21 Februari 2005, awan kelabu menggelayut di bawah langit Kota Cimahi. Peristiwa nahas terjadi di kota tiga kecamatan itu. Terpatri jadi kisah kelam.
Tak terbayangkan di benak siapapun, kala tumpukan sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, tiba-tiba meledak.
Ketika itu, para pemulung sedang sibuk mencari sampah yang bisa diolah ditumpukan setinggi 60 meter dengan panjang 200 meter. Hingga tiba-tiba longsor terjadi dan menimbun tubuh para pemulung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
150 orang tewas dalam tragedi memilukan itu. Gundukan sampah yang jadi lumbung rupiah berbalik menyerang. Akumulasi gas metan usai hujan mengguyur selama berhari-hari jadi remote alam yang mengaktifkan waktu mundur bom sampah.
Ombak sampah juga turut menenggelamkan dua kampung di dekat lokasi ledakan, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.
Sekadar gambaran, TPA Leuwigajah di kawasan Kampung Cireundeu, berada di sebuah padang rumput yang luas. Tak terkira berapa hektare, cuma yang pasti amat luas. Di sisi kiri, kanan, depan, dan belakangnya dikelilingi perbukitan dan gunung-gunung yang disakralkan oleh masyarakat setempat, salah satunya Gujung Gajah Langu.
Kini tanah yang dulu menjadi tempat pembuangan sampah dari berbagai daerah telah menghijau. Tak ada lagi bau menyengat dan lalat-lalat yang hinggap di sana sini. Namun kenangan tak bisa pudar, di tanah itu bersemayam kenangan dari ratusan nyawa kerabat dan sanak saudara meskipun tak sedarah.
![]() |
Kengerian 17 tahun silam masih lekat di benak Wahyu. Pria 40 tahun yang berprofesi sebagai petani, dulunya juga merupakan pemulung yang menyandarkan nasib dari gunungan sampah TPA Leuwigajah.
Meski tak menyaksikan secara langsung sampah menimbun permukiman dan nyawa saudara-saudaranya, ia sangat merasakan duka yang mendalam mengingat ada 10 orang kerabat dekatnya yang menjadi korban. Termasuk mendiang ayah angkatnya, Ondo.
Waktu itu, yang selamat hanyalah istri dari almarhum Ondo, bapak angkatnya yang kebetulan saat kejadian tak berada di rumah. Namun karena mengalami trauma mendalam, beberapa hari kemudian istri dari bapak angkatnya itu tutup usia.
"Orang tua angkat saya ikut tertimbun, termasuk anak, cucu hingga cicitnya. Alhamdulillah orang tua angkat saya, termasuk anak cucunya sudah ditemukan dan dikebumikan dengan layak," ujar Wahyu.
Pahit getir masa lalu Wahyu, juga dirasakan oleh Abah Widi, saksi hidup lainnya. Pria sepuh itu mengidahkan jika dirinya tak pernah lupa rasa sakit dan sedih kehilangan sanak saudara gegara kesalahan manusia yang mengotori alam dengan sampah.
"Kami warga yang kehilangan saudara (karena tragedi longsor sampah), selalu mendoakan arwah mereka," kata Abah Widi.
Abah Widi menyebutkan longsornya ribuan ton sampah itu selain karena faktor alam, juga lantaran pengelolaan sampah yang buruk. Selain itu, entah berkaitan langsung atau tidak, ada larangan adat yang dilanggar yakni kotornya mata air akibat timbunan sampah.
"Bagi kami, sirah cai (mata air) itu sumber kahirupan (kehidupan) yang sangat pantang untuk dilanggar. Apalagi dikotori oleh sampah-sampah manusia. Salah satu akibatnya ya longsor itu, karena alam menegur dengan cara yang cukup keras ketika cara halus mungkin sudah tidak diindahkan," tutur Abah Widi.
Cikal Bakal Hari Peduli Sampah Nasional
Tragedi menjadi prosesi. Peristiwa longsor sampah yang diperkirakan mencapai lebih dari 200 ton itu menjadi cikal bakal lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Pemerintah berupaya supaya para korban selalu dikenang.
Awalnya pemerintah terlibat dalam peringatan HPSN, namun semakin ke sini hanya masyarakat setempat saja yang aktif memperingati karena memang mereka lah yang tahu ngeri dan getirnya kehilangan keluarga.
Ritual peringatan HPSN biasanya diawali dengan serangkaian upacara adat kemudian prosesi tabur bunga dan dia di bibir tebing tempat tragedi 2005 itu terjadi.
"Sekarang memang sudah agak berkurang kekhidmatan dari upacara peringatannya. Pemerintah tidak pernah terlibat juga," kata Abah Widi.
Menurutnya, tragedi memilukan yang menewaskan ratusan korban jiwa tidak perlu diperingati secara meriah. Paling penting mereka yang datang bisa ikut merasakan dan mendoakan para korban yang tewas tertimbun longsoran sampah.
"Siapapun boleh datang ke Kampung Adat Cireundeu. Apakah untuk berwisata, untuk menenangkan diri, atau untuk sekadar mengingat longsor sampah. Yang penting semua datang dalam tujuan baik dan mendoakan yang terbaik," ucap Abah Widi.
![]() |
Namun selama belasan kali bolak balik menaburkan bunga di tebing lokasi longsor sampah, dirinya menyayangkan ketidakpedulian pemerintah pada mereka yang meregang nyawa bahkan tak ditemukan jasadnya hingga kini.
"Abah sangat menyayangkan pemerintah selama 17 tahun ini, jarang terlibat. Padahal boleh dibilang mereka yang punya dosa. Memang kita tidak bisa menyalahkan siapapun, tapi minimal pemerintah datang ke Cirendeu, meminta maaf pada warga Cirendeu," kata Abah Widi.
Pihaknya juga dengan tegas bakal menolak apabila ada rencana mengembalikan kawasan tersebut menjadi TPA. Ia dan warga kampung lainnya tidak ingin tragedi menyedihkan kembali terulang.
"Sudah cukup 22 tahun kami menderita karena tempat tinggal kami yang sarat budaya, adat, dan sejarah, jadi tempat sampah. Jangan ada kekosongan peringatan HPSN, karena bisa saja nanti akan kembali jadi TPA," ucap Abah Widi.
"Hari Peduli Sampah Nasional itu karena kejadian nahas di kampung kami. Dari situ kita ambil kesimpulan, sampah bukan cuma tanggung jawab pemerintah tapi tanggung jawab semua pihak," imbuh Abah Widi.
(iqk/iqk)