Ancaman Tak Kasat Mata di Ultah ke-212 Kota Bandung

Ancaman Tak Kasat Mata di Ultah ke-212 Kota Bandung

Sudirman Wamad - detikJabar
Minggu, 25 Sep 2022 13:00 WIB
Foto udara Monumen Bandung Lautan Api di Tegallega, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022). Setiap tanggal 23 Maret warga Kota Bandung memperingati peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi pada tahun 1946 sebagai peristiwa yang bersejarah. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YU
Lanskap Kota Bandung dari Lapangan Tegalega (Foto: ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)
Bandung -

Hari ini, usia Kota Bandung genap 212 tahun. Semula Bandung adalah hamparan perkebunan kopi. Daerah yang berjuluk Kota Kembang ini juga dahulu dikenal sebagai Surga Pembuangan atau paradise in exile.

Kini, Bandung berubah menjadi metropolitan. Hamparan perkebunan telah lenyap, berubah jadi gedung dan pembangunan perkotaan. Jumlah kendaraan di Bandung pun kian meningkat.

Menurut jurnal Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung yang disusun Nandang Rusnandar yang berjudul 'Sejarah Kota Bandung "Bergedessa" (Desa Udik) Menjadi Bandung "Heurin Ku Tangtung" Metropolitan, yang terbit di Pantajala Vol 2 No 2 Tahun 2010, mengupas perkembangan Bandung dari masa ke masa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kota Bandung pada pertengahan abad ke-19 masih merupakan desa yang sunyi sepi. Dikenal dengan sebutan een kleine berg dessa (desa pegunungan yang mungil).

Bandung terus berkembang. Dari tempat pembuangan kemudian ditunjuk sebagai ibu kota pemerintahan pada era Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808 - 1811). Saat itu dibangun jaringan jalan di Pulau Jawa sepanjang 1.000 km, dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa (sekarang Provinsi Banten) hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, pada zaman kemerdekaan Bandung terus berbenah, pada tahun 1971 diterbitkannya Master Plan Kota Bandung, untuk mengembangkan kota dengan fungsi sebagai berikut, pusat pemerintahan, pusat perguruan tinggi, perdagangan, industri dan kebudayaan serta pariwisata. Beban Kota Bandung menjadi berat.

Kemudian, DPRD Kota Bandung menetapkan kebijakan perlunya pemindahan sebagian fungsi kegiatan Kota Bandung dengan menambah luas lahan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1987 tentang Perluasan Wilayah Administrasi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Luas wilayah administrasi Kota Bandung berubah dari 8.096 Ha menjadi 16.729,650 hektare.

Singkatnya, Bandung yang kini jadi metropolitan menanggung beban berat. Dari kemacetan hingga kebencanaan. Salah satu bahaya yang nyata adalah racun atau polusi udara. Racun udara kini menghantui Kota Kembang.

Udara Tak Lagi Segar

Menurut data BPS, jumlah kendaraan roda dua di Kota Bandung pada 2005 sebanyak 428.375 unit. Kemudian, dalam waktu 10 tahun pertumbuhan kendaraan roda dua begitu pesat. Pada tahun 2015 mencapai 1.171.288 unit.

Sedangkan, pada tahun 2018 jumlah kendaraan roda dua di Kota Bandung mencapai 1.256.057 unit. Sementara itu, jumlah kendaraan baik roda dua dan empat di Kota Bandung pada 2021 menurut BPS mencapai 1.552.747 unit.

Kondisi lalu lintas di kawasan Pasteur Bandung.Kondisi lalu lintas di kawasan Pasteur Bandung. Foto: Rifat Alhamidi



Salah seorang warga Kecamatan Cibiru Kota Bandung, Taromi (45) mengaku merasakan memburuknya kualitas udara di Bandung. Taromi tinggal di Kota Bandung sejak 1993. Saat itu, dikatakan Taromi, udara di Bandung masih sejak. Bahkan, suhu udara bisa mencapai 18 derajat Celsius.

"Sudah 25 tahun hidup di Bandung. Terasa banget perubahan udaranya. Yang jelas memang menurun kualitas udaranya," kata Taromi saat berbincang dengan detikJabar di Taman Sejarah Balai Kota Bandung, Minggu (25/9/2022).

Menurut Taromi, memburuknya kualitas udara di Bandung itu dikarenakan ledakan jumlah kendaraan. Taromi berharap pemerintah bisa mengendalikan ledakan kendaraan dan kualitas udara di Bandung. Sebab, lanjut dia, udara adalah investasi yang nyata untuk generasi mendatang di Bandung.

