berdasarkan pengakuan Eman dan Komar, saat bertemu Kartosuwiryo, Mayor Utarya sempat mengutarakan pernyataan diplomatis.
"Untuk Utarya pribadi, dengan adanya Negara Islam setuju, tetapi saya sebagai Mayor Utarya tidak setuju , karena hal itu menyalahi perintah Presiden/Panglima Tertinggi APRI," kata Utarya kepada Kartosuwiryo.
Saat itu Mayor Utarya juga mengajak agar Republik dan DI/TII bersatu dalam melawan Belanda. Bila nanti sudah tuntas memerangi Belanda, baru dilakukan lagi perundingan lebih lanjut. Ucapan Mayor Utarya itu kemudian direspons oleh Oni, pengawal Kartosuwiryo.
"Hai Utarya! kamu belum tahu bahwa Jawa Barat ini telah merupakan Negara Islam? Kalau begitu kamu masih berjiwa Republikein. Kaum Republikein itu tidak ada hak lagi untuk kembali ke Jawa Barat, karena Jawa Barat ini telah dijual oleh Soekarno, dengan alasan hijrah ke Jawa Tengah," sergah Oni.
Tidak diketahui bagaimana respons Kartosuwiryo sendiri dalam moment itu, yang jelas Oni sang pengawal itu murka dan menyuruh Eman dan Komar untuk menawan Mayor Utarya.
Mayor Utarya dibawa ke suatu rumah tanpa mengenakan pakaian, hanya celana dalam saja. Dia ditawan selama 2 hari 2 malam, selama itu pula Mayor Utarya menolak untuk mengakui kedaulatan DI/TII.
Selanjutnya Eman dan Komar mendapat perintah dari Abdul Hamid yang menjadi Komandan Kompi I Batalyon I DI-TII/SMK, untuk menghabisi Mayor Utarya.
Saat ketiganya menghampiri, Mayor Utarya sudah menyadari nasib buruk yang akan menimpanya. Dia lalu mengajukan permintaan untuk menunaikan salat tahajud dulu, tapi tak digubris Abdul Hamid dengan alasan Utarya akan segera dihadapkan ke Kartosuwiryo.
Dalam kondisi terikat tali, Mayor Utarya ditebas golok di bagian tengkuknya oleh Eman dan Komar. Dia lalu dimasukkan ke lubang yang telah disiapkan sebelumnya. Mayor Utarya gugur dalam perjuangannya mengingatkan pemberontak untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Di dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa dijelaskan pula bahwa upaya persuasif yang dilakukan TNI masih terus dilakukan. Tapi Kartosuwiryo malah mengeluarkan Maklumat No.1 NII/TII tertanggal 25 Januari 1949 yang antara lain menyatakan pasukan Siliwangi sebagai pasukan liar yang harus ditumpas.
Selanjutnya TNI melancarkan operasi militer sehingga pada akhirnya DI/TII berhasil ditumpas dan Kartosuwiryo ditangkap.