Memori kelam menancap dalam ingatan petani kopi di Kabupaten Bandung, Jabar. Ya, memori tentang sistem tanam paksa yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Petani kopi pada masa itu dieksploitasi. Bagaimanakah nasibnya kini?
Petani dan pegiat kopi Gunung Puntang, Kabupaten Bandung Ayi Sutedja menjelaskan soal kondisi petani kopi saat ini. Ayi merasa petani kopi belum mencapai sejahtera. Namun, kondisinya lebih baik dibandingkan 10 tahun silam.
"Ya sekarang, kalau menurut saya menuju sejahtera. Baru menuju (belum) sejahtera," ucap Ayi saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (9/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayi memaparkan indikator yang bisa mendongkrak kesejahteraan petani. Saat ini harga jual kopi dari petani mulai bersahabat. Kemudian, permintaan kopi makin banyak, tak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, melainkan untuk ekspor juga.
"Terus, kompetensi petani sudah naik sekarang. Dulu cara bertani yang tradisional, sekarang sudah mulai berkembang karena begitu banyak pelatihan. Petani juga sudah mulai tak hanya menjual bahan mentah atau cherry (buah kopi), tapi biji kopinya, atau lainnya sudah melalui proses dulu," kata Ayi.
![]() |
Peningkatan kompetensi petani itu dinilai menunjang kesejahteraan. Petani di Bandung kini sudah mulai memetik buah kopi yang sudah merah. "Dulu petik itu sembarangan. Asal petik. Sekarang sudah mengerti, pengetahuan mereka bertambah. Menjual mentah itu rugi timbangan dan pohon juga," kata Ayi yang juga kerap diundang sebagai pembicara dalam pelatihan petani kopi.
Ayi mengaku mulai bergerak mengonservasi kawasan Puntang menjadi ladang kopi sejak 2012. Kala itu, ia tergerak untuk kembali menjadikan Jabar sebagai surganya kopi. Sebab, lanjut Ayi, Belanda kala itu bisa membiayai negaranya dengan kopi yang ditanam di Jawa, khususnya Jabar.
Ayi kini memiliki tiga hektare kebun kopi. Setiap panen menghasilkan satu ton kopi. Saat pertama terjun menjadi petani kopi, dikatakan Ayi, harga buah kopi hanya Rp 2.500 per kilogram.
"Sekarang sudah di kisaran Rp 14 ribuan. Jauh sekali dengan zaman awal saya memulai," ucap Ayi.
Ayi optimis kesejahteraan petani bisa lebih meningkat. Sebab, dari hasil kajiannya, masih banyak celah bagi petani untuk meningkatkan kompetensinya.
"Belum semua petani menjual bahan baku (biji kopi), bahan mentah juga masih dijual. Di sisi lain permintaan kan banyak," kata Ayi.
Sekadar diketahui, kopi Gunung Puntang yang diproduksi Ayi pernah dinobatkan sebagai yang terbaik di dunia dari Presiden Jokowi. Penghargaan internasional di ajang Speciality Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat pada 14-17 April 2016 lalu pun disabet oleh kopi ini.
Biji kopi yang memiliki nilai filosofis sebagai wujud syukur atas keberkahan alam Gunung Puntang ini sudah dibudidayakan sejak 2007 di lahan seluas 270 hektare. Kopi ini memiliki citarasa manis dan beraroma floral.
Sekadar diketahui, Hindia Belanda menerapkan sistem 'tanam paksa' atau cultuurstelsel di Priangan.
Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia: 1984) menceritakan tentang upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk menutupi kosongnya kas karena 'Perang Jawa'. Haryoto mengutip tulisan de Graaf, Belanda melawan Pangeran Diponegoro pada 1825-1830. Perang Jawa ini menguras kas Pemerintah Hindia Belanda sebesar 20 juta gulden.
Awalnya, Belanda melirik cara yang digunakan Inggris di bawah komando Raffles dalam mencari uang, yakni mendirikan perkebunan pemerintah di wilayah Priangan, untuk bertanam kopi, sebagaimana telah dilaksanakan sejak awal Abad ke-18. Dan, menerapkan sistem 'pajak tanah' (Landrentestelsel) yang pernah dilakukan oleh Inggris selama penjajahannya di Pulau Jawa.
"Namun ternyata, Pemerintah Kerajaan Belanda (Raja Willem I) lebih tertarik pada rencana yang diusulkan oleh Van den Bosch dengan konsep tanam paksa (cultuurstelsel) yang terkenal itu. Tanam paksa terdiri dari lima pokok aturan yang sepintas, lalu aturannya tampak tidak begitu berat. Lebih ringan ketimbang pajak tanah dari Raffles," tulis Haryoto Kunto seperti dikutip detikJabar, Kamis (9/3/2023).
(sud/yum)