Memori Kelam Kopi Priangan

Memori Kelam Kopi Priangan

Rifat Alhamidi - detikJabar
Minggu, 12 Mar 2023 07:01 WIB
Sejarah kopi di Jabar.
Sejarah kopi di Jabar (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar).
Bandung -

Sejarah kopi dan wilayah Priangan (Jawa Barat sekarang) agaknya tidak bisa dipisahkan. Kopi dari Tatar Sunda saat masih berada di bawah jajahan Belanda berhasil merajai produksi dunia internasional dan mengalahkan tanah asalnya, Mocha di Yaman.

Perjalanan kopi bisa masuk ke Priangan bermula pada awal abad ke-17, tepatnya pada 1677. Saat itu, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau kamar dagang milik orang-orang Belanda merebut wilayah Priangan Barat dan Tengah dalam ekspansinya ke Nusantara.

Benih kopi pertama berjenis arabika kemudian dibawa dari negara India oleh VOC untuk coba ditanam di Priangan. Saat itu, menurut Edukator Museum Gedung Sate Ryan Valdani, benih kopi arabika pertama yang dibawa ke Tatar Sunda dicoba ditanam di pinggiran Pantai Utara (Pantura) Jawa yang membentang dari Batavia hingga ke Cirebon.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun ternyata, usaha VOC untuk membudidayakan benih kopi pertamanya itu gagal akibat musibah banjir dan gempa. Seakan tak kapok, VOC kemudian membawa benih kopi arabika keduanya pada 1699 ke Nusantara untuk coba ditanam dengan menggeser lokasi budidayanya ke dataran yang lebih tinggi. Cianjur saat itu dipilih dan akhirnya bisa membuat para petinggi VOC semringah.

"Jadi sebetulnya kopi itu awal komoditasnya bisa ada di Hindia Belanda, khususnya di wilayah Priangan, itu di akhir abad ke-17. Pada awalnya di Priangan ini akan dibudidayakannya itu di Pantai Utara. Setelah dilihat hasilnya kurang bagus, akhirnya diubah yang rencananya mengeksplore wilayah utara jadi ke selatan yang lebih tinggi tanahnya. Akhirnya (dibudidayakan) di kawasan Cianjur, Ciwidey sama Garut," kata Ryan saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.

ADVERTISEMENT

"Dan ternyata di kawasan Cianjur itu bagus banget, kualitasnya mantap. Pas dicoba juga rasanya lebih enak dibanding kawasan yang kering di Pantai Utara. Akhirnya dikembangkan sama VOC budidaya kopi ini di wilayah yang tinggi dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-17," ucapnya menambahkan.

Bertepatan dengan itu pula, VOC lalu menjalin kesepakatan bernama Koffie-stelsel dengan para Bupati Priangan pada 1707. Benih kopi disebar secara besar-besaran untuk bisa ditanam di Priangan dengan pengawasan para bupati yang telah ditunjuk oleh VOC untuk mengawasinya.

Empat tahun selanjutnya, kopi di Priangan berhasil dipanen. Bupati Cianjur Aria Wiratanu III tercatat sebagai bupati pertama yang berhasil menyetorkan hasil panen kopinya kepada Belanda sebanyak 400 kilogram ke Batavia. Hasil panen itu kemudian diekspor pertama kali ke Belanda pada 1711 di masa kekuasaan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck.

VOC yang berhasil memanen kopinya semakin tergiur untuk membuka lahan perkebunan secara besar-besaran. Melalui dalih kerja sama Koffie-stelsel itu lah, VOC membebankan masyarakat pribumi untuk membuka lahan di wilayah hutan Priangan.

Dari sinilah, beban masyarakat pribumi semakin sengsara. Selain tidak diberi upah saat membuka lahan perkebunan kopi, bayaran yang mereka terima saat kopi itu panen pun jauh panggang dari pada api. Penderitaan yang melelahkan dan menjemukan menjadi kata yang pantas disematkan kepada pribumi akibat kebijakan VOC tersebut.

