Namun kini Ewon tak memiliki satupun hewan peliharaan. Sebab memelihara hewan-hewan itu bertentangan dengan hati nuraninya. Itu karena hewan yang ia pelihara punya habitat dan kehidupannya sendiri.
"Sekarang sudah nggak ada, karena secara hati nurani sebetulnya 'ngapain pegang ular', ternyata saya butuh eksistensi dan pengakuan," kata Ewon.
Ewon mencontohkan, orang awam yang melihat ular biasanya selalu bereaksi berlebihan. Ada yang naluriah mengalami ketakutan namun di sisi lain juga timbul rasa semangat menggebu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang awam melihat ular itu kan suka berlebihan. Jadi ketika melihar ular sebesar pergelangan tangan itu disebutnya sebesar paha, yang sebesar paha mereka sampaikan sebesar pohon kelapa, kan gitu. Jadi mereka ingin dapat pengakuan dari orang lain," ucap Ewon.
"Saya tidak bisa bilang memelihara ular itu salah. Tapi karena manusia kan menyukai sesuatu yang di luar nalar. Seperti orang memelihara harimau, buaya, elang," tutur Ewon.
Ewon menyadari belakangan kian banyak orang yang menyukai ular sampai dijadikan peliharaan. Jika sudah kadung memiliki ular sebagai peliharaan, alangkah baiknya dirawat sebaik mungkin.
"Diurus sebaik-baiknya, tapi kan tergantung pada orangnya masing-masing, seahli apa. Pada hakikatnya ular itu kan takut pada manusia. Kenapa mereka menggigit, membelit, atau melakukan perlawanan karena itu sistem pertahanan diri saat mereka terusik dan terancam. Kan seharusnya jangan diganggu," pungkas Ewon.
(orb/orb)