Dunia prostitusi di Kota Sukabumi sudah mulai berkembang sejak lama. Bahkan ada sejak zaman Hindia Belanda.
Akan tetapi, berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda, pada masa penjajahan Jepang, prostitusi ini kembali dilegalkan. Wanita pribumi banyak yang dijadikan Jugun Ianfu atau wanita yang memberikan layanan seksual kepada tentara Jepang.
"Pada faktanya itu penipuan kepada para wanita Sunda yang diiming-imingi pekerjaan, namun nyatanya dibawa ke suatu lokasi bangsal prajurit dan diminta untuk melayani para prajurit Jepang. Mereka dikumpulkan di rumah-rumah bekas Belanda, di antaranya yang tercatat adalah rumah bekas Tuan Kipers yang sekarang jadi Gedung Inspektorat dan di Gedung Panjang Baros," kata penulis buku 'Soekaboemi The Untold Story', Irman Firmansyah kepada detikJabar, Minggu (26/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menceritakan, para gadis diminta tentara Jepang dengan alasan akan diberi pekerjaan atau ditawarkan sekolah. Namun nyatanya mereka dikumpulkan di rumah-rumah bordil (Ianjo) dengan penjagaan ketat tentara Jepang.
"Jumlah perempuan yang berada di dalam rumah itu bisa mencapai 30-50 orang. Mereka bekerja malam hari untuk melayani para tentara Jepang di bawah paksaan. Mereka berhubungan tanpa sekat sehingga cukup memalukan dan menjijikan. Jika menolak maka mereka akan disiksa," katanya.
Bisnis prostitusi pasca kemerdekaan tak terlalu diketahui karena Sukabumi tengah fokus membangun kotanya. Kemudian, jalur kereta api kembali aktif digunakan untuk perjalanan masyarakat.
Pengaktifan jalur kereta memunculkan bisnis hiburan baru, salah satunya Taman Hiburan Rakyat (THR) yang dikelola Lie Sie Chi di daerah stasiun kereta api yang sekarang menjadi Kotel Kencana di tahun 1956.
Bisnis prostitusi juga sempat melibatkan para waria. Mereka kerap kali mangkal di Lapang Merdeka dan mendapat julukan 'banci lapdek.' Ketika muncul 'pembersihan' di area Lapang Merdeka pada tahun 2000-an, mereka menyebar ke berbagai lokasi, termasuk stasiun kereta api.
Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan prostitusi ini semakin merebak di Sukabumi, khususnya di tempat-tempat hiburan malam.
Irman mengatakan, praktik ini memunculkan peran baru sebagai calo dan germo. Tak jarang, kata dia, calo itu berprofesi sampingan sebagai tukang ojek, tukang kopi atau pekerja penginapan.
Perkembangan industri telekomunikasi juga mengambil peran dalam perkembangan praktik prostitusi di Sukabumi. Pada 2018, transaksi prostitusi dilakukan secara online. Di sisi lain, kamar indekos sudah disiapkan pengelola. Beruntung, kasus itu dapat diungkap polisi.
Klik di sini artikel Menguak Jejak Belenggu Prostitusi di Sukabumi (Bagian 1)