Di pelosok Desa Cipasung, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan, biji 'emas hitam' dibudidayakan. Benihnya disemai dan dirawat layaknya seorang anak. Kesannya sekilas mirip materi iklan kecap di televisi. Tapi kenyataannya memang demikian.
Emas hitam asal Desa Cipasung itu disebut liberika, bukan malika. Selain namanya, jenisnya pun tentu berbeda. Sebab, komoditas bernilai ekonomi ini adalah satu dari tiga spesies kopi yang diakui selain robusta dan arabika. Namun pamornya di pasaran tidak sepopuler kerabat dekatnya.
Di mancanegara nama lain liberika adalah Excelsa atau Coffea excelsa. Sedangkan orang Jawa menyebutnya kopi nongko. Dilafalkan begitu karena bijinya secara alami menghasilkan aroma nangka yang khas. Ini mungkin terjadi lantaran lapisan buahnya pada fase cherry lebih berpori sehingga mendukung proses tersebut. Cita rasa manisnya disebut mampu bersaing dengan arabika.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehadiran liberika sebagai emas hitam di Kabupaten Kuningan tidak muncul begitu saja. Ada proses panjang dan kisah kelam mengenai eksploitasi penduduk lokal oleh para kolonis, yang mana nasib pribumi pada masa itu tidak ubahnya rasa seduhan kopi tanpa gula. Pahit!
Membawa Penderitaan untuk Rakyat
Mari mundur sejenak ke belakang, mengenang momen guram ketika masyarakat kita diperas keringatnya untuk mengorbitkan tanaman yang satu ini.
Semua berawal dari upaya perusahaan dagang asal Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang bernafsu untuk memonopoli pasokan barang ke pasar Eropa. Tak hanya rempah, di tanah jajahannya mereka mulai melirik komoditas lain agar memuluskan tujuannya. Tepatnya pada 1640, ketika kopi pertama kali dijual di Amsterdam.
Belanda menyadari potensi besar kopi. Apalagi permintaan pasar terus meningkat, sampai mereka rela mengimpor komoditas ini dari Yaman serta India. Lambat laun Belanda ikut ambil bagian untuk memproduksi kopi di tanah koloni. Sasaran utamanya adalah bumi Nusantara.
Tahun 1696, Belanda memulai ekspansi kopinya di Indonesia. Berkat Adrian Van Ommen, benih hidup dari India akhirnya didaratkan ke Batavia yang saat itu menjadi pusat urusan administratif VOC. Tiga tahun berikutnya upaya pengembangan bibit ini membuahkan hasil. Banjir pujian terus berdatangan mana kala sampel pertama varietas Arabica Java dianggap sebagai biji terbaik dalam sebuah acara lelang di Amsterdam Botanical Garden.
Melihat respons itu, tentunya semakin menyulut ambisi pihak kolonial untuk meraup pemasukan setinggi-tingginya dari budi daya kopi. Bahkan meski VOC menemui masa kebangkrutannya di akhir 1799, niatan tersebut tetap tak terbendung.
Dorongan untuk menjadi penyuplai biji kopi terbesar di benua biru terus digaungkan. Imbasnya orang sipil waktu itu dikorbankan. Mereka dipaksa bekerja sebagai buruh perkebunan. Jangan tanya kesejahteraan, karena hampir mayoritasnya hidup di bawah garis kemiskinan.
![]() |
Penelitian bertajuk 'The Native Policies of Sir Stamford Raffles in Java and Sumatra: An Economic Interpretation (1975)' karya John Sturgus Bastin, setidaknya dapat menggambarkan bagaimana kondisi penduduk pribumi tak menunjukkan perubahan berarti. Sengsara dan terpuruk. Di Cirebon misalnya, kegiatan komersialnya masih dipengaruhi oleh sistem eksploitasi ala VOC. Ini pun berlaku juga di Kabupaten Kuningan, mengingat wilayahnya masuk ke dalam Karesidenan Cirebon.
Penderitaan rakyat semakin bertambah kala Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van den Bosch memberlakukan cultuurstelsel (tanam paksa) di seluruh wilayah jajahan pada 1830. Kebijakan ini begitu memberatkan. Pasalnya warga diwajibkan menyisihkan 20% tanahnya guna ditanami komoditi ekspor. Termasuk kopi di dalamnya. Mirisnya hasil panen itu akan dibeli kembali, tapi harganya sudah ditentukan secara sepihak oleh pemerintah kolonial.
"Kenyataannya sangat pahit. Pengaruh sistem tanam yang kedua ini lebih dalam menusuk kehidupan masyarakat desa. Contohnya di Kuningan," kata Dosen Sejarah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tendi kepada detikJabar belum lama ini.
Sebenarnya selama dekade 1800-an, pemerintah kolonial mengandalkan tanaman nila untuk menambah pundi-pundi kas negaranya. Pasca pembukaan perkebunan kopi secara masif, kondisinya justru berbalik. Tendi menyebut Belanda akhirnya enggan meneruskan proyek penanaman tumbuhan tersebut.
Lahan subur di lereng Gunung Ciremai yang semula adalah surga tanaman nila perlahan dialihfungsikan menjadi perkebunan kopi. Wilayah dataran tinggi lainnya yang membentang dari Darma hingga Subang ikut ditanami benih kopi. Sebaran ini tak hanya di Kuningan saja, melainkan hampir semua kawasan potensial di Jawa Barat masuk dalam mega proyek tersebut.
Puncak kejayaan kopi yang dikelola pemerintah Hindia Belanda terjadi pada 1850-an. Kala itu istilah beken 'A Cup of Java' atau seduhan kopi dari Jawa ikut meramaikan masa keemasan tersebut.
Merujuk catatan sejarawan tanam paksa C. Fasseur, menurut Tendi, hanya kurun waktu sepuluh tahun cuan pemerintah kolonial semakin menggelembung karena hasil dari Cultuurstelsel begitu menguntungkan. Pada 1830, pendapatan penjajah hanya berkisar 12,9 juta gulden, lalu tahun 1840 menjadi 74,2 juta gulden. Omzet sektor perkebunan ini terus meroket hingga ratusan juta gulden di tahun 1857.
Pesatnya permintaan kopi juga dibarengi dengan semakin beratnya beban yang ditimpakan kepada masyarakat. Penggalakan penanaman komoditas secara masif membuat orang dari Cirebon harus beranjak ke dataran tinggi di Kuningan untuk membabat hutan.
"Tantangannya lebih berat. Perbedaan iklim Cirebon yang lebih panas, semakin membuat rakyat sengsara. Dukungan akomodasi dan logistik yang ala kadarnya membuat kesehatan mereka terus terganggu. Tingkat kematian buruh perkebunan menjadi sangat tinggi. Di samping itu terdapat pula ancaman binatang buas," papar Tendi.
Di tengah keterpurukan penduduk pribumi, industri kopi di Hindia Belanda mulai mengalami kemerosotan. Spesies arabika yang sangat diandalkan akhirnya takluk di pasaran. Tahun 1876 menjadi mimpi buruk bagi pihak kolonial karena produksi kopi turun sampai 38%. Biang keladinya adalah serangan wabah jamur Hemileia vastatrix yang mengganggu rantai suplai dari Jawa ke Amsterdam.
Namanya penjajah yang ingin mengeruk hasil bumi di tanah koloninya, pemerintah Hindia Belanda tak tinggal diam. Mereka memutar otak agar roda bisnisnya terus berjalan. Varietas kopi terbaru akhirnya dihadirkan. Jenis yang sudah disebutkan di awal, liberika si emas hitam mulai diperkenalkan.
Dalam laman Plant Resources of South-East Asia, disebutkan kopi liberika adalah varietas yang dikembangkan di kawasan Afrika Barat, khususnya Liberia. Pada akhir abad ke-19, liberika mendapatkan popularitasnya secara signifikan. Dibandingkan arabika, spesies ini lebih tahan dari serangan parasit.
Pada periode yang sama, pemerintah Hindia Belanda menyebarkan benih liberika untuk ditanam di sejumlah daerah, salah satunya Kabupaten Kuningan. Pusat pengembangannya ada di Kecamatan Darma.
Sumber literatur lain menyebut, pamor kopi liberika sebagai komoditas ekspor hanya bertahan sebentar karena wabah daun karat kembali menyerang. Tepatnya di tahun 1907, perkebunan kopi ditanami varietas lain. Itu merupakan kopi robusta yang dikenal lebih tahan penyakit.
Meski sudah kehilangan taji di mata pemerintah Hindia Belanda, kopi liberika secara perlahan masih dikembangkan di lahan perkebunan rakyat. Secara turun temurun, liberika tetap dipertahankan dan kini menjadi salah satu warisan yang perlu dijaga.
Eksistensi Kopi Liberika di Kabupaten Kuningan
Sebuah kedai kecil di Desa Cipasung, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan menyuguhkan menu tak biasa. Dari deretan racikan kopi yang ditawarkan, terdapat satu jenis biji kopi yang mungkin terdengar asing di telinga orang awam. Biji tersebut adalah liberika, salah satu varietas kopi yang cukup langka di pasaran.
Tak hanya menyajikan minuman, Kedai Kopi Liberica, begitu orang sana menyebutnya, menjadi sentra pengembangan varietas tersebut di Kabupaten Kuningan. Artinya, jejak warisan Belanda yang satu ini masih bertahan di Kota Kuda.
Sosok di balik proses pembudidayaan hingga pengolahan kopi liberika di tempat ini ialah Ketua Kelompok Tani Liberika, Taufik Hernawan. Sejak 2017, dia bersama kelompoknya terus berusaha merawat eksistensi biji emas hitam tersebut.
Punya nilai historis, itulah alasan mendasar Taufik mau mencoba mengangkat kembali pamor kopi liberika yang sudah lama redup. Baginya, varietas ini bukan sebatas barang usang peninggalan Belanda, tetapi dia melihat potensi besar dari liberika.
Selaras dengan catatan sejarah yang mendokumentasikannya, Taufik menerangkan, perkebunan kopi liberika yang ditanam para kompeni masih tumbuh di Kecamatan Darma. Pada perkebunan itu rata-rata pohon indukannya berusia di atas 80-100 tahun.
"Liberika ini adalah kopi yang orang tidak kenal. Ternyata tanaman ini menjadi endemik di beberapa negara. Alasannya banyak masyarakat yang tidak mau menanamnya. Salah satunya di desa kami juga, dahulunya di Kecamatan Darma itu ada lahan pertanian sekitar 10 hektare bekas perkebunan Belanda yang rata-rata usia pohon indukannya di atas 80-100 tahun," ungkap Taufik saat berbincang dengan detikJabar.
![]() |
Kendati masih aktif berbuah, Taufik mengaku bila kondisi perkebunan peninggalan Belanda tersebut tidak terawat. Oleh karenanya, ia berinisiatif menelusuri, mencari dan mencoba mengembangkan kopi liberika dengan metodenya sendiri.
Selama masa penelusuran itu, Taufik menemukan satu fakta yang cukup mencengangkan. Di aman alasan petani tidak menanam kopi liberika adalah karena cita rasanya yang dianggap kurang enak. Meski rasanya identik dengan nangka, tapi bagi sebagian orang menyeruput olahan dari spesies ini belum menjadi hal lumrah.
"Saya coba ke masyarakat, karena saya yakin bahwa di Desa Cipasung dulunya banyak perkebunan liberika. Akhirnya mencari informasi ke orang-orang dahulu. Ternyata memang banyak yang menanam di sini. Kenapa tidak ditanam lagi dan diganti robusta? Ternyata liberika ini punya cita rasa tersendiri. Sebenarnya dibandingkan dengan dua varietas lain, liberika paling enggak enak," imbuhnya.
Sejatinya stigma yang melekat pada kopi liberika dapat dipatahkan. Buktinya melalui proses pengolahan sensori dari perkebunan sampai pasca panen, akhirnya liberika dapat naik kelas menjadi kopi premium.
"Kenapa enggak enak, mungkin mereka metode pengolahannya belum bisa. Saya sebagai masyarakat sini, memberanikan diri untuk membudidayakan. Walaupun sekarang masih sedikit, kita tetap mengangkat liberika sebagai ikon desa kami," paparnya.
Ada rasa bangga yang melekat pada diri Taufik. Sebab, berkat kopi liberika juga berbagai macam ide dan inovasi akhirnya muncul di kepalanya.
Taufik berpikir jika pengembangan kopi liberika tak melulu harus mengarah ke produk jadi. Ini memang penting, namun karena memiliki nilai historis keberadaan spesies tersebut berpeluang membuka sektor usaha baru yakni agrowisata berbasis edukasi.
"Ada nilai historis dan wisata. Kenapa kedai kita tersembunyi di sini, tapi orang-orang dari luar kota pada datang. Kami siapkan semua agar mereka mengenal varietas ini. Jadi orang ke sini tahu, bukan saja menyeruput kopi tapi bisa belajar soal liberika. Untuk sementara ini, kalau barometer dan parameter liberika itu ke kita. Apalagi Kabupaten Kuningan sudah jelas. Jawa Barat saja meliriknya ke kita," ucap dia.
Taufik menaruh harapan besar pada kopi liberika. Sembari merawat warisan Belanda itu, dia dan kelompok petani di Desa Cipasung memiliki keinginan agar liberika dapat bersanding dengan ikon Kota Kuda.