'Saktinya' Inggit Garnasih Buat Wajah Petinggi Belanda Merah

Lorong Waktu

'Saktinya' Inggit Garnasih Buat Wajah Petinggi Belanda Merah

Rifat Alhamidi - detikJabar
Selasa, 21 Feb 2023 07:00 WIB
Foto Inggit Garnasih dan Presiden Soekarno di Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Kota Bandung, Minggu (29/1/2023).
Inggit Garnasih dan Soekarno (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Nama Inggit Garnasih sedang diusulkan Pemprov Jawa Barat supaya bisa mendapat gelar pahlawan nasional tahun ini. Sosok yang disebut sebagai Ibu Bangsa Sejati ini pun sudah dianggap layak mendapatkan gelar pahlawan karena kesetiaannya dalam mendampingi Bung Karno di masa-masa revolusi.

Inggit sendiri begitu loyal membantu Bung Karno dalam zaman pergerakan nasional. Tak hanya menjadi sosok istri yang setia tatkala Sang Fajar diasingkan Belanda mulai dari Ende hingga ke Bengkulu. Inggit juga lah yang mendanai segala kebutuhan Bung Karno muda sampai rela berjualan bedak, jamu hingga alat kecantikan lainnya.

Tidak hanya setia dan loyal, Inggit termasuk sosok yang garang saat berhadapan dengan kolonial. Ia takkan bersedia menunjukkan sikap kooperatif terhadap Belanda, yang saat itu berulang kali merayu Inggit supaya mau membocorkan aktivitas Bung Karno dalam pergerakan nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deni Rachman dalam bukunya berjudul Kisah-kisah Istimewa Inggit Garnasih cetakan Menara Api Bandung 2020, menuliskan cerita jika Inggit pernah membuat muka seorang petinggi kolonial Belanda menjadi merah. Korban Inggit itu adalah Van der Plas, seorang pejabat Hindia Belanda yang bertugas di Kantor Penasihat Masalah-masalah Bumiputera.

Deni menulis, hanya dengan sajian sambal goang, nasi borontok serta lauk beuleum oncom dan peda siem yang menjadi sambal khas masakan orang Sunda, Inggit saat itu berhasil membuatnya kapok untuk tidak lagi datang memata-matai aktivitas suaminya, Bung Karno. Sebab saat itu, Van der Plas berulang kali membujuk Inggit yang memang menginginkan informasi aktivitas politik dari Bung Karno.

ADVERTISEMENT
Klinik Lansia Inggit Garnasih di Bandung.Potret Inggit Garnasih Foto: Wisma Putra/detikJabar

Dalam bukunya, Deni mengisahkan mulanya Inggit menolak memberi informasi apapun kepada Van der Plas mengenai aktivitas politik Bung Karno. Inggit dengan tegas mengatakan bahwa ia hanya orang desa yang tidak tahu menahu tentang masalah politik.

Seolah tak kehabisan akal, Van der Plas yang dikenal mahir berbahasa Jawa dan Sunda lalu mencoba membujuk Inggit kembali. Kali ini, Van der Plas juga ikut mengaku sebagai orang yang terlahir di desa meski merupakan orang Belanda.

Untuk lebih meyakinkan Inggit, Van der Plas bahkan mengaku hanya menyantap hidangan sederhana seperti makanan rakyat di desa. Ucapan Sang Pentolan Kolonial ini lah yang kemudian akan menjadi boomerang untuknya karena telah coba-coba menipu Inggit dengan bujuk rayuannya tersebut.

"Begitu Bung Karno datang, maka berbicaralah beliau dengan Van der Plas. Sedangkan Ibu Inggit pergi ke dapur, menyiapkan hidangan rakyat sederhana seperti apa yang dikatakan oleh Van der Plas. Begitu hidangan sederhana berupa nasi borontok, dengan sambel goang, serta lauk pauknya beuleum oncom dan peda siem telah siap dihidangkan, maka Inggit mempersilakan tamunya bersantap," tulis Deni Rachman sebagaimana dikutip detikJabar, Senin (20/2/2023).

