Kisah di Balik Petani Disabilitas: Modal Nekat hingga Skill Pas-pasan

Kota Cimahi

Kisah di Balik Petani Disabilitas: Modal Nekat hingga Skill Pas-pasan

Whisnu Pradana - detikJabar
Sabtu, 11 Feb 2023 12:30 WIB
Para petani disabilitas Cimahi saat melakukan aktivitas pertanian.
Para petani disabilitas Cimahi saat melakukan aktivitas pertanian. (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
Cimahi -

Siapa bilang bertani dan bercocok tanam hanya bisa dilakukan oleh orang berfisik normal? Stigma itu terpatahkan oleh sekelompok penyandang disabilitas di Kota Cimahi.

Puluhan penyandang disabilitas tuna daksa, tuna grahita, serta tuna rungu ternyata mampu menyulap sebuah lahan kosong yang dipenuhi rerumputan setinggi orang dewasa menjadi lahan bercocok tanam dan berkebun di tengah keterbatasan lahan di Kota Cimahi.

Ialah Permana Dwi Cahya, seorang pria warga Kelurahan Cigugur Tengah, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi yang menjadi motor bagi roda Kelompok Tani Tumbuh Mandiri. Sebuah kelompok yang mewadahi disabilitas di Kota Cimahi menggeluti dunia bercocok tanam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun Permana tak sendiri. Sebagai motornya, ia perlu perangkat penggerak lainnya. Hal itu terproyeksi dari kehadiran 25 penyandang disabilitas lain sebagai anggota kelompok tani yang lahir pada awal tahun 2020 silam.

Saat berbincang dengan detikJabar, pria 31 tahun itu sama sekali tak pernah membayangkan bakal berkutat dengan tanah kotor, pupuk, cangkul, tanaman, dan hal lain yang bersinggungan dengan dunia bercocok tanam.

ADVERTISEMENT

"Rasanya ya luar biasa, dulu nggak pernah terbayang bakal bisa bertani atau berkebun seperti ini," ujar Permana saat ditemui di sela-sela kegiatan bertaninya, Senin (6/2/2023).

"Tapi yang paling luar biasa itu ketika merawat dari bibit sampai panen, terus ada yang produknya dijual dan ada yang dikonsumsi sendiri. Jadi ada kebanggaan dan rasa puas tersendiri," tambahnya.

Permana dan puluhan penyandang disabilitas lainnya di kelompok tani tersebut sama sekali tak punya latar belakang sebagai petani. Apalagi kondisi mereka tak sempurna seperti orang lain.

Namun mundur sedikit, Kelompok Tani Tumbuh Mandiri alias Tuman lahir dari keyakinan seorang profesor yang sudah lama peduli pada Permana dan disabilitas lainnya kalau disabilitas juga bisa produktif di sektor perkebunan.

"Dari situ akhirnya kita bergerak. Makanya kemampuan dasar bertani kami itu kebanyakan otodidak. Tapi ada juga sebagian yang bisa, cuma sedikit-sedikit saja itu juga," tutur Permana.

Ternyata, kata Permana, orang yang punya sedikit bekal soal dunia pertanian merupakan seorang penyandang tuna rungu. Praktis, perlu ada komunikasi khusus antara ia dan orang tersebut karena ada sekat yang cukup dalam pada sisi komunikasi verbal.

"Nah kebetulan yang bisa itu tuna rungu. Jadi kadang-kadang sharing sama kita, kita itu agak kesulitan awalnya. Makanya kita harus paham bahasa isyaratnya biar bisa komunikasi," kata Permana.

"Tapi alhamdulillah, seiring berjalannya waktu dan seringnya kita bersama-sama, jadi komunikasi itu terjalin dengan sendirinya," imbuhnya.

Berangkat dari Nekat dan Rela Keluar Modal Sendiri

Jangan bayangkan kalau mereka mendapat sokongan dana segar dari pemerintah maupun swasta. Jangan pula membayangkan mereka punya rekening gendut yang mampu menopang aktivitas bercocok tanam mereka.

Permana mengatakan, sejak awal niatnyemplungke dunia bercocok tanam, ia dan teman-temannya yang lain siap menanggung risiko keterbatasan dana. Kondisi itu memaksa mereka swadaya agar niatan bisa terealisasi.

"Mengawali kegiatan ini jujur kita swadaya dari anggota. Kebetulan selain bertani, para anggota di sini juga kan ada yang berkecimpung di profesi lain. Jadi kalau ada rezeki lebih kita sisihkan buat kas di kelompok tani ini," kata Permana.

Usaha mereka sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Berpeluh usai mandi sinar matahari setiap hari dari pagi sampai sore, panen tanaman yang mereka budidayakan akhirnya terasa.

Alhamdulillah kalau hasil sudah banyak. Kita sudah panenkacang, bonteng (timun), ubi, timun suri, jagung. Untuk jagung kita lihat momen, kemarin kan tahun baru. Nah kita tanam 3 bulan sebelumnya. Jadi pas tahun baru itu panen jadi bisa terjual," ujar Permana.

Permana juga memegang peran penting, yakni merangkap sebagai marketing. Ia memasarkan produk perkebunan para disabilitas itu. Beruntung, ia sudah punya sasaran jelas untuk menjajakan produknya.

"Kalau penjualan kebetulan saya merangkap marketing. Tapi alhamdulillah sudah ada pasarnya. Kadang ke pasar, tapi lebih bagus ke end user. Kalau ke pasar kan ada tengkulaknya," tutur Permana.

Hasil dari panen yang mereka dapat, sebagian ada yang dimasukkan ke dalam uang kas sebagai bekal membeli bibit dan kebutuhan lain untuk lahan mereka.

"Kalau hasil panen, kita masuk kas dulu semua. Nanti persentasenya dibagi-bagi lagi, ada yang operasional, untuk keperluan sehari-hari, terus ada juga yang untuk pegawai," ucap Permana.




(dir/dir)


Hide Ads