Provinsi Jawa Barat dilaporkan belum terbebas dari kasus perdagangan orang. Catatan kasus yang tergolong extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa itu masih tinggi terjadi di beberapa daerah di Jabar.
Mengutip data di laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) Kementerian Perlindungan Anak dan Perempuan, kasus perdagangan orang, terutama untuk anak dan perempuan di Jabar masih terbilang mengkhawatirkan. Dalam 3 tahun terakhir, jumlahnya masih berada di angka puluhan bahkan pernah mencapai seratusan berdasarkan catatan kasus tersebut.
Contohnya pada 2022, dari total 2.001 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, 73 kasus di antaranya dinyatakan sebagai kasus trafficking atau perdagangan orang. Kasus ini tak hanya dialami oleh perempuan saja, namun anak di bawah umur juga terkena imbasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian pada 2021, dari total 1.766 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, 120 di antaranya merupakan kasus perdagangan orang. Dan di tahun 2020, dari total 1.186 kasus kekerasan, 48 kasus di antaranya dinyatakan sebagai kasus trafficking.
Saat dikonfirmasi, Kepala UPTD PPA Jabar Anjar Yusdinar membenarkan soal data ini. Ia mengungkap, kasus ini biasanya terjadi dengan modus mengiming-iming anak dan perempuan yang ingin bekerja, namun kenyatannya tidak mendapat pekerjaan maupun upah yang dijanjikan di awal.
"Jadi intinya, kasus ini tuh terjadi karena ada yang merekrut, ada yang mengumpulkan dan mengirimkan perempuan maupun anak yang mau bekerja itu. Dan biasanya, setelah di tempatnya itu dia tidak mendapat pekerjaan sesuai dengan yang dijanjikan. Misalkan dijanjikan bekerja di rumah makan, tahunya di kafe remang-remang," kata Anjar kepada detikJabar, Rabu (15/2/2023).
Namun demikian, Anjar tak menampik kasus ini biasanya timbul karena faktor korbannya yang sedang terdesak kebutuhan ekonomi. Sehingga, mereka yang jadi korban itu tidak memperdulikan profil orang ataupun penyalur yang mengajaknya bekerja, meski pada ujungnya korban tersebut tidak mendapat pekerjaan yang diharapkan.
"Sebetulnya banyak faktor yang berpengaruh. Tapi karena tergerak dari kebutuhan ekonomi, dia mencari pekerjaan apa saja deh yang penting bekerja. Jadi mereka maunya instan, enggak kroscek dulu, atau misalkan enggak pernah ikut kayak pelatihan sama sertifikasi agar orang itu bisa dipekerjakan seusai dengan keahlian dia," ujar Anjar.
Terlepas dari semua itu, Anjar pun meminta semua pihak kini mulai teliti lagi jika mendapat tawaran kerja dari siapapun. Jangan sampai kata dia, niat untuk mencari penghasilan mahal berakhir sebagai korban perdagangan orang.
"Pemahaman, edukasi, kewaspadaannya harus ditingkatkan lagi. Jangan gampang percaya dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji berapa sekian, terus tidak perlu kompetensi apa-apa, tidak ada syarat, terus tergiur. Tapi ujungnya malah jadi korban. Jadi kita harus menelusuri dulu intinya sebelum menerima pekerjaan tersebut," pungkasnya.
(ral/mso)