Budidaya kopi di Priangan (sekarang Jawa Barat) menyisakan memori yang begitu kelam. Bayangkan saja, di saat kopi menjadi ladang pemasukan kas negara tertinggi untuk Hindia Belanda, pribumi di Tatar Sunda justru menjadi sengsara akibat sistem tanam paksa yang diterapkan Belanda.
Demikian diungkapkan Edukator Museum Gedung Sate Ryan Valdani saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini. Magister Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran (Unpad) itu menyatakan, Belanda bisa membangun negaranya seperti sekarang berkat kopi yang telah di tanam di tanah Priangan.
"Yang belum diketahui orang banyak, sistem tanam paksa yang dipraktekan itu adalah sistem yang amat menguntungkan Belanda. Bayangkan saja, mereka yang dulunya akan pailit awalnya, bisa membangun negaranya sebagus sekarang. Nah itu dari mana, dari hasil tanam paksa ini, salah satunya dari kopi di Priangan," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjalanan kopi bisa masuk ke Priangan bermula pada awal abad ke-17, tepatnya pada 1677. Saat itu, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau kongsi dagang milik orang-orang Belanda baru saja merebut wilayah Priangan Barat dan Tengah dalam ekspansinya ke Nusantara.
Benih kopi pertama berjenis arabika kemudian dibawa dari negara India oleh VOC untuk coba ditanam di Priangan. Meski awalnya sempat gagal, namun kebijakan budidaya kopi di Priangan akhirnya bisa membuat para Kompeni tersenyum lebar.
Dalam perjalannya kemudian kata Ryan, Kompeni memberlakukan sistem tanam paksa yang membuat pribumi menjadi sengsara. Kompeni hanya membeli satu pikul kopi yang telah dipanen dengan harga 1 ringgit Belanda atau setara 2,5 gulden. Sementara saat dijual ke pasar Eropa, Kompeni memberlakukan tarif berkali-kali lipat untuk kopi yang dijualnya.
"Jadi di Priangan dibelinya dengan harga serendah-rendahnya, sementara pas dijual ke Eropa itu bisa berkali-kali lipat harganya. Belanda akhirnya bisa sejahtera lewat kopi Priangan, bisa membangun negaranya sebagus mungkin. Sedangkan para petaninya di sini itu kondisinya enggak makmur. Kondisi itu yang terjadi pas zaman dulu," ungkapnya saat menceritakan kembali zaman tanam paksa di Priangan.
Ryan bisa berkata demikian karena Tanah Priangan saat itu diberlakukan kebijakan khusus dalam ambisi Belanda menggarap perkebunan di Nusantara. Jika di wilayah-wilayah lain ditanam rempah-rempah, Priangan kata Ryan hanya fokus untuk menggarap perkebunan kopi.
Karena kebijakan itu, Belanda sukses merebut monopoli perdagangan kopi di dunia. Tercatat pada 1730, Kompeni berhasil menempatkan Amsertadam dan Rotterdam sebagai pusat lelang kopi dunia, menggeser Mocha di Yaman.
Tapi seiring perjalannya, kopi terus mengalami fluktuasi. Pamor dan dominasinya pun tergantikan oleh perkebunan teh yang kemudian muncul sebagai perkebunan yang massif di Priangan. Meskipun demikian, kopi tetap saja untuk pengembangan Belanda menjadi negara sukses seperti sekarang.
"Ini mungkin yang perlu dihighlight. Kopi dari Jawa Barat itu menguntungkan buat Belanda. Mereka bisa menguasai pasar dunia, bisa membangun negaranya, sedangkan jajahannya tidak diperhatikan dan malah sengsara," pungkasnya.
(ral/mso)