"Meskipun saat ini katanya masih diambang batas normal. Tapi, menurut saya sudah mulai menurun. Ini tentu berkaitan dengan RTH dan tata kelola," kata Taromi.

Senada disampaikan Yayan Yanuar (35) warga Kecamatan Rancasari Kota Bandung. Yayan menyebutkan ledakan jumlah kendaraan adalah satu biang kerok buruknya udara di Kota Bandung.

"Ditambah lagi RTH menurun. Ini bisa menjadi penyebab menurunnya kualitas udara di Bandung. Kalau sekarang mah memang rasanya masih normal, tapi sudah terasa ada perubahan kalau dibanding dulu ya," kata Yayan.

Yaya mengaku kerap merasakan udara yang tak nyaman saat jam-jam sibuk. Di mana saat kendaraan mulai membeludak di jalanan, seperti berangkat dan pulang kerja.

"Di beberapa titik terasa banget. Kurang segar rasanya, tapi ada titik-titik yang masih terasa segar juga," kata Yayan.

Data lainnya menyebutkan pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung khususnya roda dua bisa mencapai 300 unit per hari, atau 108.000 unit per tahun. Sementara itu, untuk roda empat sekitar 15.000 unit per tahun.

Selain polusi udara dari aktivitas kendaraan dan tak adanya RTH sebagai penghancur polutan, aktivitas lainnya seperti pabrik bisa menjadi faktor lain terjadinya perburukan udara.

Bahaya Racun Udara

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar menilai udara di Bandung sudah tak sehat. Walhi mengaku merasakan dampak perburukan kondisi alam di Bandung, seperti peningkatan suhu dan perburukan kualitas udara.

"Semua itu, seperti RTH yang minim, alih fungsi lahan yang marak, persoalan sampah, populasi kendaraan dan lainnya, jelas berpengaruh. Ada peningkatan suhu, artinya kualitas udara di Banding mengalami ketidaksehatan. Saat ini saja sudah kurang baik," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar Wahyudin belum lama ini.

Walhi Jabar pun menyesalkan pemerintah daerah yang tak gamblang melaporkan indeks kualitas udara atau IKU kepada publik. Sehingga, publik merasa udara tak mengalami perburukan.

"Padahal ada aturannya, wali kota atau bupati, atau gubernur itu wajib melaporkan kondisi udara di daerahnya. Publik kan sekarang tidak pernah tahu," ucap Wahyudin.

Panorama Kota BandungPanorama Kota Bandung Foto: Royjp88/d'Traveler

Wahyudin juga mengaku saat ini memantau kondisi udara melalui aplikasi ISPUNET yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, hasil indeks kualitas udara di ISPUNET kerap berbeda dengan aplikasi lainnya.

Hari ini, aplikasi ISPUNET menyatakan tingkat kualitas udara di Bandung kategori sedang. Partikel PM atau zat beracun hasil pembakaran yang tak sempurna, yakni PM 10 dan PM 2,5. PM 10 itu berukuran 2,5 hingga 10 mikron. Sedangkan PM 2,5 berukuran di bawah 2,5 mikron. Zat ini semakin berbahaya saat ukurannya semakin kecil. Karena bisa masuk ke saluran pernapasan.

Menurut ISPUNET, kadar pencemaran atau racun udara di Bandung paling tinggi adalah adanya PM 2,5. Zat yang bisa masuk ke saluran pernapasan. Skornya 67. Skor ini masuk kategori sedang dan berwarna biru. Paling parah adalah ketika warnanya hitam. Sementara itu, kandungan PM 10 berada di skor 37, atau masih level baik. Kandungan zat lainnya, seperti karbon, hidrokarbon, ozon dan lainnya masih baik.

Sementara itu, di aplikasi lainnya yakni IQAir menyebutkan kualitas udara di Kota Bandung tak sehat bagi kelompok sensitif. Skor indeks kualitas udaranya mencapai 101. Kadar PM 2,5 di Bandung terbilang tinggi. Kelompok yang sensitif bisa mengalami iritasi dan masalah pernapasan. Sumber data dari IQAir itu berasal dari stasiun milik KLHK, dan stasiun IQAir.

Hasil pengukutan indeks kualitas udara IQAir itu sama dengan aplikasi lainnya, yakni Nafas. Nafas juga menyebutkan kualitas udara di Kota Bandung tak sehat bagi kelompok sensitif. Kandungan PM 2,5 di Kota Kembang ini masuk kategori tidak sehat bagi yang sensitif. Nafas menggunakan perhitungan atau pengukuran PM 2,5 sesuai standar WHO.

