Suasana pedesaan terasa lebih sejuk saat gemericik hujan membasahi sebagian wilayah Kabupaten Majalengka sore itu. Sejumlah petani berteduh di sebuah gubuk di pinggir sawah. Mereka menyeduh secangkir kopi sembari menunggu hujan reda.
Perbincangan sederhana dengan para petani lantas menghangatkan suasana saat detikJabar ikut berteduh. Mereka menceritakan tentang regenerasi petani yang kian langka.
Ridwan (57), petani di Desa Cimeong, Banjaran mengatakan, dulu, persoalan yang dihadapi petani saat musim tanam adalah pupuk, saat musim panen harga jual yang cepat sekali berubah sehingga petani rugi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun permasalahan petani kini kian menjadi kompleks. Sebab, lanjut dia, mencari buruh tani di desanya saat musim tanam atau panen sama sulitnya. Pasalnya, pemuda di desanya mayoritas lebih memilih bekerja di kantoran atau pabrikan.
Sebagai mana kita ketahui padahal menjadi petani merupakan salah satu profesi yang paling mulia. Mereka senantiasa menjaga ketahanan pangan negara. Tanpa petani mungkin kita tidak bisa mendapat pasokan bahan makanan.
"Iya kang sekarang mah masalahnya tambah lagi, saat masuk masa tanam atau panen petani kerepotan untuk mencari yang mau bekerja (menjadi buruh tani)," kata Ridwan saat berbincang dengan detikJabar, Jumat (7/10/2022).
Sulitnya mencari buruh tani di daerahnya berimbas terhadap pengupahan petani. Oleh karena itu, upah petani kini menjadi mahal.
Menurutnya, upah buruh tani di Majalengka pada musim tanam sekarang rata-rata sebesar Rp 100 ribu. Padahal sebelumnya upah buruh tani berada di bawah angka tersebut. "Dulu mah setengah hari tuh Rp 80 ribu, sekarang mah jadi Rp 100 ribu," ujar dia.
Kendati naiknya upah buruh tani, Ridwan menyampaikan hal tersebut berimbas pada biaya produksi tanam. Ia hanya berharap hasil panennya mendapatkan keuntungan yang besar. "Saya hanya bisa berharap hasil panen nanti bagus dan harga jualnya mahal," ucap dia.
(iqk/iqk)