Namun berkat siasat Koffie-stelsel, VOC makin leluasa menekan warga Priangan dalam ambisinya menanam kopi secara besar-besaran. Pasalnya, kompeni merangkul para Bupati Priangan untuk menjadi sekutu mereka.

Penderitaan warga Priangan makin berlipat saat kompeni menerapkan kebijakan sepihak berupa monopoli hasil produksi kopi hanya boleh disetorkan ke VOC sekitar tahun 1723. Dari sini, VOC makin semena-mena mengatur harga beli kopi yang begitu rendah demi bisa menjualnya ke harga yang mahal ke pasar internasional.

Tercatat, pada 1726, Gubernur Jenderal VOC menetapkan harga 1 pikul kopi hanya seharga 5 rijksdaalder (1 ringgit Belanda setara 2,5 guldel). Kebijakan ini pun tentu bertentangan dengan kesepakatan Koffie-stelsel yang telah terjalin antara VOC dengan para Bupati Priangan.

"VOC sadar kalau kopi itu menjadi komoditas yang menguntungkan untuk mereka. Mulai lah cara liciknya dengan memonopoli, jadi mereka petani ini enggak boleh jual ke pihak lain. Mau Portugis datang, itu enggak boleh, pokoknya harus cuma dijual ke orang Belanda. Orang Belanda kemudian akan menjualnya lebih tinggi di kawasan Eropa," tutur Ryan.

Dari sini, sistem tanam paksa yang dikenal dengan istilah preangerstelsel mulai diberlakukan VOC untuk budidaya kopi di Priangan. Pribumi tentu makin sengsara karena kebijakan itu yang turut ditekan para Bupati Priangan.

Meski mendatangkan penderitaan, tanam paksa kopi malah mendatangkan keuntungan untuk kompeni. Bayangkan, pada 1730, kompeni berhasil menempatkan Amsertadam dan Rotterdam sebagai pusat lelang kopi dunia, menggeser Mocha di Yaman. Di tahun-tahun itu juga, Belanda menjadi pemegang kendali pasar kopi terbesar di dunia.

Tapi di balik itu semua, beban pribumi makin bertambah sengsara saat VOC menerapkan kebijakan khusus wilayah Priangan hanya boleh ditanam kopi. Sebagai gambaran saat itu, pada 1793-1795, wilayah Priangan sudah terdapat 21.975.329 tanaman kopi sebagaimana tercatat dalam bukunya M Rizky Wiryawan berjudul Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan.

Pada akhirnya, VOC yang makin serakah menimbulkan petaka. Pada akhir abad ke-18, kongsi dagang Hindia Belanda ini resmi dibubarkan karena memiliki utang hingga sekitar 134 juta gulden. Tapi, penderitaan warga pribumi di Priangan masih terus berlanjut pada masa tanam paksa kopi tersebut.

Setelah VOC bubar, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat Herman Willem Daendels pada Januari 1807. Melalui kebijakan tangan besinya, Daendels langsung meningkatkan produksi kopi di Pulau Jawa, khususnya di Priangan menjadi total 72.669.860 pada 1808.

Seiring perjalanannya, kopi terus mengalami fluktuasi. Pamor dan dominasinya pun tergantikan oleh perkebunan teh yang kemudian muncul sebagai perkebunan yang masif di Priangan. Apalagi pada 1870, Hindia Belanda menerapkan kebijakan Agrarische Wet yang menjadi cikal bakal Undang-Undang Agraria di Nusantara.

Namun begitu, jejak perkebunan kopi di Priangan masih terasa hingga sekarang. Sebagai catatan, pada 2013, kopi Jawa Barat berhasil memperoleh indikasi geografis dengan nama resmi Kopi Arabika Java Preanger dan diakui kualitasnya oleh dunia.

Halaman 2 dari 2
(ral/mso)


Hide Ads