Menguak Jejak Belenggu Prostitusi di Sukabumi (Bagian 1)

Menguak Jejak Belenggu Prostitusi di Sukabumi (Bagian 1)

Siti Fatimah - detikJabar
Minggu, 26 Feb 2023 14:30 WIB
Foto ilustrasi untuk prostitusi artis
Ilustrasi prostitusi. (Foto: Phil McCarten/Getty Images)
Sukabumi - Kota Sukabumi menyimpan banyak cerita menarik pada masa lalu. Sama seperti Saritem di Bandung atau Pasar Kembang di Jogjakarta, praktik prostitusi juga terjadi di Kota Sukabumi. Bahkan, tindakan asusila itu sudah ada sejak zaman Belanda, Jepang hingga pasca kemerdekaan.

Penulis buku 'Soekaboemi The Untold Story', Irman Firmansyah mengatakan, praktik pekerja seksual di wilayah Sukabumi tidak luput dari perkembangan perkebunan teh dan kopi. Dahulu muncul istilah gundik atau nyai, yaitu wanita yang melayani tuan perkebunan tanpa dinikahi (meskipun sebagian ada yang dinikahi).

Dia mengatakan, setiap malam Minggu selalu ada hiburan bagi para pekerja perkebunan. Jenis hiburannya bermacam-macam, ada judi sabung ayam, pesta minuman keras, bahkan candu.

Nyai ronggeng muncul sebagai penghibur. Irman menuturkan, saat itu terjadi salah kaprah antara penari ronggeng dengan wanita penghibur atau PSK.

"Tak jarang para pekerja yang baru gajian ini melampiaskan nafsunya dengan membayar ronggeng. Padahal sebelum masa kolonial, ronggeng ini adalah orang terhormat. Ia merupakan sosok penting dalam upacara ritual, penasihat dan bisa menyembuhkan," kata Irman kepada detikJabar, Minggu (26/2/2023).

Sayangnya pada masa kolonial justru diekspolitasi sebagai penghibur. Wilayah yang mengadakan hiburan bagi pekerja perkebunan di Sukabumi cukup banyak misalnya di Parakansalak, Sinagar, Ciwangi, Cibungur dan lain-lain.

Meskipun tidak semuanya melakukan praktik menyimpang, akan tetapi selalu ada niat terselubung para hidung belang. Dari awalnya menyawer, hasrat seksual muncul.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda melegalisasi prostitusi pada tahun 1852, barulah praktik prostitusi terlihat jelas, terutama di pusat distrik seperti Sukabumi. Pekerja seks itu disebut Publieke Vrouwen (wanita publik) yang dikontrol ketat pemerintah.

Dibangunnya jalan kereta api memunculkan prostitusi gelap-gelapan di daerah sekitar stasiun. Meski demikian, kata dia, praktik prostitusi itu tak sampai melegalkan lokalisasi di Kota Sukabumi. Sebab tepat pada 1 September 1913, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan prostitusi.

Kuatnya budaya dan agama di masyarakat Sukabumi menjadi salah satu alasan larangan prostitusi. Sehingga praktek prostitusi tersebar secara parsial dan tergantung situasi.

Bersambung ke artikel selanjutnya (yum/orb)



Hide Ads