Varietas kopi liberika menjadi harta karun tersembunyi di Kabupaten Kuningan. Spesies yang punya nama latin Coffea liberica ini tergolong langka dan jarang yang membudidayakannya.
Dibilang langka karena produksinya sangat minim. Di Indonesia sendiri hasil panen kopi masih didominasi jenis lain. Antara tahun 2001 sampai 2022 perkebunan kopi di Tanah Air ditanami varietas robusta dengan luas area lahan sekitar 968,88 ribu hektar atau 79,36%. Sedangkan sisanya adalah arabika yang mencapai 251,94 ribu hektar atau 20,64%.
Data yang dipublikasikan dalam buku bertajuk 'Outlook Komoditas Perkebunan Kopi' tersebut, telah menunjukan jika liberika hanya masuk ke bagian terkecilnya. Jadi jangan heran bila banyak orang awam tidak begitu mengenal varietas ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beruntungnya di sejumlah daerah masih ada segelintir orang yang merasa terpanggil untuk merawat kembali eksistensi kopi liberika. Salah satunya di Desa Cipasung, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. Sebuah kedai kecil yang mengadopsi nama dari spesies ini, menjadi sentra pengembangan kopi liberika.
Proses pengembangan tersebut tidak hanya sebatas membudidayakan benihnya saja. Kopi liberika bahkan diolah melalui sensori ketat, dimulai dari perkebunan sampai pasca panen. Hasilnya kopi liberika naik kelas menjadi komoditas premium yang diminati para pecinta kopi.
Di Desa Cipasung sendiri, sosok yang memiliki andil besar dalam upaya budi daya kopi jenis ini adalah Taufik Hernawan. Sebagai Ketua Kelompok Tani Kopi Liberika, dia berupaya menggali informasi seputar seluk beluk liberika. Usahanya itu dimulai sejak tahun 2017 lalu.
Didorong semangat yang tinggi, Taufik rela mendatangi satu per satu petani kopi untuk mempelajari liberika. Nasib mujur akhirnya menghampiri Taufik. Berkat jerih payahnya tersebut, kini dia berhasil memperoleh bibit unggul spesies tanaman ini.
"Kita mulai berjalan sejak 2017. Progres sampai hari ini, berbagai langkah kita lakukan termasuk ke balai sumber benih provinsi juga mereka merespon dengan baik. Untuk sementara ini, kalau barometer dan parameter liberika itu ke kita. Apalagi Kabupaten Kuningan sudah jelas. Jawa Barat saja meliriknya ke kita," kata Taufik kepada detikJabar belum lama ini.
Taufik membeberkan kopi liberika dikenal dengan cita rasanya yang unik. Kalau diolah secara benar, kopi ini mampu memunculkan aroma khas nangka. Ciri tersebut juga melekat pada julukannya yang sering disebut kopi nongko oleh masyarakat Jawa.
Selain langka, uniknya lagi liberika pernah dicap sebagai kopi yang tidak enak. Padahal dari segi ekonomi, liberika punya potensi cukup besar.
"Kopi liberika cukup berbeda. Mulai dari pohon, buah, bentuk daun sampai cita rasanya. Lebih unggul di fruit, punya rasa buah. Tapi rasa buahnya kaku, hanya nangka. Kita coba memodifikasi lagi. Bagaimana kita ciptakan rasa lain. Kita treatment dan olah lagi. Akhirnya kita berhasil mematahkan stigma yang melekat jika kopi ini tidak enak," ujar Taufik.
Tak hanya rasa, kopi liberika sangat tahan terhadap serangan penyakit. Ini menjadi keunggulan yang tak dimiliki arabika dan robusta. Menurut Taufik, karakteristik lahan apapun bisa ditanami liberika. Misalnya lahan gambut atau rawa.
"Bedanya perawatan liberika begini, varietas ini mampu ditanam di kondisi panas. Bandelnya lagi, dia bisa tumbuh di lahan gambut atau rawa," ungkapnya.
