Deru mesin kendaraan memecah keheningan pagi Kota Cirebon saat jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB. Bersamaan dengan itu, nampak sejumlah pria yang sedang duduk berjejer di sepanjang trotoar jalan Cipto Mangunkusumo.
Di hadapan pria-pria yang berpakaian serba sederhana itu, berbagai macam alat pertukangan terlihat ikut berjejer rapih. Cangkul, linggis, belencong hingga pengki yang diikat di atas sepeda menjadi penanda bahwa mereka siap menjemput rezeki.
Pria-pria yang sedang duduk berjejer itu adalah para penjual jasa untuk berbagai macam pekerjaan. Istilah yang sering digunakan untuk pekerjaan yang mereka geluti adalah Kuli Sindang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbekal alat pertukangan yang mereka bawa dari rumah, para pekerja kasar ini setiap harinya mangkal di sepanjang trotoar Jalan Cipto Mangunkusumo. Di antara mereka, ada yang sudah tiba sejak pukul 05.30 dan ada juga yang tiba pukul 06.00 WIB.
Istilah Kuli Sindang disematkan karena para penyedia jasa ini kebanyakan berasal dari daerah Sindanglaut, Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kendati demikian, nyatanya tidak semua buruh ini berasal dari daerah Sindanglaut.
Salah satu Kuli Sindang yang biasa mangkal di trotoar Jalan Cipto Mangunkusumo adalah Leman (45). Ia merupakan warga Desa Penpen, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Setiap hari, Leman bekerja sebagai Kuli Sindang bersama sekitar lima orang rekannya yang juga berasal dari Desa Penpen. Pekerjaan ini telah dilakoni Leman selama kurang lebih 22 tahun atau lebih tepatnya sejak tahun 2001 silam.
Saat pagi masih gelap, menjadi waktu bagi Leman untuk bersiap melakukan aktivasinya. Bermodalkan sepeda kayuh, berikut dengan berbagai macam alat pertukangan, bapak enam anak itu berangkat dari kediamannya di Desa Penpen menuju Jalan Cipto Mangunkusumo, yang jaraknya sekitar 13 Kilometer.
Leman tidak sendiri, setidaknya ada sekitar 40 orang Kuli Sindang yang biasanya mangkal di sepanjang trotoar Jalan Cipto Mangunkusumo, Kota Cirebon. Mereka bekerja secara berkelompok dan terdiri dari sekitar 5 hingga 6 orang.
"Kalau di sini biasanya per kelompok. Kalau ditotal sih mungkin ada sekitar 40 orang (Kuli Sindang) di sepanjang Jalan Cipto ini. Kalau yang mangkal di sini rata-rata orang Penpen," kata Leman saat berbincang dengan detikJabar, Rabu (4/1/2023).
Menurut Leman, ia bersama beberapa rekannya yang berprofesi sebagai Kuli Sindang biasa mendapat tawaran untuk berbagai macam pekerjaan. Mulai dari menggali septik tank, menggali saluran, menggali kuburan, membersihkan rumput, hingga beberapa pekerjaan lainnya.
"Gali kuburan juga sudah biasa. Bahkan mindahin makam juga sudah pernah," kata Leman.
Dalam setiap pekerjaannya, Leman bersama rekan seprofesinya memasang tarif yang beragam. Sebab, ada dua sistem mereka terapkan, yaitu borongan dan harian.
Seperti menggali septic tank misalnya, Leman biasa mendapatkan bayaran sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta jika pengerjaannya dilakukan dengan sistem borongan.
Sementara jika pengerjaannya dilakukan dengan sistem harian, maka upah yang biasa ia dapat adalah sekitar kurang lebih Rp 250 ribu per harinya.
"Tapi kebanyakan kerjanya borongan. Misal menggali septic tank yang lebarnya 1 meter, panjang 2 meter dan dalam 1,5 meter, itu biasanya bayarannya Rp 1 juta," kata dia.
Baca juga: Pantai di Indramayu Serasa Pulau Dewata |
Hanya saja, setiap upah yang diperoleh oleh Leman dari setiap pekerjaan tidak untuk dirinya sendiri. Upah yang didapat, khususnya yang menggunakan sistem borongan nantinya akan dibagi dengan beberapa rekannya yang ikut terlibat dalam pekerjaan tersebut.
"Uangnya nanti dibagi-bagi. Kalau misalkan dapat Rp1 juta, terus orangnya ada lima atau ada enam ya nantinya dibagi rata," kata Leman.
(dir/dir)