Saat hidangan datang, Bung Karno sempat merasa heran dengan apa yang Inggit lakukan. Bagaimana tidak, seorang Inggit dengan berani menghidangkan makanan rakyat sederhana dan begitu asing itu kepada seorang petinggi Hindia Belanda.

Van der Plas pun tadinya enggan menyantap makanan khas Sunda tersebut. Namun karena sudah kepalang menanggung malu, ia akhirnya terpaksa memakan masakan dari Inggit meski tentunya hidangan itu bakal terasa seperti duri yang menyakitkan saat disantap Van der Plas.

"Dengan rasa enggan, Van der Plas terpaksa mencicipi hidangan yang amat sederhana dan asing buat lidahnya. Adapun Sukarno merasa heran dengan perilaku Inggit yang telah berani menyuguhkan hidangan rahayat yang sederhana kepada seorang pejabat kolonial Belanda yang demikian tinggi pangkatnya. Dengan perasan kalah, geram, malu dan apa boleh buat Van der Plas harus menelan hidangan yang serasa duri itu," ujar Deni Rachman dalam bukunya itu.

Tak hanya sekali saja, Inggit juga pernah mempermalukan seorang penjabat kejaksaan kolonial Belanda di Bandung. Saat itu, tepatnya di tahun 1993, ia dipanggil untuk menghadap yang tentunya bakal diberondong pertanyakan mengenai aktivitas Bung Karno pada masa tersebut.

Setelah diminta untuk menghadap, Inggit malah sengaja bermalas-malasan. Hal itu jelas membuat murka dan jengkel si penjabat Belanda. Apalagi ternyata, Inggit pergi dari rumah dengan berjalan kaki, tanpa berusaha tepat waktu untuk memenuhi undangan dari petinggi kolonial tersebut.

Setelah tiba di tempat tujuan, sang pembesar Belanda mencoba bertanya kepada Inggit kenapa ia datang terlambat. Mulai dari sini lah, Inggit mengelurkan jiwa pemberaninya tanpa merasa takut akan mendapat hukuman dari pemerintah kolonial.

Dengan enteng, Inggit menjawab jika ia sedang sibuk di rumah. Apalagi kata Inggit, saat itu Bung Karno sedang ditahan di Sukamiskin yang membuatnya makin repot mengurus pekerjaan di rumahnya.

"Ketika sang pembesar Belanda bertanya mengapa Inggit datang terlambat? Dengan enteng sang Srikandi kita menjawab, bahwa beliau sangat sibuk dengan pekerjaan rumah. Apalagi suami sedang dibui di Sukamiskin, jadi sangat repot! Begitu alasannya."

Lagi-lagi, Inggit diberi pertanyaan kenapa ia tidak berusaha tepat waktu datang memenuhi panggilan. Dengan lantang, Inggit menjawab jika ia tidak memiliki uang dan balik bertanya kepada pejabat Belanda tersebut kenapa tidak langsung menjemputnya jika memang mendesak.

Jawaban Inggit sontak mengagetkan penjabat kejaksaan kolonial Belanda itu. Ia lantas meminta maaf kepada Inggit dan menawarinya untuk menjenguk Bung Karno yang sedang ditahan di Penjara Sukamiskin Bandung

"Namun mengapa tidak bergegas dengan naik kendaraan? Tanya sang pembesar Belanda, Inggit menjawab, bahwa ia tidak memiliki uang. Apalagi la tidak berkepentingan dengan panggilan itu. Mengapa Tuan yang memanggil dan sangat berkepentingan, tidak mengirim mobil jemputan? Inggit balik bertanya. Mendengar jawaban itu, maka sang pembesar kolonial menjadi merah, dengan rasa malu ia kemudian memohon maaf kepada Ibu Inggit," tulis Deni Rachman.

Setelah tiba di Penjara Sukamiskin, Inggit baru mengetahui jika Bung Karno akan dibuang ke Flores. Dan pada 17 Februari 1934, Bung Karno didampingi Inggit Garnasih, beserta Mak Amsi yang merupakan ibu mertuanya serta puteri angkatnya Ratna Djuami, kemudian berangkat menuju Flores dengan menaiki kapal Van Riebeeck.

(yum/yum)


Hide Ads