Melebihi Ambang Batas

Dalam jurnal ITB yang disusun Alvin Pratama dan Asep Sopyan yang berjudul 'Analisis Dispersi Pencemar Udara PM 10 di Kota Bandung Menggunakan Wrfchem Data Asimilasi', yang diterbitkan tahun 2020 menyebutkan sebaran polutan di Kota Bandung dipengaruhi angin, tinggi boundary layer, tingkat turbulensi, proses konvektif dan curah hujan.

Pada musim kering, angin dominan berasal dari timur dan tenggara, intensitasnya tinggi. Kondisi demikian menyebabkan polutan di Bandung tersebar ke arah barat dan barat daya hingga ke luar Bandung.

Sedangkan, pada bulan basah, angin dominan ke arah barat laut. Karena topografi yang komplek dan perbukitan. Akibatnya, tingkat dispersi polutan ke arah timur pada bulan basah tak tesebar dengan baik.

Jalan Braga Bandung.Jalan Braga Bandung. Foto: Sudirman Wamad/detikJabar



Hasil penelitian itu juga menyebutkan terdapat beberapa daerah di Kota Bandung yang tingkat konsentrasi PM 10 melebihi ambang batas, di antaranya di Rancabolang, Mekarjaya dan Pasirluyu. Ketiga wilayah ini harus mendapatkan perhatian khusus terkait penanganan tingkat polutan dari PM 10.

Sementara itu, dikutip dari Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung 2020 menyebutkan peningkatan kualitas udara menjadi salah satu program.

Pada 2020, DLHK mengaku telah mencapai target realisasi peningkatan kualitas udara di Bandung. Meski saat ini, beberapa aplikasi pengukur udara menyebut kualitas udara di Bandung kategori tak sehat bagi kelompok sensitif.

Laporan itu juga tak menampik adanya kekhawatiran kondisi Bandung yang bisa seperti Jakarta. Ibu Kota yang memiliki partikel PM 2,5 cukup tinggi. Hal yang sama mungkin terjadi di Kota Bandung.

Tipologi wilayah Kota Bandung yang berada di cekungan, memungkinkan adanya pergerakan angin dari wilayah pinggir yang menjadi kawasan industri menuju ke pusat cekungan. Hal ini bisa menyebabkan kualitas udara di Bandung tak berubah, justru bisa cenderung menurun.

Dalam laporan itu juga menyebutkan kualitas udara di Kota Bandung sempat mengalami perbaikan arena adanya pembatasan aktivitas masyarakat saat awal pandemi COVId-19. Dari laporan itu menyebutkan, PM 2,5 pada 2019 sempat melebihi ambang batas. Kemudian menurun hingga skornya di bawah 50 pada 2020. Begitupun dengan PM 10, alami penurunan pada 2020, dibandingkan 2019.

Menjaga Kualitas Udara

Sekda Kota Bandung Ema Sumarna mengatakan pemkot tengah berupaya memenuhi kebutuhan RTH sesuai peraturan, yakn iUndang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan proporsi RTH di kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayahnya. Saat ini Kota Bandung memiliki luas 16.730 hektare atau 167,3 kilometer persegi. Tahun 2020, luas RTH di Kota Bandung mencapai 2.048,97 hektare, atau hanya 12,25 persen dari luas wilayah.

Ema mengatakan Pemkot Bandung berkoordinasi dengan pengembang perumahan terkait penyerahan aset fasilitas publik. Selain itu, lanjut Ema, pihaknya juga telah menetapkan lahan sawah dilindungi (LSD) sesuai instruksi Kementerian ATR/BPN. Upaya ini bagian dari menjaga kualitas udara di Bandung.

"Sudah diminta untuk ditetapkan, sekitar 200 hektare sekian. Ini tidak boleh dialihfungsikan untuk apapun. Jadi, kita sudah punya LSD," kata Ema.

Sementara itu, dikutip dari bandung.go.id, pemkot juga menggelar uji emisi gratis untuk kendaraan. Uji emisi ini bertujuan agar Bandung bersih dari emisi atau polusi udara dari kendaraan.

"Ini ikhtiar menjaga lingkungan, menjaga udara kota Bandung menjadi lebih baik," kata Wali Kota Bandung, Yana Mulyana saat membuka Uji Emisi Gratis dan mencanangkan Kawasan Emisi Bersih di area parkir Balai Kota Bandung, Rabu 27 Juli 2022.

Harapannya, program ini membawa dampak untuk menekan polusi udara di Kota Bandung. "Kendaraan yang tidak memiliki stiker nantinya tidak boleh masuk dan parkir di area balai Kota," kata Yana.

(sud/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads