Asa Petani Kembalikan Surga Kopi Tanpa Kesengsaraan di Priangan

Asa Petani Kembalikan Surga Kopi Tanpa Kesengsaraan di Priangan

Sudirman Wamad - detikJabar
Minggu, 12 Mar 2023 17:30 WIB
Proses pengolahan biji kopi Puntang
Proses pengolahan biji kopi Puntang (Foto: Istimewa/Dok Ayo Sutedja)
Bandung -

"Cup of Java, cup of Java," teriak Ayi Sutedja, petani kopi asal Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jabar. Ayi menunjukkan kopi di tanah Jawa, khususnya Priangan berhasil menguasai dunia di zaman Hindia Belanda.

Ayi satu dari petani kopi asal Bandung yang sadar bahwa Priangan adalah 'surga' bagi kopi kelas dunia. Kalimat cup of Java itu menjadi penyemangatnya untuk mengonservasi hutan Puntang, yang sebelumnya rusak kemudian ditanami kopi.

Cup of Java merupakan istilah lain untuk menyebut kopi. Orang barat pada zaman dulu, menyebut kopi dengan istilah itu. "Ya (cup of Java) untuk menyebut kopi. Belanda sampai bisa membiayai dan membangun negaranya dari kopi, salah satunya. Dari kopi, kita ini punya potensi ya," ucap Ayi saat berbincang dengan detikJabar, Minggu (12/3/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain sebagai petani, Ayi dikenal sebagai pelatih kompetensi para petani kopi. Ia selalu hadir dalam berbagai kegiatan, tak hanya di Tanah Priangan atau Jabar, Ayi juga hadir di berbagai daerah lainya. Ayi memutuskan untuk mengembangkan kopi Puntang pada 2012. Hingga akhirnya aroma kopi Puntang bisa tercium ke negeri Paman Sam, hidung Presiden Jokowi, dan negara lainnya.

Kendati demikian, ia mengaku petani kopi masih belum sejahtera. Ayi tak patah semangat. Sebab, ia mengawali gerakan konservasi kopi ini melalui pendekatan historis. Ia mengampanyekan soal kejayaan kopi masa lalu, meski banyak penderitaan pada waktu. Sehingga, butuh proses untuk mengembalikan kejayaan kopi priangan.

ADVERTISEMENT

"Waktu itu hutan di Puntang rusak karena sayur dan lainnya. Saya sampaikan soal sejarah kopi di Jawa, khususnya Priangan ya. Bahwa dulu, Jawa adalah surganya kopi. Tapi, itu luntur. Itu yang ingin kita kembalikan," ucap Ayi.

Pekerja memecah kopi dengan mulut di suatu pabrik di PrianganPekerja memecah kopi dengan mulut di suatu pabrik di Priangan Foto: (Circa 1910/Leiden Digital Collection)

"Kita punya alam yang subur, Kata tanahnya, tanah kita ini surga. Berati, aroma kopi dari sini adalah aroma surga," kata Ayi menambahkan sembari tertawa.

Pegiat kopi itu sangat yakin, Priangan bisa kembali memproduksi kopi-kopi yang mampu menaklukkan dunia. Kopi yang berjaya tanpa menyengsarakan petaninya.

"Semangat yang kita bangun adalah dari leluhur kita. Bukan hanya soal uang. Ini soal kebanggaan, tradisi, dan warisan," ucap tutur Ayi.

Kopi Gunung Puntang yang diproduksi Ayi pernah dinobatkan sebagai yang terbaik di dunia dari Presiden Jokowi. Penghargaan internasional di ajang Speciality Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat pada 14-17 April 2016 lalu pun disabet oleh kopi ini.

Biji kopi yang memiliki nilai filosofis sebagai wujud syukur atas keberkahan alam Gunung Puntang ini sudah dibudidayakan sejak 2007 di lahan seluas 270 hektare. Kopi ini memiliki citarasa manis dan beraroma floral.

Sementara itu, dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia: 1984) yang ditulis Haryoto Kunto menjelaskan tentang hasil sistem tanam paksa yang diterapkan Hindia Belanda. Haryoto menuliskan menurut catatan hasil tanam paksa selama 40 tahun, Pemerintah Hindia Belanda meraup cuan sebesar 823 juta gulden.

Sedangkan De Louter mencatat, keuntungan yang didapat Belanda lewat tanam paksa selama tahun 1840-1879 adalah sebesar 781 juta gulden. Artinya, dalam setahun 22 juta gulden. Dan, tujuh per sembilannya itu berasal dari hasil tanam kopi.

Ayi bersama kelompok petani kopi di Puntang terus mendorong ekosistem budaya ngopi terbentuk. Ia berharap kopi bisa kembali berjaya.

(sud/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads