Ruang terbuka hijau (RTH) masih minim hingga terjadi ledakan populasi kendaraan membuat kualitas udara di Kota Bandung memburuk.
Dalam data Bada Pusat Statistik (BPS) yang disampaikan pakar sains atmosfer ITB Zadrach L Dupe pada April 2022, dalam webinar Bandung Hareudang menyebutkan, RTH di Kota Bandung pada 1970 mencapai 35 persen dari luas wilayah saat itu.
Kini, luas Bandung kin bertambah. Namun, RTH menyusut. Data terakhir yang disampaikan BPS, saat ini RTH di Kota Bandung mencapai sekitar 12,25 persen dari luas wilayah, atau 2.048,97 hektare dari 167,3 hektare.
Data lainnya menyebutkan pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung, khususnya roda dua bisa mencapai 300 unit per hari atau 108.000 unit per tahun. Sementara itu, untuk roda empat sekitar 15.000 unit per tahun. Selain polusi udara dari aktivitas kendaraan dan tak adanya RTH sebagai penghancur polutan, aktivitas lainnya seperti pabrik bisa menjadi faktor lain terjadinya perburukan udara.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar menilai udara di Bandung sudah tak sehat. Walhi mengaku merasakan dampak perburukan kondisi alam di Bandung, seperti peningkatan suhu dan perburukan kualitas udara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua itu, seperti RTH yang minim, alih fungsi lahan yang marak, persoalan sampah, populasi kendaraan dan lainnya, jelas berpengaruh. Ada peningkatan suhu, artinya kualitas udara di Banding mengalami ketidaksehatan. Saat ini saja sudah kurang baik," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar Wahyudin kepada detikJabar, Sabtu (17/9/2022).
Walhi Jabar menyesalkan pemerintah daerah yang tak gamblang melaporkan indeks kualitas udara atau IKU kepada publik. Sehingga, publik merasa udara tak mengalami perburukan.
"Padahal ada aturannya, wali kota atau bupati, atau gubernur itu wajib melaporkan kondisi udara di daerahnya. Publik kan sekarang tidak pernah tahu," ucap Wahyudin.
Wahyudin juga mengaku saat ini memantau kondisi udara melalui aplikasi ISPUNET yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, hasil indeks kualitas udara di ISPUNET kerap berbeda dengan aplikasi lainnya.
Hari ini, aplikasi ISPUNET menyatakan tingkat kualitas udara di Bandung kategori sedang. Partikel PM atau zat beracun hasil pembakara yang tak sempurna, yakni PM 10 dan PM 2,5. PM 10 itu berukuran 2,5 hingga 10 mikron.
Sedangkan PM 2,5 berukuran di bawah 2,5 mikron. Zat ini semakin berbahaya saat ukurannya semakin kecil. Karena bisa masuk ke saluran pernpapan.
Menurut ISPUNET, kadar pencemaran atau racun udara di Bandung paling tinggi adalah adanya PM 2,5. Zat yang bisa masuk ke saluran pernapasan. Skornya 67. Skor ini masuk kategori sedang dan berwarna biru. Paling parah adalah ketika warnanya hitam. Sementara itu, kandungan PM 10 berada di skor 37, atau masih level baik. Kandungan zat lainnya, seperti karbon, hidrokarbon, ozon dan lainnya masih baik.
Sementara itu, di aplikasi lainnya yakni IQAir menyebutkan kualitas udara di Kota Bandung tak sehat bagi kelompok sensitif. Skor indeks kualitas udaranya mencapai 101. Kadar PM 2,5 di Bandung terbilang tinggi. Kelompok yang sensitif bisa mengalami iritasi dan masalah pernapasan. Sumber data dari IQAir itu berasal dari stasiun milik KLHK, dan stasiun IQAir.
Hasil pengukutan indeks kualitas udara IQAir itu sama dengan aplikasi lainnya, yakni napas. Napas juga menyebutkan kualitas udara di Kota Bandung tak sehat bagi kelompok sensitif. Kandungan PM 2,5 di Kota Kembang ini masuk kategori tidak sehat bagi yang sensitif. Napas menggunakan perhitungan atau pengukuran PM 2,5 sesuai standar WHO.
Melebihi Ambang Batas
Dalam jurnal ITB yang disusun Alvin Pratama dan Asep Sopyan yang berjudul 'Analisis Dispersi Pencemar Udara PM 10 di Kota Bandung Menggunakan Wrfchem Data Asimilasi', yang diterbitkan tahun 2020 menyebutkan sebaran polutan di Kota Bandung dipengaruh angin, tinggi boundary layer, tingkat turbulensi, proses konvektif dan curah hujan.
Pada musim kering, angin dominan berasal dari timur dan tenggara, intensitasnya tinggi. Kondisi demikian menyebabkan polutan di Bandung tersebar ke arah barat dan barat daya hingga ke luar Bandung.
Sedangkan, pada bulan basah, angin dominan ke arah barat laut. Karena topografi yang komplek dan perbukitan. Akibatnya, tingkat dispersi polutan ke arah timur pada bulan basah tak tesebar dengan baik.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan terdapat beberapa daerah di Kota Bandung yang tingkat konsentrasi PM 10 melebihi ambang batas, di antaranya di Rancabolang, Mekarjaya dan Pasirluyu. Ketiga wilayah ini harus mendapatkan perhatian khusus terkait penanganan tingkat polutan dari PM 10.
Sementara itu, dikutip dari Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung 2020 menyebutkan peningkatan kualitas udara menjadi salah satu program.
Pada 2020, DLHK mengaku telah mencapai target realisasi peningkatan kualitas udara di Bandung. Meski saat ini, beberapa aplikasi pengukur udara menyebut kualitas udara di Bandung kategori tak sehat bagi kelompok sensitif.
Dalam laporan itu juga tak menampik adanya kekhawatiran kondisi Bandung yang bisa seperti Jakarta. Ibu Kota yang memiliki partikel PM 2,5 cukup tinggi.
Hal yang sama mungkin terjadi di Kota Bandung. Tipologi wilayah Kota Bandung yang berada di cekungan, memungkinkan adanya pergerakan angin dari wilayah pinggir yang menjadi kawasan industri menuju ke pusat cekungan. Hal ini bisa menyebabkan kualitas udara di Bandung tak berubah, justru bisa cenderung menurun.
Dalam laporan itu juga menyebutkan kualitas udara di Kota Bandung sempat mengalami perbaikan arena adanya pembatasan aktivitas masyarakat saat awal pandemi COVId-19. Dari laporan itu menyebutkan, PM 2,5 pada 2019 sempat melebihi ambang batas.
Kemudian menurun hingga skornya di bawah 50 pada 2020. Begitupun dengan PM 10, alami penurunan pada 2020, dibandingkan 2019.
(sud/orb)