Ikhtiar untuk mengangkat kembali pamor kopi liberika yang sudah lama redup akhirnya membuahkan hasil. Dalam setahun, Taufik dan kelompoknya mampu memanen kopi liberika di kisaran angka 1-2 ton. Jumlahnya mungkin masih sedikit, tapi diakuinya permintaan akan produk liberika cukup tinggi di pasaran.
Agar dapat memenuhi kebutuhan pasokan liberika, Taufik tengah merancang roadmap budi daya kopi tersebut. Dia memberikan benih terbaik kepada petani di kampungnya. Nantinya mereka akan menanam bibit itu di kebunnya dengan sistem demplot atau mini plantation. Lalu saat panen tiba, hasilnya dikumpulkan untuk diolah. Agaknya Taufik ingin memastikan proses pengembangan liberika dari hulu ke hilir berjalan dengan baik.
"Kita tidak jual dalam bentuk biji kering, karena kita jual yang sudah diolah berupa roast bean serta bubuk. Kita keterbatasan bahan baku, makanya untuk liberika sendiri jual terbatas. Tidak bisa sporadis. Supaya semua orang merasakan. Apalagi permintaan pasar itu tinggi, yang beli antre. Kita sedang fokus budi daya dan perkebunan. Kita bangun dulu sumbernya," jelasnya.
Gairah Taufik untuk memajukan varietas kopi liberika ternyata bukan sekadar usaha mencari cuan saja. Ada alasan mendasar di balik kerja kerasnya itu.
Di Kecamatan Darma, kata Taufik, kopi liberika telah lama ditanam. Tepatnya kehadiran varietas asal Afrika Barat itu merupakan buah tangan dari sistem tanam paksa yang diterapkan Belanda saat zaman penjajahan dulu.
![]() |
Buktinya, di kawasan tersebut masih berdiri beberapa pohon indukan kopi liberika yang usianya di atas 80-100 tahun. Meski tersedia, namun kondisinya kurang terawat.
"Spesies kopi di dunia yang baru diakui ada tiga. Arabika, robusta dan liberika. Liberika ini adalah kopi yang orang tidak kenal. Ternyata tanaman ini menjadi endemik di beberapa negara. Alasannya banyak masyarakat yang tidak mau menanamnya. Salah satunya di desa kami juga, dahulunya di Kecamatan Darma itu ada lahan pertanian sekitar 10 hektar bekas perkebunan Belanda yang rata-rata usia pohon indukannya di atas 80-100 tahun," tuturnya.
Ya, nilai historis tersebut yang sedang dirawat oleh Taufik. Kendati begitu, baginya kopi liberika tidak hanya menjadi benda usang peninggalan kolonial. Taufik merasakan betul potensi komoditas ini.
"Saya coba ke masyarakat, karena saya yakin bahwa di Desa Cipasung dulunya banyak perkebunan liberika. Akhirnya mencari informasi ke orang-orang dahulu. Ternyata memang banyak yang menanam di sini. Kenapa tidak ditanam lagi dan diganti robusta? Ternyata liberika ini punya cita rasa tersendiri," ungkapnya.
Kopi paling tidak enak, begitulah stigma negatif yang masyarakat sematkan pada kopi liberika. Taufik menyebut karena hal inilah petani di desanya lebih memilih arabika dan robusta.
Alasan klasik yang membuat kopi liberika dijuluki demikian, mungkin saja karena petani zaman dulu tidak tahu cara untuk mengolahnya. Padahal, di tangan kelompoknya kopi liberika dapat dikembangkan menjadi kopi premium. Oleh sebab itu, Taufik berharap varietas ini dapat lebih dikenal masyarakat luas.
"Kenapa enggak enak, mungkin mereka metode pengolahannya belum bisa. Saya sebagai masyarakat sini, memberanikan diri untuk membudidayakan. Walaupun sekarang masih sedikit, kita tetap mengangkat liberika sebagai ikon desa kami," tutupnya.
Simak Video "Video: Kopi Panas atau Dingin, Mana yang Lebih Sehat?"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)