Rakyat merasakan kegetiran di balik kejayaan kopi di Jabar. Sistem tanam paksa yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda betul-betul mengeksploitasi rakyat. Hingga memunculkan budaya keseharian rakyat yang unik, khususnya Bandung.
Di Bandung, ajakan atau budaya 'ngopi' bukanlah makna sebenarnya menyesap kopi. Kumpul-kumpul tanpa minum kopi, hanya berupa cemilan dan minuman biasanya pun bisa disebut sedang ngopi. Budaya ini muncul karena kehidupan masyarakat Priangan, khususnya Bandung yang sangat dekat dengan kopi.
Kedekatan rakyat Priangan dengan kopi ini tentu karena sistem tanam paksa cultuurstelsel. Hal itu diceritakan Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia: 1984).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Begitu berpaut erat, usaha membudidayakan tanaman kopi dengan kehidupan rakyat Priangan, sehingga sering kita mendengar ungkapan dalam Bahasa Sunda "ngopi". Yang merangkum pengertian luas dari segala macam bentuk 'acara makan kecil. Meski pada kesempatan itu 'air kopi' tidak dihidangkan, namun orang masih tetap menyebutnya ngopi!," tulis Haryoto dalam bukunya seperti dikutip detikJabar, Kamis (9/3/2023).
Sementara itu, pegiat Komunitas Aleut Ridwan Hutagalung menceritakan sistem tanam paksa membuat rakyat tak bisa menikmati kehidupannya yang normal, termasuk menyesap kopi di pagi atau sore hari. Sebab, hasil perkebunan kopi yang dikelola rakyat harus disetorkan ke Pemerintah Hindia Belanda.
![]() |
Ridwan juga menilai ungkapan 'ngopi' yang merujuk pada acara kumpul-kumpul menikmati cemilan tanpa kopi, merupakan budaya masyarakat yang berlagak seperti orang Eropa. Ya, yang bisa menikmati kopi sebenarnya.
"Akhirnya mereka berpura pura minum kopi seperti orang Belanda itu, ngomong ngopi tapi tidak ada kopinya. Mereka istilahnya berlagak, minum kopi pada saat sore, walaupun yang tersaji di situ tidak ada kopinya," kata Ridwan saat berbincang dengan detikJabar.
Ridwan mengatakan hingga saat ini masih ada masyarakat yang merawat istilah 'ngopi' meski sedang tak menikmati kopi. "Ya itu sesuai dengan apa yang diceritakan Haryoto Kunto," kata Ridwan.
Ridwan juga bercerita pada saat ia masih anak-anak. tepatnya, sekitar 50 tahunan lalu. Ia kerap melihat masyarakat membeli biji kopi yang masih hijau, kemudian diproses hingga bisa dinikmati sendiri.
"Mereka menyangrai sendiri, menumbuk sendiri hingga diseduh. Itu waktu saya kecil, di Bandung. Memang waktu itu sudah ada orang jual kopi seperti Kopi Aroma," ucap Ridwan.
"Dulu itu ada budaya ngopi seperti itu (beli biji kopi masih hijau), budaya kecil-kecilan masyarakat ya. Tapi, belum bisa saya buktikan apakah sudah ada sejak zaman Belanda atau tidak, saya belum bisa buktikan usia budaya seperti itu sudah ada sejak kapan," kata Ridwan menambahkan.
(sud/yum)