Jika menelusuri jalan Cipaganti, sejauh mata memandang banyak bangunan lawas yang masih terawat apik dan asri. Salah satu ciri khasnya pada bagian atap yang mengerucut ke atas, seperti piramida.
Jalan ini memiliki banyak sejarah bagi kota Bandung. Seperti adanya masjid tertua Masjid Mungsolkanas dan Masjid Cipaganti yang dibangun oleh Schoemaker, arsitek yang merancang beberapa bangunan bersejarah lainnya di Kota Kembang ini.
Salah satu bangunan yang menyimpan cerita ialah Dapur Dahapati di jalan Cipaganti nomor 146, Bandung. Letaknya persis seberang Pom Bensin kecil di jalan Cipaganti. Rumah makan ini memiliki tampilan yang cukup sederhana. Terdapat satu menu andalan yang membuat pengunjung dari luar kota pun rela ke Bandung demi mencicipinya. Ialah Sop Buntut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapa sangka, rupanya resep Sop Buntut Dapur Dahapati sudah terjaga sejak tahun 1932. Bahkan, rumah makan tersebut mulanya jadi tempat Pangeran Siam atau Pangeran Thailand menghabiskan sisa hidupnya. Kala itu, Siam merupakan nama negara lama Thailand termasuk negara-negara pengikutnya yaitu Kamboja, Lanna, Laos, Pegu & sebagian kecil Malaysia.
"Dapur Dahapati menyimpan cerita tentang Pangeran Siam bernama Pangeran Paribrata. Ia adalah anak laki-laki ke-13 dari Raja Rama V. Meskipun laki-laki dan bisa memegang tahta, namun tidak mungkin jadi putra mahkota karena ia adalah anak ke-13. Tapi Pangeran Paribrata ini pintar, sehingga menduduki jabatan yang cukup strategis," ujar Selviana Nitami, story teller Cerita Bandung dalam walking tour beberapa waktu lalu.
![]() |
Selvi menjelaskan berdasar literatur yang dibaca, Pangeran Paribrata bersama istri, lima anak, dan beberapa Asisten Rumah Tangga (ART) nya berkunjung ke Bandung. Pangeran mengatakan akan tinggal di Bandung pada Pemerintah setempat. Hal ini disambut baik, bahkan mereka menawarkan Pangeran Paribrata rumah di daerah Cipaganti yang kala itu daerahnya sedang dibangun.
"Pada tahun 1930-an, Pangeran Paribrata datang ke Bandung. Pemerintah Gementee merasa tersanjung karena beliau ingin menghabiskan waktu pensiun di sini. Maka mereka minta Pangeran milik rumah di daerah Cipaganti yang sedang pada dibangun. Akhirnya dia milih dua rumah di kawasan jalan Cipaganti nempel jalan Lamping. Rumah itu bertuliskan Dahapati dan sebelahnya itu Preseban," katanya.
Kawasan Cipaganti terkenal dengan rumah yang memiliki halaman luas dan bangunan yang cantik, memberi kesan bahwa ini adalah salah satu daerah elite, meski bukan yang paling elite di tahun itu.
"Kawasan Cipaganti ini cukup istimewa. Dulu jalan Njlandweg (Jalan Cipaganti atau kini Jalan RA Wiranatakusumah II) itu kayak jalan hidup banget. Dulu yang tinggal di sini orang Hindia Belanda punya asisten, mereka menganut Siesta atau jam tidur siang. Jadi selain ada jam istirahat 12.00-13.00 WIB, juga ada jam tidur siang 14.00-15.00 WIB. Pas jam Siesta, jalan di ujung Setiabudi ditutup sampai ke Cipaganti untuk menghindari suara pedati yang bisa mengganggu. Jadi bisa dibilang di sini kawasan elite, tapi bukan yang paling elite. Kawasan paling elite jaman dulu adalah sekitar jalan Riau," kata Selvi.
Rupanya, Pangeran Paribatra menetap di Bandung karena diasingkan. Pada tahun 1932, Pangeran Paribrata menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata dan Menteri Dalam Negeri Kerajaan Siam yang saat itu dipimpin kakaknya, Raja Prajadhipok (Rama VII).
Di tahun yang sama, kudeta sedang terjadi di Siam. Kudeta militer terjadi di tahun 1932 yang merupakan Revolusi Thailand, sehingga mengubah Thailand Monarki Absolut menjadi Monarki Parlementer. Kedudukan Pangeran Paribrata sebagai pejabat saat itu dianggap mengancam oleh Khana Ratsadon, kelompok yang mengorganisir kudeta 1932.
"Itu sejarah besar Thailand. Karena Raja Rama VII berlibur ke Inggris, Prince Paribatra menjadi pejabat nomor 1 di Kerajaan. Jadi Prince Paribatra yang ditangkap di Istana Bang Khun Prom, kediamannya. Kemudian diasingkan ke Bandung," jelas Tony Iskandar, menantu Kraba Nilwongse (salah satu ART yang diboyong ke Bandung), pada detikJabar baru-baru ini.
![]() |
Ada alasan mengapa kota Bandung dipilih oleh kerajaan Siam sebagai tempat tinggal terakhir bagi putra ke-13 nya. Bandung memiliki kedekatan emosional yang baik dengan kerajaan Siam. Dulu, Curug Dago menjadi tempat meditasi bagi sang ayah, Raja Rama V atau Raja Chulalongkorn.
Curug Dago dianggap sebagai salah satu curug terbaik dan Raja Rama V sering bertandang ke Bandung. Di sana juga terdapat dua batu besar yang diberi atap, konon katanya dulu menjadi tempat meditasi Raja Rama V dan Raja Rama VII.
Singkat cerita, Kraba Nilwongse cinta lokasi dengan warga lokal bernama Durachman, pria asal Cianjur yang pintar memasak. Salah satu menu andalannya ialah Sop Buntut, yang kemudian jadi menu favorit Pangeran Paribrata.
Sayangnya tak lama kemudian, sekitar Januari 1944, Pangeran Paribrata tutup usia.
"Ia meninggal di Bandung, dan memang saking cintanya dengan Bandung ia sudah mempersiapkan lahan di Lembang (jalan Setiabudhi) untuk villa dan makamnya. Tapi biar bagaimanapun ia tetap seorang bangsawan, jadi meski diasingkan waktu meninggal tetap ada upacara militer sebagai penghormatan dan akhirnya dikremasi di sana (Thailand)," tutur Selvi.
Disebutkan dalam koran Het Nieuwsblad voor Sumatra edaran 29 September 1948, bahwa pemindahan pemakaman Pangeran Siam dari Bandung menuju ke negara asalnya dilaksanakan dengan sakral. Peti mati ditutup dengan Bendera Siam. Bendera berkibar setengah tiang di sepanjang rute menuju bandara Andir, diiringi lagu kebangsaan Siam.
Kemudian koran Neuwes Gier pada Senin, 27 September 1948 menyebut Putra Mahkota Ajoena Chumbhot dari Siam sebagai kepala misi, bertugas memindahkan dari pemakaman kota Van Bandung, sisa jasad Pangeran Paribrata yang meninggal saat masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Sepeninggal Pangeran Paribrata, rumah Dahapati yang dulu ditinggali olehnya dan keluarga diberikan ke Kraba Nilwongse dan Durachman, sementara rumah Preseban yang memiliki arti nama cottage atau penginapan indah, diberikan pada anak-anaknya.
![]() |
"Rumah Dahapati kemudian dibuat restoran Dapur Dahapati dengan menu Sop Buntutnya yang terkenal, sementara rumah Preseban diberikan ke anak-anaknya. Namun kemudian rumah Preseban dijual dan kini dijadikan Taman Kanak-kanak yang terkenal bagus. Dapur Dahapati juga jadi destinasi turis Thailand saat ke Bandung," cerita Selvi.
Rumah Dahapati dulunya memiliki halaman yang sangat luas, bahkan SPBU yang kini ada di seberangnya itu dulunya masih halaman rumah Dahapati dan Preseban. Hingga kini, bangunan keduanya masih terjaga dengan baik, hanya halamannya sudah menjadi sempit karena adanya pembangunan jalan raya dan SPBU.
"Halaman yang luas biasanya digunakan Pangeran Paribrata untuk tempat bercocok tanam. Selain suka bercocok tanam dan meditasi, Pangeran juga suka bermain musik. Bahkan ia membuat sekitar 40 lagu selama 12 tahun hidup di Bandung," kata Selvi menutup cerita.
(aau/yum)