Umurnya sudah tidak muda lagi, tapi ingatannya terhadap layangan masih membekas di hati. Dialah Lei Fie Kiat atau karib disapa Akiat. Pensiun di dunia adu tarik layangan, kini Akiat fokus menjadi pengusaha layangan yang terkenal di Kota Bandung.
Akiat mengisahkan, jauh sebelum menjuarai kompetensi adu tarik layangan di Prancis tahun 2004 lalu dalam ajang Fieppe Martime President Jean Dasnia sehingga ia dijuluki 'The Killer' Akiat kecil belajar membuat layangan sejak umur enam tahun.
Dijumpai detikJabar di rumahnya yang berada di Jalan Pagarsih, Kota Bandung, Kamis (29/12/2022), Akiat menyebut semasa kecil ia mencari uang untuk jajan dari membuat layangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari kecil umur 6-11 tahun. Bukan dagang, bikin-bikin gitu buat jajan. Pingin jajan gak punya uang jadi bikin itu tahun 1965-an di rumah orang tua di Jalan Ahmadyani," kata pria kelahiran Bandung, 8 September 1954 itu.
Kehlian dalam membuat layangan didapatkan Akiat dari para perajin layangan yang ada di wilayah Bandung Raya. "Bisa bikin layangan ya belajar dari pengalaman perajin," ujarnya
Di usia belasan tahun itu, Akiat sudah mandiri dalam mencari uang sendiri. Uang yang ia cari tak lain dan tak bukan untuk dia jajan di sekolah. Menurutnya, pada tahun 1970 ia mulai fokus berjualan layangan.
"Mulai jualan tahun 1986, tahun 70-an jualannya sampai ke luar kota," ujar Akiat.
![]() |
Akiat mengungkapkan, saat ini layangan dengan merk 'Akiat' ini diproduksi oleh perajin yang ada di Sumedang dan Bandung Barat. Ia memaklunkan produksi layangannya kepada perajin langganannya.
"Diproduksi di Cipacing, Rancakalong, termasuk Cililin juga, dimaklun. Layangan dijual ke seluruh Indonesia," ungkapnya.
Dalam menjalankan usahanya, Akiat melibatkan lebih dari 100 perajin layangan. Selain layangan, Akiat juga menjual gelasan yang diproduksi dan dimaklunkan dari perajin gelasan yang ada di daerah Tanjungsari.
"Layangan yang saya buat kertasnya berjenis doorslag. Bambunya dari babu tali, bambu gembong juga bisa, tapi kebanyakan bambu tali yang penting cepat (performa layangannya)," ujarnya
"Perajin banyak, ada yang buat layangan ada juga gelasan," tambahnya.
Menurut Akiat, perajin yang ia berdayakan itu notabene memilki profesi sebagai petani. Jadi menurut Akiat di kala menunggu musim panen, mereka memproduksi layangan atau gelasan yang nantinya dijual dengan merk 'Akiat'.
"Produksi layangan ada yang pulang dari sawah, baru bikin ini (layangan) jadi ga benar-benar fokus buat layangan. Ini sampingan untuk mengisi waktu," jelasnya.
Upah membuat layangan itu, dapat menambah penghasilan keluarga bagi para perajin. Karena tak hanya pria, banyak ibu rumah tangga yang memiliki usaha sampingan sebagai perajin pembuat layangan.
"Upahnya untuk layangan sedang mendapatakan upah Rp 450.000 untuk satu bal atau 1.000 pcs layangan, 1 orang bisa nyampe seselesainya. Kalau dikebut gini, produksi gak seberapa ya 75 biji seharinya.
Akiat menuturkan, selain berjualan layangan dengan merknya sendiri, Akiat juga mengadukan layangannya dalam pertandingan yang ada didalam negeri dan luar negeri. Namun, saat ini Akiat sudah pensiun dan fokus dengan usahanya.
Prestasinya di dunia adu tarik layangan sudah tidak diragukan lagi. Puluhan tropi dan penghargaan dikoleksinya dan dipamerkan di rumahnya bersama foto hingga kliping koran dan majalah terkait pemberitaan dirinya.
Berikut sederet catatan penting kejuaran layangan yang berhasil ia torehkan di antaranya, Juara I Kejuaran Dunia Layang-Layang di Kota Dieppe, Prancis (1998), Juara I Kejuaraan Layang-Layang Internasional di Kota Saclay, Prancis (1998), Juara I Kejuaraan Layang-Layang Eropa (sebagai peserta kehormatan) di Kota Pyneneens, Prancis (2000), Juara III Kejuaraan Layang-Layang Dunia di Kota Dieppe, Prancis (2002) dan Juara I Kejuaraan Layang-Layang Dunia di Kota Dieppe, Prancis (2004).
(wip/yum)