Dunia kedokteran Indonesia saat ini sedang menjadi buah bibir. Pasalnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyinggung secara khusus mengenai istilah 'darah biru' di tengah riuh pro-kontra RUU Kesehatan Omnibus Law.
Dilansir detikHealth, seorang mahasiswa yang sedang menjalani klinik dan pre klinik di FKG salah satu universitas di Indonesia, bercerita tentang masa kelam dunia kedokteran. Sebab, sudah jadi rahasia umum, 'perploncoan' dan kasus bullying juga terjadi di pendidikan kedokteran.
Kata mahasiswa tersebut, masa kelam takkan berlaku terkecuali bagi mereka yang punya relasi dengan profesor. Ibarat punya kartu sakti, jalan menempuh pendidikan di fakultas kedokteran jauh lebih mulus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dia ada hubungan keluarga, ponakan, sudah itu mah sakti. Nggak akan kena apapun, malah dia diistimewakan," cerita (MK) kepada detikcom beberapa waktu lalu, pria yang kala itu baru selesai menjalani masa klinik dan pre klinik di FKG salah satu universitas di Indonesia.
MK menyebut perlakuan spesial mahasiswa pemilik kartu sakti, berpengaruh pada penilaian. "Contoh nih ya gigi kamu patah, terus aku tambal nih, tambal, udah paling bagus lah paling rapi. Tapi, kalau dosennya lagi pusing, lagi stres, lagi uring-uringan, tambalan sebagus apapun itu nggak di-acc," tutur dia.
"Beda cerita kalau (misalnya) aku keponakan dosen anu, profesor anu, dosen yang tadi dosen udah pulang, terus misalnya di-WA mau acc, yasudah fotokan saja (dipermudah)," lanjut MK.
Keluhan seperti ini yang juga sampai ke Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di tengah riuhnya pro kontra RUU Kesehatan Omnibus Law. Dalam diskusi bersama para dokter, Menkes terang-terangan bercerita soal monopoli.
"The better, the higher, the smarter you parents, kamu punya peluang lebih tinggi menjadi seorang spesialis," katanya dalam Forum Diskusi Ikatan Dokter Indonesia, disiarkan @IDI Wil Riau, Minggu (27/11/2022).
Inilah yang disebutnya menghambat jumlah produksi dokter spesialis di Indonesia. Seleksi tak transparan hingga perlunya rekomendasi bagi mahasiswa 'bukan darah biru'.
Melalui reformasi UU Kesehatan, hal semacam ini yang ingin diluruskan Menkes. Akselerasi kemudian didorong tidak hanya melalui universitas, tetapi juga hospital base untuk memangkas teknis izin sehingga bisa segera berpraktik.
"Kita kan denger juga dokter-dokter banyak banget komplain ke aku, minta rekomendasi, termasuk dokter spesialis, aku tanya emang kenapa sih harus rekomendasi? Kenapa nggak tes saja?," tanya Menkes.
"Terus dijawab 'Pak ini kalau tes ada namanya darah biru pak, kalau misalnya ada anak profesor masuk aku pasti kalah', oh gitu, banyak itu, yasudahlah kalau gitu kita lebih banyak buka di RS," terang dia.
Reformasi ini dibutuhkan, kata Menkes, demi menyelamatkan puluhan ribu nyawa tak tertolong setiap tahun akibat minimnya dokter spesialis. Kasus bayi lahir dengan kelainan jantung misalnya, dilaporkan sebanyak 50 ribu per tahun dan 40 persen di antaranya harus dilakukan operasi yakni sekitar 20 ribu.
"Sementara kapasitas kita 6.000. Loh terus sisanya gimana? Ini jawaban seorang profesor jantung, 'itu seleksi alam Pak,'" kata Menkes.
"Intinya, perbanyak dokter spesialis, nyatanya dampak ke layanan kesehatan, rakyat meninggal ga terlayani 20 ribu bayi, masa kita tega," kata dia.
Dalam edaran resmi Ikatan Dokter Indonesia, pihaknya meminta untuk tidak menyamaratakan perlakuan sejumlah oknum. Perlindungan disebut sudah semestinya menjadi hak setiap warga negara.
'Tidak ada diatur dalam draft RUU Kesehatan. Perlindungan ini hak setiap warga negara dan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan. Negara wajib hadir bukan melakukan generalisir atas perilaku segelintir oknum,' kata edaran yang juga disepakati empat organisasi profesi lain yakni IAI, PPNI, PDGI, IBI, hingga ikut serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Artikel ini telah tayang di detikHealth dengan judul 'Darah Biru' hingga Bullying Sisi Kelam Praktik Kedokteran di Indonesia
(ral/yum)